Oleh : Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki |
Pengertian Tabarruk
Banyak orang
yang salah faham dalam memahami hakekat ber-Tabarruk kepada Rasulullah
saw, petilasan dan bekas benda peninggalannya, ahli baitnya, serta kepada para Pewaris-nya
dari kalangan para ulama dan auliya’. Mereka memandang persoalan tabarruk sebagai
perbuatan syirik dan sesat. Pandangan dan anggapan yang demikian menunjukkan
kekerdilan dan kesempitan wawasan ilmu mereka.
Sebelum kami
ketengahkan bukti dan argumentasi tentang diperbolehkannya atau bahkan
disyariatkannya bertabarruk, sebaiknya kita ketahui dulu tentang Hakekat
Tabarruk itu sendiri. Bahwa Tabarruk, tiada lain, adalah suatu
bentuk Tawassul kepada Allah swt melalui perantaraan sesuatu yang
ditabarruki, baik perantara tersebut berupa benda bekas peninggalan,
tempat-tempat tertentu, maupun pribadi seseorang.
Mengenai
bertabarruk kepada pribadi seseorang, selain kita meyakini adanya
keutamaan dan kedekatan orang itu dengan Allah swt, kita juga harus
berkeyakinan bahwa orang tersebut pada hakekatnya tidak mampu mendatangkan
kebaikan dan kemanfaatan, serta tidak kuasa menolak keburukan dan kemadharatan,
kecuali dengan seizin Allah swt.
Sedangkan
bertabarruk dengan benda bekas peninggalan sejarah masa lalu adalah
semata-mata disebabkan keterkaitannya dengan kewibawaan, kehormatan dan
kemuliaan para Tokoh (Anbiya’, auliya’, kaum shalihin dan semisalnya) di sisi
Allah swt. Bukan semata-semata disebabkan bahwa “Benda” tersebut memang memiliki kekuatan
supranatural, kehebatan dan kemampuan mutlak.
Sementara
bertabarruk dengan Tempat-tempat bersejarah, jika dipandang dari sudut
bentuk barangnya sama sekali tidak memiliki kemuliaan dan kehormatan, tidak ada
bedanya dengan tempat-tempat lainnya di dunia. Tempat tersebut menjadi penuh
berkah lebih disebabkan oleh keadaannya yang pernah ditempati kaum Shalihin (para hamba Allah swt
yang shaleh) untuk melakukan kebaikan dan kebajikan di situ, seperti shalat,
puasa dan berbagai ragam bentuk peribadatan lainnya. Karena di tempat itulah Rahmat
Allah swt pernah diturunkan, para malaikat pernah hadir, dan juga
ketenangan dan ketentraman pernah diturunkan di situ. Itulah keberkahan yang
perlu kita cari dari Allah swt yang pernah diturunkan-Nya di tempat tersebut.
Di tempat-tempat itu pula, Anda dapat mencari keberkahan dengan cara melakukan Tawajjuh,
berdoa dan beristighfar kepada Allah swt, disertai mengingat kembali dan
merenungkan peristiwa-peristiwa sejarah yang pernah terjadi di tempat tersebut,
serta mengingat kembali kebesaran, kepahlawanan dan perjuangan para pelaku
sejarahnya untuk kita jadikan sebagai suri teladan.
Bertabarruk dengan rambut, sisa air wudhu, air ludah dan keringatnya
Bertabarruk
dengan rambut Rasulullah saw. Diceritakan oleh Ja’far bin Abdullah bin
Al-Hakam, bahwa Khalid bin Walid pernah kehilangan topi penutup kepala
pada waktu perang Yarmuk. Dia lalu memerintahkan anak buahnya agar mencarinya
sampai ketemu. Namun mereka tidak berhasil menemukannya. Dia memerintahkan
sekali lagi kepada mereka, akhirnya topi yang kelihatannya sudah kumal, kusut
dan tidak menarik tersebut berhasil ditemukan. Khalid bin Walid mengkisahkan
tentang sejarah topi-nya: “Setelah selesai beribadah Umrah, Rasulullah
saw bercukur rambut. Orang-orang berkerubung di sekitar beliau saw dan saling
memperebutkan setiap helai rambutnya yang jatuh. Aku mendahului mereka
mengambil rambut bagian ubun-ubun beliau saw, lalu aku simpan didalam topiku
ini. Selama topi ini aku pakai di setiap ada pertempuran, aku selalu menang”.
Bertabarruk
dengan sumur
Bidha’ah. Riwayat
dari Malik bin Hamzah bin Abi Usaid al-Sa’idy al-Khazrajy, dari bapaknya, dari kakeknya,
yakni Abu Usaid, bahwa ia memiliki sebuah sumur di Madinah yang terkenal dengan
nama Sumur Bidha’ah. Rasulullah saw pernah meludah di sumur itu, lalu
meminum airnya dan mengharap keberkahan dan kebaikan melalui perantaraan sumur
tersebut. (HR At-Thabrany dan para perawinya Tsiqah).
Bertabarruk
dengan air ludah, dahak dan sisa air wudhu Rasulullah saw. Kesaksian
Urwah bin Mas’ud ra tentang perilaku para sahabat terhadap Rasulullah saw
diceritakan kembali oleh Imam Bukhary :
“… ‘Urwah pernah diutus oleh kaumnya, Kafir Quraisy Mekkah untuk menemui
Rasulullah saw. Saat itu ia sempat
melirik dan menyaksikan secara langsung perilaku para sahabat terhadap
pribadi Rasulullah saw, lalu ia berkomentar: “Demi Allah! Rasulullah saw
tidak berdahak melainkan dahaknya itu jatuh di telapak tangan salah seorang
sahabat beliau, terus diusapkan ke wajah dan sekujur tubuhnya. Jika beliau
mengeluarkan perintah, mereka berebut untuk diperintah. Jika beliau berwudhu,
mereka berebutan mengambil sisa air wudhunya, hampir-hampir seperti orang
bertarung. Jika berbicara di hadapan
beliau, mereka tidak berani mengeraskan suaranya, dan mereka tidak berani
memandang wajah beliau sebagai wujud pengagungan dan penghormatan mereka kepada
beliau”.
Selanjutnya
Urwah bin Mas’ud kembali menemui kawan-kawannya (kaum Kafir Quraisy) dan
berkata: “Hai kamku! Aku sudah bertemu dengan para Raja, dan belum pernah
melihat seorang Raja pun yang sangat dihormati rakyatnya melebihi penghormatan
para sahabat kepada Muhammad. Demi
Allah! Muhammad tidak pernah meludah melainkan ada seorang sahabat yang menadai
ludahnya di telapak tangannya …” dan seterusnya.
Cerita Urwah di atas diketengahkan kembali
oleh Imam Bukhary didalam kitab Asy-Syurut, pada bab Asyurut fil
Jihad. (Lihat : Fathul Bary, juz 5, hal. 330)
Al-Hafizh Ibnu
Hajar Al-Asqalany berkomentar : “Didalamnya terkandung ajaran tentang sucinya
air dahak, air ludah, potongan rambut, serta ajaran bertabarruk dengan sisa air
wudhu kaum shalihin. Barangkali para sahabat melakukan secara berlebihan yang demikian itu di
hadapan Urwah bin Mas’ud yang menjadi utusan kaum Kafir Quraisy tersebut adalah
sebagai isyarat untuk menepis anggapan bahwa mereka (para sahabat)
dikhawatirkan akan lari dari pertempuran meninggalkan beliau saw. Dengan tindakan
itu mereka seakan-akan berbicara dengan bahasa isyarat: “Orang-orang
yang sangat mencintai dan menghormati
pemimpinnya, bagaimana mungkin mereka akan lari darinya, lalu menyerah kepada
musuh? Bahkan mereka sangat gembira dan senang membela pemimpinnya dan agamanya
dari gangguan kabilah-kabilah dan musuh, sekalipun sangat kuat”. Cerita
ini sekaligus terkandung suatu ajaran tentang diperbolehkannya bertawassul kepada
Allah swt dengan perantaraan apa saja yang disebutkan didalam kisah Urwah di
atas, dengan berbagai cara yang dibenarkan oleh agama.”. (Demikianlah yang
dijelaskan didalam kitab Fathul Bary, juz 5, hal. 341).
Petunjuk
Rasulullah saw menjaga sisa air wuhdunya. Kisah dari
Thalq bin Ali, ”Kami berangkat menuju ke Madinah menemui Rasulullah saw, lalu
kami berbai’at kepada beliau dan shalat bersamanya. Kami bercerita kepada
beliau saw bahwa di negeri kami ada sebuah bangunan gereja yang mangkrak. Kami
berencana utuk mengubah statusnya menjadi masjid. Kami memohon sisa air wudhu
beliau saw dan beliau mengabulkannya. Kemudian beliau saw menyuruh kami
mengambil air untuk wudhu dan kumur beliau, lalu sisa air wudhu dan kumur
beliau tersebut dituangkan kedalam sebuah bejana untuk diberikan kepada kami,
seraya bersabda : “Pulanglah! Jika sudah sampai di negerimu, robohkan
bangunan gerejamu (yang sudah mangkrak) itu dan percikilah dengan air ini,
selanjutnya jadikanlah sebagai masjid”. Kami berkata kepada beliau saw : “Negeri
kami jauh, suhu udara di tengah perjalanan sangat panas, sementara air didalam
bejana ini mudah menguap, sehingga air ini dikhawatirkan habis di tengah
perjalanan”. Beliau saw bersabda : “Tambahkanlah air secukupnya, karena
tidak menambahinya melainkan tambahan yang baik”.
Bertabarruk
dengan rambut Rasulullah saw setelah wafatnya. Kisah dari
Usman bin Abdullah bin Mauhib: “Keluargaku mengutusku datang menemui Ummu
Salamah ra dengan membawa semangkok air. Ummu Salam keluar sambil membawa wadah
seperti genta yang terbuat dari perak. Didalamnya berisi beberapa lembar
potongan rambut Rasulullah saw. Orang yang tertimpa penyakit mata atau penyakit
lainnya biasanya mengutus seseorang untuk menemuinya dengan membawah wadah Makhdhabah
untuk bertabarruk dengan rambut beliau saw tersebut”. Pada kesempatan
lainnya, Usman bin Abdullah menuturkan lagi: “Aku mencoba melihat isi genta milik
Ummu Salamah ra, ternyata berisi beberapa helai potongan rambut Rasulullah saw
yang sudah berwarna kemerah-merahan”. (Diriwayartkan Imam Bukhary didalam kitab
Al-Libas, pada bab Maa yadzkuru fisy-syaib).
Imam Al-‘Ainy
menjelaskan lebih rinci lagi, bahwa Ummu Salamah ra memiliki beberapa helai
potongan rambut Rasulullah saw yang sudah berwarna kemerah-merahan, yang
disimpannya didalam sebuah wadah menyerupai genta terbuat dari perak.
Orang-orang yang tertimpa suatu penyakit sama Bertabarruk dengan rambut
beliau saw tersebut dan mengharap kesembuhan kepada Allah swt dengan
perantaraannya. Mereka mengambil rambut beliau saw itu lalu dicelupkan kedalam
wadah berisi air yang mereka bawa dari rumah, lalu airnya diminumkan kepada
orang yang sakit. Tidak lama kemudian mereka sembuh. Keluarga Usman bin
Abdullah pun tak mau ketinggalan ikut bertabarruk, ia ambil sehelai rambut lalu
dicelupkan kedalam air, terus airnya diminumkan kepada keluarganya yang sakit, maka sembuhlah ia.
Pada kesempatan yang berbeda, mereka mengutus lagi Usman bin Abdullah menemui
Ummu Salamah ra sambil membawa gelas berisi air dengan tujuan untuk bertabarruk.
Ia mencoba melihat isi genta milik Ummu Salamah ra, dan tenyata berisi
beberapa helai potongan rambut Rasulullah saw yang sudah berwarna
kemerah-merahan.
Rasulullah saw
membagi-bagikan potongan rambutnya kepada para sahabat. Imam Muslim
mengetengahkan hadis dari Anas bin Malik ra, yang menjelaskan
bahwa Rasulullah saw datang ke Mina untuk melempar Jumrah, kemudian
kembali ke kemahnya, diteruskan dengan menyembelih hewan dan mencukur rambut.
Beliau saw bilang kepada tukang cukur: “Ambillah!”, sambil memberi
isyarat pada bagian rambut sebelah kanan dan kirinya, kemudian
membagi-bagikannya pada sahabat.
At-Tirmidzy
menuturkan riwayat dari Anas bin Malik ra : setelah melempar Jumrah, Rasulullah saw
menyembelih hewan, kemudian tukang cukur mencukur rambut sebelah kanannya dan
diberikan kepada Abu Thalhah ra. Lalu mencukur rambut sebelah kirinya dan beliau
saw bersabda : “Bagikan kepada orang-orang”.
Riwayat
At-Tirmidzy secara jelas menuturkan bahwa rambut yang beliau perintahkan kepada
Abu Thalhah agar dibagi-bagikan kepada orang-orang adalah bagian rambut sebelah
kiri. Demikian pula hadis riwayat Imam Muslim dari jalur Ibnu ‘Uyainah.
Sedangkan riwayat Hafsh bin Ghiyats dan Abdul A’la berbunyi : “Sesungguhnya
potongan rambut yang beliau saw berikan kepada orang-orang adalah potongan
rambut sebelah kanan”.
Didalam
riwayat Hafsh, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim terdapat teks yang
berbunyi : “Dimulai dengan mencukur sebelah kanan, lalu dibagi-bagikan
satu-satu atau dua-dua helai kepada orang-orang. Kemudian beliau saw
memerintahkan tukang cukur agar mencukur rambut bagian kiri dan
dibagi-bagikannya seperti itu”
Imam Ahmad bin
Hambal meriwayatkan suatu hadis didalam Musnad-nya, bahwa rambut
Rasulullah saw yang dikirimkannya melalui Anas bin Malik ra, kepada Ummu Sulaim
ra, ibunya Anas bin Malik ra dan isterinya Abu Thalhah, adalah potongan rambut
sebelah kanan, sebagaimana yang diceritakan oleh Anas : “Sewaktu Rasulullah
saw mencukur rambutnya di Mina, beliau saw ambil potongan rambut sebelah kanan
dengan tangannya sendiri, terus diberikan kepadaku sambil bersabda: ‘Hai Anas
bin Malik ra! Berikan rambut ini kepada ibumu, Ummu Sulaim’. Setelah
orang-orang menyaksikan sesuatu yang diberikannya secara khusus kepadaku,
mereka terus saling memperebutkan potongan rambut beliau yang lain”.
Analisis. Beberapa riwayat hadis di atas nampaknya
saling bertentangan. Hadis yang satu menjelaskan bahwa yang diberikan
Rasulullah saw kepada Abu Thalhah adalah potongan rambut sebelah kanan. Sedang
yang diberikan kepada orang-orang adalah potongan rambut sebelah kiri. Hadis
yang lainnya menjelaskan bahwa beliau saw memberikan potongan rambut sebelah
kiri kepada Ummu Sulaim ra.
Bebarapa ulama
berusaha untuk mengkompromikan riwayat-riwayat yang nampak saling bertentangan
tersebut. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa pada waktu Rasulullah saw
mencukur rambut sebelah kanannya, beliau saw lalu memberikannya kepada Abu
Thalhah. Dan hal ini tidak bertentangan dengan riwayat kedua yang menjelaskan
bahwa beliau saw membagi-bagikan potongan rambut sebelah kanannya kepada orang
banyak, sementara potongan rambut yang kirinya diberikan kepada Ummu Sulaim,
yakni isteri Abu Thalhah yang juga ibunya Anas bin Malik ra. Kesimpulannya:
Sewaktu memotong rambut sebelah kanannya, beliau saw lalu memberikannya kepada
Abu Thalhah agar dibagi-bagikan kepada kepada orang banyak. Sementara potongan
rambut sebelah kirinya untuk dimiliki keluarga Abu Thalhah untuk disimpan
isterinya, yakni Ummu Sulaim.
Sementara
Al-Muhibb At-Thabary berpendapat: “Yang benar, bahwa yang dibagi-bagikan kepada
orang banyak adalah potongan rambut sebelah kanan. Sedangkan potongan sebelah
kirinya diberikan kepada sepasang
suami-isteri, Abu Thalhah dan Ummu Sulaim. Dengan demikian tidak ada lagi
pertentangan di antara kedua riwayat di atas. Karena Ummu Sulaim adalah
isterinya Abu Thalhah, maka Rasulullah saw memberikan potongan rambut sebelah
kirinya, sebagian kepada Abu Thalhah dan sebagian kepada isterinya, Ummu
Sulaim”.
Dari uraian
yang cukup panjang di atas dapat kita petik suatu pelajaran yang sangat
penting, yakni tentang diperbolehkannya bertabarruk pada rambut
Rasulullah saw dan benda bekas peninggalan sejarah beliau saw yang lain.
Kemudian Imam Ahmad bin Hambal mengetengahkan riwayat didalam Musnad-nya,
yang disandarkannya kepada Ibnu Sirin, yang diterima dari Ubaidah al-Salmany,
bahwa ia memahami dan menafsirkan hadis tadi dengan pernyataannya : “Sekiranya
aku memiliki sehelai rambut Rasulullah saw, hal itu lebih aku sukai daripada
semua emas dan perak yang ada di permukaan dan perut bumi”.
Tidak sedikit
orang menuturkan bahwa Khalid bin Walid mempunyai topi yang didalamnya
tersimpan beberapa helai rambut Rasulullah saw. Kemana saja ia berangkat
berperang, topi tersebut tidak lepas dari kepalanya, sehingga berkat topi itu
Allah swt selalu memberikan kemenangan kepdanya. Kisah ini diperkuat oleh
penjelasan Al-Mala didalam buku Sirah-nya, bahwa Khalid bin Walid
meminta kepada Abu Thalhah agar diberi rambut bagian ubun-ubun sewaktu sedang
dibagi-bagikan rambut tersebut kepada
orang banyak. Permintaan Khalid dikabulkan, lalu beberapa helai rambut beliau saw tersebut ia
simpan didalam topi yang selalu ia bawa setiap kali maju berperang. (Lihat
kitab ‘Umdatul Qary : Syarh Al-Bukhary, juz 7; hal. 230 – 231).
Bertabarruk
dengan keringat Rasulullah saw. Riwayat dari Usman bin
Abdullah, dari Anas bin Malik ra, menjelaskan bahwa pada suatu siang Ummu
Sulaim menggelar tikar dari kulit yang secara khusus dipersiapkan untuk alas
tidur Rasulullah saw yang kebetulan mampir ke rumahnya. Setelah beliau saw
tidur, Ummu Sulaim mengambili keringat dan rambut beliau saw, lalu
dimasukkannya kedalam sebuah botol, kemudian dicampurinya dengan minyak wangi.
Pada saat akan wafat, Anas bin Malik ra (yang mewarisi botol tersebut)
berwasiat agar ramuan rempah-rempah (yang biasa dipakai mengolesi badan mayit
agar tidak lekas rusak) dicampuri minyak
wangi yang bercampur dengan keringat beliau saw tersebut. Wasiat itu
dilaksanakan oleh keluarganya. (HR Bukhary didalam kitab “Al-Isti’dzan man
zaara qauman fa qala ‘indahum”)
.Riwayat yang diketengahkan Imam Muslim
menjelaskan, bahwa Anas bin Malik ra mengatakan : “Rasulullah saw mengunjungi
rumah kami. Beliau saw tidur siang di rumah kami dan berkeringat. Maka datanglah ibuku, Ummu
Sulaim ra, dengan membawa botol untuk menampung tetesan keringat beliau saw
yang terus mengalir. Kemudian beliau saw terbangun dan langsung bersabda, “Hai
Ummu Sulaim! Apa yang sedang engkau lakukan?”. “Ini, keringatmu. Aku
kumpulkan dan akan aku campurkan dengan minyak wangi. Keringat ini semakin
menambah keharuman minyak wangi ini”.
Riwayat dari Ishaq bin Abu Thalhah menjelaskan
bahwa Rasulullah saw berkeringat di tengah tidurnya. Keringatnya itu terus
mengalir di atas tikar dari kulit yang tersedia, lalu dia (Ummu Sulaim)
berusaha memeras keringat yang terserap tikar tersebut, lalu dimasukkannya
kedalam botol. Rasulullah saw bertanya setelah terbangun, “Apa yang sedang
engkau lakukan?”. Dia jawab, “Kami berharap keberkahan dari keringatmu
ini untuk anak-anak kami”. Beliau saw bersabda, “Benar perbuatanmu!”.
Kesimpulan :
Rasulullah saw sangat memperhatikam apa yang dikerjakan Ummu Sulaim, bahkan
beliau membenarkannya dan tidak mengingkarinya. Tujuan Ummu Sulaim mengumpulkan
keringat Rasulullah saw adalah untuk dijadikan sebagai campuran minyak wangi
dan ingin mendapatkan keberkahan darinya. (Fathul Bary, juz 11, hal. 2)
Bertabarruk Dengan Mengusap Kulit Rasulullah saw
Dari Abdurrahman bin Abi Laily, dari ayahnya, ia
berkata : “Usaid bin Hudhair adalah seorang sahabat yang shaleh yang selalu
tersenyum, humoris dan ramah. ketika berada di sisi Rasulullah saw, ia
bercakap-cakap dengan para sahabat dan membuat mereka tertawa. Menyaksikan hal
itu, beliau saw memukulkan ujung tongkatnya tepat mengenai pusar Usaid.
Seketika itu jua ia protes : ‘Ya Rasulullah ! Engkau menyakiti aku’.
Beliau saw bilang: ‘Kalau begitu, balaslah aku!’ Kata Usaid : ‘Ya
Rasulullah! Engkau memakai pakaian (gamis), sementara aku tidak memakainya sewaktu engkau pukul’. Beliau saw lalu menyingkapkan bajunya ke atas
sampai perutnya kelihatan, dan tiba-tiba Usaid langsung memeluk dan mencium
perut beliau sambil berkata : ‘Demi Allah, Ya Rasulullah ! Inilah yang aku
kehendaki’.
Al-Hakim mengatakan, bahwa hadis di atas shahih
isnadnya, tetapi tidak diketengahkan oleh Bukhary dan Muslim. Adz-Dzahaby
menyetujuinya dan menilainya shahih.
Ibnu Ishaq mengetengahkan riwayat dari Hibban bin
Wasi’ yang ia dapatkan dari para gurunya, bahwa Rasulullah saw sewaktu sedang
menginspeksi pasukannya sambil memerintahkan agar barisan mereka lurus, beliau
saw lewat di depan Sawad bin Ghaziyah, salah seorang sekutu Bani ‘Ady bin
an-Najjar. Saat itu barisannya tidak lurus, kemudian beliau saw memukulkan
tongkatnya ke perut Sawad seraya memerintahkan : “Luruskan barisanmu, hai
Sawad!”. Sawad pun prote: “Hai Rasulullah! Engkau mrnyakitiku. Padahal
engkau diutus Allah swt dengan membawa kebenaran dan keadilan. Berilah aku
kesempatan untuk membalasmu!” Rasulullah saw menyadari hal itu dan langsung
menyingkapkan bajunya seraya bersabda: “Silahkan kamu balas!”. Sawad
kemudian memeluk dan menciumi perut Rasulullah saw. Beliau saw bersabda, “Apa
yang mendorongmu melakukan ini, hai Sawad!”. “Seperti yang engkau lihat, Ya
Rasulullah saw! Peperangan hampir terjadi. Aka mengharapkan agar pada akhir
hayatku nanti, kulitku dapat bersentuhan dengan
kulitmu”. Beliau saw selanjutnya mendoakan kebaikan untuk
Sawad. (Tersebut didalam kitab Al-Bidayah,
juz 4, hal. 271, karya Ibnu Katsir).
Abdurrazzaq mengetengahkan riwayat dari
Al-Hasan, sebagaimana yang disebutkan didalam kitab Al-Kanz, juz 15,
hal. 91, bahwa seorang sahabat Anshar yang bernama Sawadah bin ‘Amr suka
berjalan sambil menirukan cara berjalannya orang pincang. Rasulullah saw merasa
gemas dengan tingkah laku yang demikian itu. Pada suatu hari, dia datang
menemui Rasulullah saw dalam keadaan berjalan seperti orang pincang, lalu
beliau saw menarik tongkat yang ada di tangannya hingga ia jatuh dan luka. “Qishas,
Ya Rasulullah!”, protes Sawad. Beliau saw lalu mengembalikan
tongkatnya dan dia diberi kesempatan untuk membalas beliau. Saat itu beliau saw
berpakaian rangkap dan keduanya beliau singkap agar ia membalas beliau.
Orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut sama menghardik Sawadah, namun
beliau saw melarang mereka, sampai beliau menuju ke tempat ia jatuh. Di tempat
itu, Sawadah tiba-tiba melempar tongkatnya, terus memeluk dan mencium
tubuh beliau saw seraya berkata, “Ya Rasulullah! Aku mengharapkan engkau
memberiku syafaat pada hari kiamat nanti!”.
========================================
*)
Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
|
|
Judul
Asli
|
:
مفـاهـيم يجب أن تـصحح
|
Penulis
|
:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
|
Alih
Bahasa
|
:
Achmad Suchaimi
|
Judul
Terjemahan
|
:
Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar