Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki |
HAKEKAT
MAKAM RASULULLAH SAW
Segolongan
orang memandang makam Rasulullah saw sekedar sebagai ruang kubur semata. Dengan
pandangan seperti itulah maka tidak aneh jika mereka memiliki persepsi,
anggapan dan pandangan yang aneh lagi ‘nyeleneh’ pula. Hati mereka dipenuhi dengan suuzhan
(prasangka buruk) yang berlebihan kepada kaum muslimin yang berziarah ke
makam beliau saw dan berdoa di sampingnya, lalu mereka berkampanye : “Jangan
bersusah-susah pergi ke makam Rasulullah saw, dan tidak boleh berdoa di samping
makam beliau saw, dll”. Bahkan omongan mereka terkadang ‘nyelekit’ dan
menyakitkan hati, misalnya : “Berdoa di samping makam adalah syirik dan kufur…
menghadap ke makam adalah perbuatan bid’ah dan syirik, dan seterusnya”. Tuduhan
syirik, kafir, bid’ah dan sesat seperti yang mereka lontarkan itu merupakan
tindakan yang tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya, serta bukan didasarkan
atas pandangan dan pemikiran yang sehat. Hal ini jelas sangat bertentangan
dengan sikap dan perilaku kaum salaf yang mereka banggakan.
Kajian
kami tentang makam Rasulullah saw, berziarah ke makamnya, bepergian jauh dalam
rangka mengunjungi makamnya, dan berdoa kepada Allah swt di samping makamnya,
bukanlah dimaksudkan untuk menciptakan permusuhan, perpecahan, pertentangan dan
mengadu domba kaum muslimin. Akan tetapi yang terpenting adalah ingin membicarakan sosok seorang “Tokoh” yang
menghuni makam tersebut.
Makam Rasulullah SAW |
Perlu
diketahui, bahwa penghuni makam tersebut adalah seorang Sayyidul Mursalin
wal Akhirin, makhluk Allah swt yang paling utama, Nabi yang teragung, dan
seorang Utusan Allah yang paling mulia, Nabi Muhammad saw . Makam tersebut
tidak ada harganya sama sekali seandainya didalamnya tidak ada beliau saw.
Demikian pula kota Madinah dan kaum muslimin tidak memiliki harga dan nilai
sedikit pun seandainya tanpa kehadiran beliau saw di bumi ini. Karena mereka
itu, seandainya tidak ada pribadi beliau saw, tidak ada Risalah yang
beliau saw bawa, tiadanya keimanan dan kecintaan kepada beliau saw, serta pernyataan syahadat dianggap tidak sah
kecuali dengan mengakui beliau saw sebagai Rasulullah, maka mereka (kaum
muslimin) tidak akan pernah ada di dunia, tidak akan dapat berdiri kokoh, dan
tidak akan memperoleh kebahagiaan dan keselamatan baik di dunia maupun di
akhirat.
Berangkat
dari persoalan ini, sewaktu Ibnu Aqil ditanya seseorang tentang keutamaan
antara cungkup makam Rasulullah saw dengan bangunan Ka’bah, dia
mejawab : “ Kalau dilihat dari segi bangunan fisiknya, Ka’bah jelas
lebih utama daripada cungkup makam Rasulullah saw. Namun jika yang Anda
maksudkan adalah cungkup makam yang didalamnya ada jenazah beliau saw,
maka jelaslah bahwa makam beliau saw yang lebih utama daripada Ka’bah.
Bahkan, Demi Allah, ‘Arasy, penyanggah ‘Arasy, dan surga ‘Aden, tidak ada nilai dan harganya bila dibanding
dengan makam beliau saw. Karena didalam makam tersebut terbaring satu
jasad seseorang yang seandainya ditimbang dengan kedua alam dunia dan akhirat,
tentu akan berat sebelah, masih berat makam tersebut”. (Baca kitab Bada-iul
Fawaid, tulisan Ibnul Qayyim).
Itulah
maksud dan tujuan kami mengkaji persoalan makam Rasulullah saw, keutamaannya,
menziarahinya, dan bepergian jauh menuju ke sana. Dan dari kenyataan ini
pula para ulama Malikiyah berkomentar
: “Tidak sepantanya seseorang mengatakan ‘Aku menziarahi makam Rasulullah
saw’, seharusnya yang dia ucapkan adalah ‘Aku menziarahi Rasulullah saw”.
Komentar mereka ini merupakan pentafsir terhadap pernyartaan imam Malik :
“Aku tidak menyukai seseorang mengatakan ‘Aku menziarahi makam Rasulullah
saw’ .
Kenapa
begitu? Karena yang diziarahi itu adalah orang yang masih mampu mendengar
ucapan dan mampu melihat para
peziarahnya, serta mampu merasakan, mengenal dan mengembalikan setiap ucapan
salam yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian, seharusnya yang menjadi maksud
dan tujuan para peziarah adalah bukanlah
bangunan fisik makam Rasulullah saw, akan tetapi lebih dari itu, yakni
jasad beliau saw terbaring didalam makam tersebut.
Ad-Darimy
didalam kitab Sunan-nya menuturkan, bahwa telah bercerita kepadanya
Abdullah bin Shalih, dari al-Laits, dari Khalid bin Yazid, dari Sa’id bin Abi
Hilal, dari Nabih bin Wahab. Bahwa pada suatu hari Kaab pernah berada didalam rumah Aisyah ra,
sementara orang-orang sama menyebut nama Rasulullah saw di situ, maka
berkatalah Kaab kepada mereka : “Tiada satu hari pun berlalu, melainkan turun
70.000 ribu malaikat yang senantiasa mengelilingi makam Rasulullah saw seraya
mengepak-epakkan sayapnya dan bershalawat kepadanya. Jika hari sudah sore,
mereka meninggalkan makam beliau saw lalu diganti dengan rombongan 70.000
malaikat yang lain. Begitu seterusnya sampai hari kiamat”. (Sunan ad-Darimy,
juz 1, halaman 44). Al-Hafizh
Ismail Al-Qadhy. Juga meriwayatkan Atsar ini. Dan Atsar ini baik
untuk diikuti, dijadikan sebagai dalil, biografi dan fadhailul a’mal.
BERDOA
DI SAMPING MAKAM RASULULLAH SAW
Para ulama menjelaskan, bahwa orang yang
sedang berziarah disunnahkan berhenti sejenak di samping makam Rasulullah saw,
lalu menghadap ke arah kiblat seraya berdoa kepada Allah swt untuk memohon
kebaikan dan rahmat-karunia sesuai dengan keinginannya. Berhenti sejenak di
samping makam beliau saw seraya berdoa bukanlah merupakan suatu perbuatan
kufur, bid’ah, sesat atau syirik. Bahkan mereka menetapkannya sebagai amalan
sunnah.
Sewaktu
khalifah Abu Ja’far Al-Manshur, seorang khalifah Bani Abbasiyah, berkunjung ke
Madinah dan menemui Imam Malik, terjadilah dialog interaktif didalam Masjid
Nabawi. Imam Malik mengatakan: “Wahai Amirul Mukminin! Jangan Anda keraskan
suaramu didalam Masjid ini, karena tatakrama semacam ini memang diajarkan Allah
swt kepada kaum muslimin :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا
تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ
أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara
Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana
kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak
hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari” . (QS Al-Hujurat,[49]
: 2).
Allah swt memuji sikap kaum muslimin didalam
firman-Nya :
إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ
أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ
قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya
orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah
orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka
ampunan dan pahala yang besar”. (QS Al-Hujurat,[49] : 3)
Selanjutnya Allah swt mencela mereka karena
sikapnya yang kurang sopan :
إِنَّ الَّذِينَ
يُنَادُونَكَ مِنْ وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ(4).
وَلَوْ
أَنَّهُمْ صَبَرُوا حَتَّى تَخْرُجَ إِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَحِيمٌ (5)
“Sesungguhnya
orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar (mu) kebanyakan mereka tidak
mengerti. Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka
sesungguhnya itu adalah lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”. (QS Al-Hujurat,[49] : 4-5)
Ketentuan tatakrama semacam itu berlaku baik
sewaktu Rasulullah saw masih hidup maupun setelah wafatnya”.
Mendengar
penuturan Imam Malik tersebut, Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur berkata: “Wahai
Abu Abdillah (nama panggilan Imam Malik), apakah aku berdoa sambil
menghadap ke arah kiblat ataukah ke arah makam?”.
Imam
Malik menjawab : “Kenapa engkau harus memalingkan muka dari beliau saw,
sementara beliau saw adalah “wasilah” engkau dan “wasilah” ayah engkau, yakni
Nabi Adam as, pada hari kiamat nanti? Bahkan sebaliknya, hadapkan saja wajah engkau ke arah beliau
saw, lalu meminta syafaatnya, semoga Allah swt mengabulkan syafaatnya. Allah
swt berfirman :
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ
ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ
الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
“Sesungguhnya
jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun
kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka
mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS An-Nisa’,[4]
: 64).
Kisah
di atas dituturkan oleh Al-Qadhy ‘Iyadh didalam kitabnya, Asy-Syifa’
fit-Ta’rif bi Huquq al-Musthafa, didalam bab “Ziayarah”.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, menurut Ibnu Wahb, bahwa Imam Malik pernah
berkata : “Jika akan mengucapkan salam kepada Rasulullah saw, hendaklah sambil
menghadapkan wajahnya ke arah makam beliau saw, bukan ke arah kiblat. Kemudian
sebaiknya mendekat ke arah makam, lalu mengucapkan salam kepada kedua sahabat
beliau saw, diteruskan berdoa. Tidak perlu mengusap-usapkan tangannya pada
tembok makam beliau saw”. (Iqtidhaus Shirathil Mustaqim, halaman 396).
Imam
An-Nawawy juga menjelaskan seperti itu didalam kitabnya yang terkenal, Al-Adzkar
an-Nawawiyah, pada Bab “Ziayarah”, dan didalam kitab Al-Idhah pada Bab “Ziyarah”, serta didalam
kitab Al-Majmu’ pada juz 8 halaman 398)
PANDANGAN
IBNU TAIMIYAH
Setelah menukil pendapat para ulama, lalu Ibnu
Taimiyah berkomentar : “Para ulama telah sepakat memperbolehkan menghadapkan
wajah ke arah kiblat, namun mereka berselisih faham tentang hukum membelakangi
makam sewaktu berdoa”.
Itulah
resume dan intisari pendapat Ibnu Taimiyah dalam thema ini. Seandainya orang
yang bersikap moderat lagi rasional merenungkan pernyataan Ibnu Taimiyah, “Para
ulama berselisih faham tentang hukum membelakangi makam sewaktu berdoa”, tentu
ia akan memahami apa yang tersembunyi di balik hatinya dan akan menyimpulkan
bahwa para peziarah yang berdiri sambil berdoa di samping makam Rasulullah saw
setelah mengucapkan salam kepadanya adalah orang-orang yang konsisten terhadap akidah
tauhidnya dan benar-benar termasuk golongan orang yang beriman. Karena
persoalan ini masih diperselisihkan di kalangan ulama salaf, mereka masih
memperselisihkan tentang sunnah dan tidaknya menghadapkan wajah ke arah makam.
Yang menjadi pertanyaan kita sekarang adalah, apakah hanya karena masih
diperselisihkan itu lalu harus keluar tuduhan syirik, kufur, bid’ah dan sesat? Subhanaka
hadza buhtanun ‘azhiim, Maha Suci Engkau, Ya Allah! Ini merupakan kebohongan
yang besar.
Yang
dilarang sebenarnya adalah sengaja
memilih berdoa secara khusus di samping makam, atau sengaja pergi ke makam khusus
untuk berdoa dan mengharapkan terkabulnya doa di sana, atau merasa bahwa berdoa
di samping makam adalah lebih dikabulkan daripada di tempat-tempat selainnya.
Sedangkan berdoa sewaktu di tengah perjalanannya dan bertepatan dengan melewati
suatu makam, lalu berdoa di sampingnya, atau menziarahi suatu makam lalu
mengucapkan salam kepada penghuninya dan diteruskan dengan berdoa kepada Allah
swt di tempat itu, maka tidak perlu merubah posisinya dari menghadap ke arah
makam menjadi menghadap ke arah kiblat. Peziarah yang mempraktekkan cara
seperti ini tidak berhak dituduh telah melakukan perbuatan syirik, kufur dan
bid’ah.
Ibnu
Taimiyah didalam kitab Iqtidhaus-Shirathil Mustaqim, pada halaman 336,
mengatakan : “… diantara yang masuk dalam persoalan ini adalah sengaja
mendatangi makam khusus untuk berdoa di sampingnya, karena berdoa di samping
makam dan di tempat-tempat selainnya dapat dibedakan menjadi dua:
Pertama.
Boleh
berdoa di sekitar makam, selama hal itu tidak sengaja dilakukan untuk
mengkhususkan berdoa di situ, misalnya boleh bagi orang yang bertepatan
melewarti suatu makam, atau orang yang berziarah ke suatu makam lalu
mengucapkan salam kepada ahli kubur diteruskan berdoa kepada Allah swt untuk
memohon kesejahteraan dan kebaikan, baik untuk dirinya maupun untuk ahli kubur.
Cara berdoa semacam ini tidak apa-apa dilakukan.
Kedua.
Sengaja
memilih berdoa secara khusus di suatu makam tertentu, disertai perasaan bahwa
berdoa di tempat itu lebih dikabulkan daripada di tempat selainnya. Cara berdoa
semacam ini dilarang : ada kalanya jatuh kedalam larangan yang bersifat haram
dan atau larangan yang bersifat makruh tanzih, yakni kemakruhan yang
mendekati keharaman. Sama halnya dengan terlarangnya memilih berdoa secara
khusus di samping berhala, di depan salib, gereja, candi dan sejenisnya sambil
mengharapkan bahwa berdoa di tempat-tempat itu lebih makbul daripada di tempat
lain. Bahkan seandainya ada orang yang secara sengaja menjadikan rumah, toko,
pasar atau beberapa jalan tertentu sebagai tempat khusus untuk berdoa dan
diyakini lebih makbul daripada di tempat lainnya, maka cara berdoa semacam ini
pun dilarang. Ringkas kata, cara berdoa semacam ini termasuk perbuatan
munkar yang perlu dihindari, karena tidak ada keutamaan sama sekali berdoa di
tempat-tempat itu menurut pandangan syariat Islam.
Sengaja
bepergian
ke suatu makam dengan niat secara khusus berdoa di situ adalah suatu larangan,
bahkan lebih besar daripada yang lain, disebabkan Rasulullah saw melarang
menjadikan makam-makam sebagai tempat peribadatan, tempat
perayaan, dan melakukan shalat di sampingnya. Hal ini berbeda dengan
tempat-tempat yang lain.
Ibnu Taimiyah didalam kitab Iqtidhaus-Shirathil
Mustaqim pada halaman 338 menyatakan : “Sesungguhnya sengaja mendatangi
makam secara khusus untuk berdoa dan harapan terkabulnya doa di situ lebih
besar daripada di tempat lain merupakan perbuatan yang tidak pernah
disyariatkan Allah swt dan Rasul-Nya, tidak pernah dilakukan seorang pun dari
para sahabat Nabi, tabi’in, tabiut-tabi’in dan para ulama salaf, bahkan tidak
pernah diajarkan oleh seorang pun ulama muthakir saat ini” Sementara pada
halaman 339 didalam kitab yang sama, dia
menegaskan, bahwa jika seseorang mau merenungkan dan menghayati kitab-kitab Atsar
yang ada dan mengetahui kondisi perilaku kaum salaf, tentu ia akan yakin
seyakin yakinnya bahwa pada dasarnya kaum muslimin tidak akan memohon
pertolongan kepada Allah swt di samping makam, bahkan mereka akan berusaha
mencegah dari perbuatan yang demikian itu. Kalaupun di antara mereka ada yang
melakukannya, hal itu lebih disebabkan oleh kebodohannya.
PANDANGAN
SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB
Dia pernah ditanya orang tentang
pendapat para ulama mengenai Istisqa’ (memohon turunnya hujan),
kebolehan bertawassul dengan kaum shalihin, pendapat Imam Ahmad bin Hambal
tentang bertawassul secara khusus dengan Rasulullah saw, serta pendapat para
ulama yang tidak memperbolehkan meminta pertolongan kepada sesama makhluk Allah
swt.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
menjawab : “Perbedaannya jauh sekali. Pembicaraan mereka itu tidak ada yang
cocok untuk kita. Sebagian ulama membolehkan bertawassul dengan kaum shalihin, sebagiannya lagi membolehkan
bertawassul khusus dengan Rasulullah saw, dan sebagian besar mereka melarang
melakukan tawassul seperti itu dengan hukum ‘makruh’. Atas dasar itu,
kita tidak boleh mengingkari orang yang melakukannya dan mengingkari persoalan Ijtihadiyah
mereka. Akan tetapi yang perlu kita ingkari adalah orang yang berdoa
memohon sesuatu kepada sesama makhluk lebih besar daripada berdoa kepada Allah
swt dan orang yang sengaja mendatangi suatu makam, misalnya makam syaikh Abdul
Qadir al-Jilany dan makam kaum shalihin pada umumnya, sambil merendahkan diri
di sampingnya dengan maksud untuk mencari ketentraman hati dari berbagai
kesulitan dan mencari pertolongan dalam memecahkan problem hidupnya. Bagaimana
mungkin perbuatan semacam itu pantas dilakukan oleh orang yang secara ikhlas
berdoa kepada Allah swt, memurnikan ketaatannya kepada-Nya dan tidak menyeru
seorang pun bersama Allah swt ? Sementara didalam teks doanya ada kata-kata,
misalnya, Aku memohon kepada-Mu, Ya Allah, dengan perantaraan Nabi-Mu … dengan
perantaraan para Nabi… dengan perantaraan hamba-Mu yang shaleh… dan
lain-lain!. Atau orang itu senagaja datang ke suatu makam, baik yang ia kenal
maupun yang tidak, lalu berdoa di sampingnya, da ia tidak berdoa melainkan hanya kepada Allah
swt sambil memurnikan ketaatannya kepada-Nya?. Mana mungkin hal ini kita
lakukan?! “. (Fatwa-fatwa asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang
dihimpun didalam “Kumpulan Karangan” dengan judul “Majmu’ al-Muallafat”,
Bagian ketiga, halaman 68, yang diterbitkan dan disebarluaskan oleh Universitas
Islam al-Imam Muhammad bin Su’ud, Riyadh-Saudi Arabia).
==============================================
*)
Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
|
|
Judul
Asli
|
:
مفـاهـيم يجب أن تـصحح
|
Penulis
|
:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
|
Alih
Bahasa
|
:
Achmad Suchaimi
|
Judul
Terjemahan
|
:
Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar