|
Oleh: Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki |
1. Beribadah dan memohon
bantuan hanya kepada Allah swt
Allah swt berfirman
didalam QS Al-Fatihah,[1] : 5
إِيَّاكَ
نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ(5)
“Hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada
Engkaulah kami memohon pertolongan"
Kami yakin sepenuhnya
dan tiada keraguan sedikit pun, bahwa memohon pertolongan (Istighatsah, إستغاثة),memohon bantuan (Isti’anah, استعانة), memohon sesuatu perlindungan (Isti’adzah, استعاذة) dan berdoa, pada prinsipnya
hanyalah ditujukan kepada Allah swt, karena hanya Dia -lah sebenarnya yang
menentukan, memutuskan, menolong dan mengabulkan semua permohonan.
Allah swt
berfirman :
وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا
يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ(106)وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ
وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ
عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ(107)
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak
memberi manfaat dan tidak pula memberi madharat kepadamu selain Allah swt.
Sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka Sesungguhnya kamu kalau
begitu termasuk orang-orang yang zhalim. Jika Allah menimpakan sesuatu
kemadharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia.
Dan jika menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tidak ada yang dapat menolak
karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya
di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS
Yunus,[10]: 106-107)
Allah swt berfirman
:
فَابْتَغُوا عِنْدَ
اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ
“Maka mintalah rizki itu di sisi Allah, dan sembahlah
Dia, dan bersyukurlah kepada-Nya” (QS Al-Ankabut,[29] : 17)
Allah swt
berfirman didalam surat Al-Ahqaf.[46] : 5
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا
يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ(5)
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang
menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (do`a)
nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) do`a mereka?”
Allah swt berfirman didalam surat
An-Naml,[27] : 62
أَمَّنْ يُجِيبُ
الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ
“Atau siapakah yang memperkenankan (do`a) orang yang
dalam kesulitan apabila ia berdo`a kepada-Nya,”
Segala bentuk
peribadatan harus ditujukan hanya kepada Allah swt, tidak boleh untuk sesuatu
selain-Nya. Allah swt berfirman :
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ(162)لَا شَرِيكَ لَهُ
وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ(163)
“Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada
sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (QS Al-An’am,[6]
: 162-163)
Atas dasar ayat
di atas, maka tidak boleh bernadzar kecuali karena Allah swt; tidak boleh
berdoa selain kepada-Nya; tidak ada kurban persembahan kecuali karena
Allah swt; tidak boleh istighatsah (mengajukan keluh kesah untuk memohon
pertolongan), isti’anah (memohon bantuan), isti’adzah (memohon
perlindungan) dan bersumpah kecuali dengan atas nama-Nya. Dan tidak boleh bertawakkal
(pasrah) kecuali kepada Allah swt.
Kami berkeyakinan
bahwa Allah swt adalah Pencipta bagi hamba-Nya, termasuk perbuatannya. Tiada
kekuatan dan otoritas bagi manusia kecuali Allah swt, baik ia masih hidup
maupun sudah wafat. Tiada seorang pun yang menyertai Allah swt dalam semua
perbuatan-Nya, juga dalam hal memberi rizki, menghidupkan, mematikan dan
perbuatan lainnya. Tiada seorang pun makhluk yang mampu secara mutlak berbuat
dan meninggalkannya sendiri lepas dari bantuan yang lain, kecuali atas bantuan
Allah swt.
Allah swt adalah Tuhan yang mengatur,
menguasai, dan mengendalikan alam semesta ini. Tiada seorang pun yang memiliki
kekuasaan, kecuali jika Allah swt memberikannya kepadanya dan memberikan izin
kepadanya untuk meraihnya.
Tiada seorang pun
yang mampu mendatangkan manfaat, madharat, mati dan hidup kepada dirinya
sendiri, apalagi kepada orang lain, kecuali atas kehendak dan izin Allah swt.
Datangnya kemanfaatan dan kemadharatan ketika itu terbatas dan tergantung pada
izin-Nya.
Dengan kata lain,
penisbatan (hubungan keterkaitan) Allah swt dalam memberikan kemanfaatan dan kemadharatan
atau lainnya kepada makhluk-Nya hanyalah melalui jalan tasabbub (melalui
proses sebab-akibat) dan usaha, bukan dengan cara penciptaan, pengadaan,
memberi pengaruh, atau menciptakan sebab dan daya. Jadi, penisbatan tersebut pada hakekatnya
adalah bersifat Majazi (kiasan, tidak sebenarnya) dan bukan
bersifat Hakiki. Akan tetapi banyak orang yang berbeda pandangan dalam
memahami dan mengungkapkan hakekat kenyataan ini.
Di antara mereka
ada yang berpegangan pada makna majazi
ini secara berlebihan, sehingga menyebabkan mereka terjebak melakukan pen-Tasybihan
(penyerupaan) secara lafzhiyah (dalam bentuk kata-kata), yakni seakan-akan Allah swt menyamai
makhluk-Nya atau immanen pada makhluk-Nya. Padahal didalam hati mereka
tidak ada maksud dan niatan untuk melakukan yang demikian itu. Hati mereka
tetap bersih, selamat, dan konsisten berpegang pada kesempurnaan tauhid, serta
masih mengakui ketransendenan (kemahasucian) Allah swt.
Sebaliknya di
antara mereka ada yang berpegangan pada makna hakiki secara ekstrim,
melebihi batas moderat, sehingga menyebabkan mereka keras kepala dan bertindak
sewenang-wenang terhadap orang lain yang tidak sefaham dengan mereka. Hal ini
ditunjukkan oleh sikap mereka yang dengan seenaknya memutarbalikkan suatu
keyakinannya, membelokkan suatu pemahaman kepada suatu makna yang sama sekali
tidak mereka maksudkan, dan suka menjatuhkan vonis atau tuduhan (kafir,
musyrik, bid’ah, sesat dan lain-lain) kepada orang lain yang sebenarnya ia
bebas darinya.
Sikap yang
seharusnya kita miliki adalah I’tidal (moderat, jalan tengah),
menjauhkan diri dari semua sikap
ekstrim seperti
berlebih-lebihan berpegang pada makna majazi atau secara kaku
berpegang pada makna hakiki, sebagaimana
penjelasan di atas. Sikap inilah yang lebih menyelamatkan kemurnian agama dan
lebih berhati-hati dalam menjaga posisi
kemurnian tauhid. Wallahu
a’lam.
Sesepuh Islam
Ibnu Taimiyah telah menuturkan suatu ringkasan pendapat yang penting dan
bermanfaat dalam menjelaskan apa saja yang secara spesifik merupakan hak mutlak
Allah swt. Dalam hal ini sebenarnya sesuai dengan inti keyakinan/akidah kami
dan sikap kami dalam beragama. Karena akidah kami pada dasarnya sejalan dengan akidah
salaf, dan berkat anugerah Allah swt , jalan yang kami tempuh pun sesuai
dengan sunnah Rasulullah saw. Oleh karena itu kami pun sejalan dengan pendapat
Ibnu Taimiyah seperti di bawah ini.
Ibnu Taimiyah
berpendapat, bahwa Allah swt telah menetapkan suatu Hak bagi diri-Nya
yang tidak boleh disekutui oleh
seorang pun makhluk. Di antaranya adalah bahwa, tidak selayaknya beribadah kecuali ditujukan kepada
Allah swt; tidak boleh berdoa kecuali kepada-Nya;
tidak boleh bertawakkal kecuali kepada-Nya; tiada berharap dan cemas melainkan
kepada-Nya; tiada tempat berlindung kecuali berlindung kepada-Nya; tiada yang
mampu mendatangkan kebaikan dan menghilangkan keburukan melainkan Dia; serta
tiada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan-Nya.
Allah swt
berfirman :
وَلَا تَنْفَعُ
الشَّفَاعَةُ عِنْدَهُ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ لَهُ
“Tiadalah berguna suatu syafaat di sisi Allah swt
kecuali bagi orang yang telah diizinkan-Nya untuk memperolehnya” (QS
Saba’,[34] : 23).
مَنْ ذَا الَّذِي
يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Tiada yang mampu memberikan syafaat di sisi Allah
swt tanpa izin-Nya” (QS Al-Baqarah,[2] : 255).
إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا ءَاتِي
الرَّحْمَنِ عَبْدًا(93)لَقَدْ أَحْصَاهُمْ وَعَدَّهُمْ عَدًّا(94)وَكُلُّهُمْ ءَاتِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرْدًا(95)
“Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali
akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya
Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang
teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan
sendiri-sendiri.” (QS Maryam,[19] : 93-95)
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ(52)
“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya
dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang
yang mendapat kemenangan.” (QS An-Nur,[24] : 52)
Ayat teresebut
menjerlaskan bahwa Allah swt menetapkan Ketaatan hanya untuk diri-Nya
dan Rasul-Nya, serta menjadikan rasa Takut dan Takwa hanya untuk
diri-Nya sendiri. Demikian pula, yang berhak menerima ketaatan adalah Allah swt
dan Rasulullah saw , sementara yang berhak menerima tawakkal dan pengharapan
dari semua makhluk hanya Allah swt, sebagaimana yang dijelaskan didalam
firman-Nya :
وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوا مَا ءَاتَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ سَيُؤْتِينَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ
إِنَّا إِلَى اللَّهِ رَاغِبُونَ(59)
“Jikalau
mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya
kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan
memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula)
Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada
Allah", (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (QS
At-Taubah,[9] : 59)
Demikianlah yang
dituturkan oleh Ibnu Taimiyah didalam kitab Al-Fatawa, juz 11, hal. 98.
2. Memohon pertolongan dan mengajukan permintaan kepada
Rasulullah
Sebagaimana yang
telah kami sampaikan di muka, kami benar-benar berkeyakinan, dan tidak ada syak
serta keraguan sedikit pun, bahwa memohon pertolongan, perlindungan, berdoa dan
mengajukan suatu permohonan, pada prinsipnya, merupakan Hak yang harus
ditujukan hanya kepad Allah swt. Karena Dia-lah sebenarnya yang mampu
menentukan , memutuskan, menolong dan mengabulkan semua permohonan hamba-Nya.
Sebagaimana
firman-Nya :
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ
يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ(60)
“Dan Tuhanmu berfirman: "Berdo`alah kepada-Ku,
niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan
diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina
dina". (QS Al-Mukmin,[40] : 60).
Oleh karenanya,
jika seseorang berdoa memohon pertolongan, perlindungan atau mengajukan suatu
permintaan kepada seorang makhluk, baik yang masih hidup maupun yang sudah
mati, disertai suatu keyakinan bahwa makhluk yang diserunya itulah yang secara
mutlak mengabulkan, memberi manfaat dan
menolak bahaya, lepas dari bantuan dan izin Allah swt, maka ia benar-benar
melakukan perbuatan syirik.
Meskipun demikian,
Allah swt memperbolehkan bagi sebagian makhluk-Nya untuk meminta bantuan dan
pertolongan kepada sebagian yang lain. Bahkan Allah swt memerintahkan kepada
orang yang dimintai pertolongan, permohonan, perlindungan dan bantuan, agar ia
mengabulkan permohonan orang tersebut.
Banyak hadis Nabi
yang menjelaskan persoalan semacam di atas. Rasulullah saw sendiri sering
didatangi para sahabat yang bermaksud meminta bantuan dan pertolongan
kepada beliau dalam memecahkan problem
dan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kemudian beliau pun mengabulkan permintaan
mereka. Di antaranya mereka mengadukan persoalan hidupnya seperti masalah
kemiskinan, sakit, musibah yang menimpanya, lilitan hutang, dan berbagai macam
kesulitan hidup yang lain. Semua itu mereka lakukan dengan suatu keyakinan
bahwa beliau tiada lain adalah sebagai “Wasilah”, perantara untuk berdoa
kepada Allah swt dalam rangka mendatangkan kemanfaatan dan menolak
kemadharatan, sedangkan “Pelaku” yang hakiki yang sebenarnya mampu mengabulkabn
semua permintaan mereka adalah Allah swt.
1). Abu Hurairah
ra mengadukan kelalaiannya kepada Rasulullah saw. Imam Bukhary menuturkan sebuah hadis dari
riwayat Abu Hurairah yang menjelaskan tentang seringnya ia lupa dan daya
ingatnya lemah setiap kali mendengar sabda Rasulullah saw. Ia mengadukan
persoalannya tersebut kepada beliau dengan harapan agar daya ingatnya kuat dan
tidak sering lupa: “Wahai Rasulullah ! Cukup banyak hadis yang aku dengar
dari engkau, akan tetapi banyak hadis yang aku sudah lupa. Aku ingin agar daya
ingatku kuat sehingga tidak mudah lupa” . Beliau saw bersabda, “Beberkanlah
kain sorbanmu”. Abu Hurairah ra lalu membeberkan kainnya, lalu tangan
beliau yang mulia (seakan-akan) menangkap sesuatu di udara dan diletakkan didalam
kain sorban Abu Hurairah seraya bersabda, “Dekaplah (sesuatu itu)”.
Segeralah ia mendekapnya. Abu Hurairah ra berkata, “Setelah peristiwa itu,
aku tidak pernah lupa lagi” (HR Bukhary, pada bagian Kitabul’ilmi,
bab Menghafal ilmu, hadis nomor 119)
Itulah cara Abu
Hurairah ra meminta kepada Rasulullah saw agar penyakit “lupa” hilang
dari dirinya. Keajaiaban semacam ini sebenarnya merupakan suatu kejadian yang
tidak mampu dilakukan oleh siapa pun kecuali atas izin Allah swt. Dan
Rasulullah saw ternyata mengabulkan permintaan Abu Hurairah tersebut, tidak
menolaknya dan tidak menuduhnya Syirik, karena beliau saw tahu bahwa
memohon bantuan kepada orang-orang yang memiliki kedudukan dan kemuliaan di
sisi Allah swt adalah bukan berarti menghendaki atau meminta mereka untuk
menciptakan sesuatu (seperti layaknya yang dilakukan Allah swt ) , dan si
pemohon pun tidak memiliki keyakinan seperti itu kepada mereka, akan tetapi ia
sekedar menghendaki untuk menjadikan mereka sebagai Wasilah atau menjadi
penyebab Allah swt dalam mengabulkan permintaannya, disebabkan mereka
memiliki keutamaan dan kedudukan di sisi Allah swt , baik berupa kemanjuran
doa, maupun keistimewaan mendatangkan keajaiban yang lain.
Nah, dari hadis
di atas, Anda melihat bahwa Rasulullah saw mengabulkan permintaan Abu Hurairah
ra dan tidak dijelaskan didalam kisah tersebut bahwa beliau mendoakannya. Akan
tetapi yang beliau lakukan adalah tangan beliau seakan menangkap sesuatu di
udara, lalu diletakkan didalam kain sorban Abu Hurairah, kemudian memerintahkan
kepadanya agar mendekapnya ke dadanya. Sehingga Allah swt menjadikan hal itu
sebagai “sebab” terpenuhinya
permintaan atau hajat Abu Hurairah.
Rasulullah saw
tidak mengatakan kepada Abu Hurairah “Kenapa kamu meminta kepadaku, padahal
Allah swt lebih dekat kepada kalian dariada aku!”.
2). Qatadah ra
memohon bantuan untuk mengobati
matanya. Dituturkan didalam sebuah hadis, bahwa Qatadah bin
Nu’man ra tertimpa penyakit mata. Pupil matanya keluar seakan menggantung di
atas pipinya. Para sahabat menyarankan agar pupil matanya diputuskan saja. “Oh,
jangan”, jawab Qatadah ra, sehingga ia meminta persetujuan Rasulullah saw .
Namun beliau saw tidak menyetujuinya, lalu telapak tangan beliau memegang pupil
mata Qatadah dan memasukkannya ke kelopak matanya seperti semula, sehingga
matanya menjadi sembuh, bahkan kondisinya lebih baik lagi.
Hadis di atas
diriwayatkan oleh Al-Baghawy dan Abu Ya’la. Imam ad-Daruquthny, Ibnu Syahin dan
Al-Baihaqy mengetenaghkan hadis ini didalam kitab Ad-Dalail, yang
kemudian dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar didalam kitab Al-Ishabah pada
juz 3, hal. 225. Juga dinukil oleh Al-Haitsamy didalam kitab Majma’
al-Zawaid pada juz 4, hal. 297. Kemudian juga dinukil oleh As-Suyuthy
didalam kitab Al-Khashaish al-Kubra.
3). Meminta
Rasulullah saw untuk menghilangkan bisul. Hadis dari Muhammad bin Uqbah bin Syurahbil,
dari kakeknya, Abdurrahman, dari ayahnya, bahwa ia berkata: “Aku sowan menemui
Rasulullah saw untuk mengadukan bisul di telapan tanganku, “Wahai Nabi
Allah! Bisul ini menyusahkanku sewaktu memedang pedang dan kendali kuda”.
Rasulullah saw bersabda, “Mendekatlah
kepadaku”. Lantas aku mendekat dan beliau meniup telapak tanganku, terus
meletakkan tangannya ke atas bisul.
Sehabis itu, bisulku hilang tanpa bekas”. (HR At-Thabrany dan dinukil oleh
Al-Haitsamy didalam kitabnya Majma’ al-Zawaid, juz 8, hal. 298).
4). Mu’adz bin
Amr meminta agar lengan tangannya yang terputus disambungkan. Di
tengah-tengah pertempuran Badar, Ikrimah bin Abu Jahal berhasil menebas
lengan tangan Mu’adz bin Amr bin Jamuh ra. Ia bercerita, “Dia (Ikrimah)
menebas tanganku, namun ia masih menggantung di badanku disebabkan ada kulit
yang tidak sempat putus. Aku terus berperang sepanjang hari itu dan aku
selipkan tanganku tersebut di balik punggungku. Namun hal itu mengganggu
gerakanku, lalu aku lenganku itu.”
Didalam kitab Al-Mawahib
diceritakan bahwa Mu’adz datang menemui Rasulullah saw sambil membawa
potongan lengannya akibat tebasan pedang
Ikrimah tersebut, seperti yang dituturkan oleh Al-Qadhi ‘Iyadh dari Ibnu Wahab.
Kemudian beliau saw meludahi lengan tersebut dan meletakannya ke tempat semula,
sehingga menjadi tersambung kembali seperti keadaan sebelumnya.
Kisah di atas
dituturkan juga oleh Az-Zarqany dan menyandarkannya kepada Ibnu Ishak. Di
antara sanad-nya itu ada nama
imam Al-Hakim.
5). Meminta bantuan dan pertolongan sewaktu tertimpa bencana. Cukup banyak nash hadis shahih yang menceritakan
bahwa sewaktu tertimpa bencana atau cobaan berupa kemarau panjang akibat lama tidak turun hujan, para sahabat meminta bantuan kepada
Rasulullah saw .
Seorang A’raby meminta pertolongan kepada Rasulullah saw sewaktu beliau
sedang berkhutbah jum’at, “Wahai
Rasulullah saw ! Harta benda (sawah ladang, ternak dll) rusak berantakan dan
kembang mayang pohon-pohon berguguran. Doakanlah kami, agar Allah swt
menurunkan hujan kepada kami”. Rasulullah saw kemudian
berdoa, maka turunlah hujan yang sangat deras terus menerus selama satu pekan.
Pada hari jum’at berikutnya, A’raby tersebut datang menemui Rasulullah saw
seraya melaporkan, “Ya
Rasulullah saw ! Dengan turunnya hujan kemarin, banyak rumah yang roboh,
kembang mayang berguguran, dan banyak ternak yang mati …” Maka Rasulullah saw berdoa lagi kepada Allah swt agar hujan diredakan
dan dialihkan ke daerah sekitarnya. Tidak lama berselang, arakan awan tebal
pecah dan menyebar, sehingga hujan turun di sekitar kota Madinah saja. (HR
Bukhary didalam kitab Shahih-nya, pada bagian “Kitab al-Istisqa’”, bab “Permintaan
masyarakat kepada imam untuk shalat istisqa’
sewaktu tertimpa bencana kekringan”.)
Abu Dawud meriwayatkannya dengan sanad jayyid (sanad baik) dari ‘Aisyah ra. Aisyah bercerita, bahwa Orang-orang
mengadu kepada Rasulullah saw mengenai musim kering yang melanda mereka. Hadis
ini dinukil oleh Abu Dawud didalam kitabnya pada bagian “Kitabus shalat”, bab “Shalat
Istisqa’”.
Anas bin Malik ra menceritakan, bahwa seorang A’raby datang menemui
Rasulullah saw seraya mengadu, “Wahai Rasulullah saw ! Saya datang menemui
engkau dalam keadaan unta-unta kami tidak lagi dapat berdiri dan bayi-bayi
tidak dapat tidur nyenyak” Kemudian ia
mendendangkan syair yang isinya melaporkan keadaan akibat musim kemarau
panjang, bahwa harta benda (ternak, bahan makanan, dll) rusak berantakan,
masyarakat banyak yang lemah dan
terserang penyakit, sehingga tidak mampu lagi mengatasi bencana yang sedang
terjadi. Pada bagian akhir syairnya, ia memohon kepada Rasulullah saw : “Tidak
ada lagi tempat bergantung bagi kami selain engkau, Wahai Rasulullah saw ! Mau
kemana lagi orang-orang akan bergantung, kalau tidak kepada Rasulullah saw !” .
Kemudian Rasulullah saw segera
mengambil kain sorbannya dan naik ke atas mimbar, lalu berdoa :
اللـهمّ اسقنا غيثاً مُغيثا مريـئاً مريـعاً غَدَقاً طِبْقاً نافعا
غير ضارّ عاجلا غير رائِثٍ تملاء به الضرعُ, و تنبت به الزرعُ, و تحيي به الارض
بعد موتـها
“Ya Allah!
Turunkanlah hujan yang deras kepada kami, yang mudah, baik, cocok, bermanfaat,
tidak membahayakan, sekarang juga dan tidak perlu ditunda, yang menyebabkan
hewan-hewan ternak penuh air susunya, tetumbuhan tumbuh subur, dan dapat
menyuburkan tanah yang sesudah lama mengering”.
Beliau saw belum sampai menarik tangan
yang sedang ditengadahkannya ke atas, maka
hujan turun dengan derasnya. Tidak lama kemudian orang-orang datang
sambil ribut karena banjir, kemudian beliau saw berdoa :
حـواليـنا و لا عـلـيـنا
“Ya
Allah, turunkanlah hujan hanya di sekitar kami dan jangan sampai mencelakakan
kami”.
Mendung tebal lalu pecah dan menyebar dari kota Madinah
ke daerah sekitarnya.
Anda perhatikan, bagaimana para sahabat menisbatkan memohon pertolongan
dan kemanfaatan kepada Rasulullah saw secara majazi. Demikian pula seorang
A’raby di atas, pada ujung syairnya ia mengatakan, “Tidak ada lagi tempat bergantung bagi kami selain kepada
engkau…”. Namun Rasulullah saw tidak
menuduh mereka telah melakukan kesyirikan, karena penisbatan tersebut adalah
bersifat Idhafy atau Majazy,
bukan Hakiky.
3. Tiada perbedaan mati dan hidup : Kasus kematian
Hamzah
Hadis riwayat Ibnu Syadzan yang
bersumber dari Ibnu Mas’ud ra, ia menceritakan : “Kami tidak pernah melihat Rasulullah saw menangis dengan
begitu kerasnya melebihi tangisannya sewaktu Hamzah bin Abdulmuthalib wafat.
Beliau membaringkan jenazahnya menghadap ke arah kiblat, lalu memandanginya
sambil menangis meratapi kepergiannya, “Wahai Hamzah, pamannya Rasulullah saw,
Singanya Allah swt dan Rasul-Nya. Wahai Hamzah, si Pelaku kebaikan. Wahai
Hamzah, si Pelipur lara, si Pembebas bencana.!”. (Tertulis didalam kitab Al-Mawahib
al-Laduniyah, juz 1; hal. 212)
Tiada bedanya antara mati dan hidup. Ada segelintir orang yang mengatakan bahwa memohon pertolongan,
mengadukan problem, memohon syafaat dan bantuan, serta permohonan lainnya
kepada Rasulullah saw , hanyalah diperbolehkan selama beliau masih hidup.
Setelah beliau wafat, permohonan semacam ini termasuk perbuatan “kufur”, menurut golongan ekstrim. Barangkali istilah yang lebih sopan dan toleran: “tidak
disyariatkan” atau “tidak
diperbolehkan”.
Kami berpendapat, bahwa hal semacam itu boleh-boleh saja dilakukan, sekalipun Rasulullah saw
sudah wafat. Karena para Nabi dan juga
para kaum shalihin yang sudah meninggal dunia, pada hakekatnya, mereka adalah
hidup, yakni hidup di alam barzah, atau hidup secara ruhani, meskipun jasad
mereka sudah hancur menyatu dengan tanah.
Seandainya ada seorang Faqih
(Ahli Fikih) yang belum
menemukan dalil yang mensahkan keboleh bertawassul dan istighatsah (mohon pertolongan)
dengan perantaraan Rasulullah saw setelah wafatnya, kecuali jika hal itu
dilakukan semasa hidup beliau, maka cukuplah sebagai dalil. Karena beliau saw
pada kenyataannya adalah senantiasa hidup, baik di dunia maupun di akhirat,
yang selalu memberikan pertolongan kepada umatnya, dan dengan Izin Allah swt
beliau membantu memecahkan problematika mereka, diperlihatkan kepada beliau
tentang kondisi mereka, serta shalawat-salam yang diucapkan mereka dihaturkan
Allah swt kepada beliau dan ucapan tersebut sampai kepada beliau.
Orang-orang yang memiliki wawasan keilmuan yang luas tentang hal ihwal
kehidupan roh-roh beserta keistimewaannya, tentu hati mereka akan terbuka untuk
meyakini keberadaan roh-roh tersebut. Terutama tentang kehidupan “Ruhul Arwah” (Roh dari
segala arwah) dan “Nurul
Anwar” (Cahaya dari segala cahaya),
yakni Nabi Muhammad saw.
Seandainya memohon syafaat, istighatsah,
atau tawassul dengan perantaran Rasulullah saw itu termasuk
perbuatan Syirik dan Kufur,
sebagaimana yang mereka bayangkan,
tentu beliau saw sejak awal tidak akan membolehkan permohonan semacam itu dalam
berbagai situasi dan kondisi, baik yang dilakukan mereka kepada beliau semasa
hidupnya di dunia, hidup di alam barzah setelah wafatnya, hidup di akhirat
setelah hari kiamat, maupun sebelum kiamat, karena yang namanya perbuatan syirik itu sangat dibenci Allah swt dalam berbagai situasi
dan kondisi.
4. Anggapan dan Tuduhan yang keliru
Anggapan yang menyatakan bahwa orang yang sudah mati tidak mampu berbuat
sedikit pun, adalah anggapan yang batil lagi keliru, apalagi mayit tersebut
dianggap sudah hancur lebur menjadi debu. Semua anggapan tersebut menunjukkan
kebodohan mereka terhadap apa yang pernah disabdakan Rasulullah saw dan
yang telah difirmankan Allah swt, di mana roh yang ditinggalkan oleh jasadnya
pada hakekatnya adalah masih hidup.
Rasulullah saw pernah memanggil roh-roh orang yang sudah mati sewaktu
perang Badar selesai, “Hai
Amr bin Hisyam! Hai ‘Utbah bin Rabi’ah!
Hai Fulan bin fulan! … Sesungguhnya kami sudah menemukan apa-apa yang telah
dijanjikan Allah swt kepada kami. Apakah kalian sudah menemukan apa-apa yang telah dijanjikan tuhan-tuhan kalian?”. Ada sahabat
yang bertanya kepada beliau saw, “Apa
yang sedang engkau lakukan, wahai Rasulullah saw !”. Jawab beliau, “Kalian tidak lebih mendengar terhadap apa yang baru saja
aku katakan kepada mereka (roh-roh)”.
Rasulullah saw mengajari kita cara mengucapkan Salam kepada penghuni kubur, yakni ucapan Assalamu
‘alaikum, ya
Ahladdiyaril mukminin… (“Salam sejahtera semoga dilimpahkan Allah kepada
kalian, wahai penghuni kubur dari kalangan kaum mukminin).
Demikian pula banyak dalil-dalil atau argumentasi yang menjelaskan adanya siksa dan kenikmatan
yang diterima oleh orang yang
meninggal dunia didalam kuburnya, juga pendapat mengenai datang dan perginya
roh, ternyata dibenarkan oleh para filosof, baik filosof klasik maupuin filosof
modern.
Semua riwayat di atas menunjukkan bahwa roh-roh yang telah berpisah
dengan jasadnya, pada dasarnya, adalah masih hidup.
Yang perlu kami tanyakan kepada orang-orang yang mengingkari persoalan
ini, adalah: “Apakah
mereka mempercayai bahwa para syuhada’ yang gugur di medan perang itu hidup di
sisi Tuhannya, sebagaimana yang difirmankan didalam Al-Qur’an, ataukah tidak!”.
Jika mereka menjawab: “Tidak
percaya”, maka tidak ada gunanya
berbicara dan berdialog dengan mereka. Karena hal itu mereka berarti
jelas-jelas membohongi ayat-ayat Al-Qur’an :
وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ
يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ(154)
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang
yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka
itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al-Baqarah,[2] : 154)
وَلَا تَحْسَبَنَّ
الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ
رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ(169)
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur
di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan
mendapat rezki.” (QS Ali Imran,[3] : 169).
Namun jika
jawaban mereka adalah “Percaya”, maka perlu kami tegaskan kepada mereka,
bahwa para Nabi dan sebagian besar kaum shalihin yang tidak tergolong Syuhada’,
seperti para tokoh dari kalangan generasi sahabat, tentu mereka semua lebih
mulia daripada para syuhada’ tersebut. Jika roh para syuhada’ saja diterima dan hidup di sisi
Allah saw, apalagi rohnya para Nabi dan para tokoh sahabat Nabi yang jelas
memiliki kedudukan yang lebih mulia daripada mereka, tentu lebih diterima dan hidup
di sisi Allah swt. Sebagaimana hal ini dijelaskan didalam beberapa hadis shahih.
Sangat tidak benar jika ada yang
mengatakan bahwa meminta bantuan kepada Allah swt dengan perantaraan roh-roh
para Nabi, kaum shalihin dan para syuhada’, merupakan tindakan yang tidak
rasional. Apanya tidak rasional?.
Pemahaman terhadap persoalan “meminta
bantuan” semacam ini tidak jauh dengan pemahaman kita terhadap “meminta
bantuan” kepada “Makhluk Ruhani”, yakni para malaikat, dalam
rangka lesuksesan usaha dan hajatnya. Sama juga halnya dengan “meminta
bantuan” kepada sesama manusia, karena hakekat manusia adalah Roh-nya,
bukan jasad-nya.
Aktifitas
kehidupan para Roh orang yang meninggal dunia pada dasarnya sama
saja dengan aktifitas kehidupan para malaikat, yakni sama-sama tidak
membutuhkan sarana materi, tidak terikat oleh kaidah, aturan atau hukum alam
seperti yang Anda kenal didalam dunia fisik.Karena merekam hidup di alam lain,
yakni alam barzah, yang berbeda sama sekali dengan alam dunia
ini.
Allah swt berfirman :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ
الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ
إِلَّا قَلِيلًا(85)
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh.
Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit". (QS Al-Isra’,[17] : 85)
Apa yang mereka
pahami tentang aktifitas para malaikat atau jin di alamnya ini?. Tentu tidak
ada yang mampu memahami dan mengetahuinya secara pasti. Yang jelas, para Roh
memiliki gerak hidup yang bebas, tidak terikat oleh ruang dan waktu, serta
sangat mungkin menjawab orang yang memanggilnya dan menolong orang yang meminta
bantuannya. Mereka tidak jauh berbeda dengan aktifitas orang-orang yang hidup
di dunia ini, bahkan para Roh tersebut jauh lebih leluasa,
lebih hebat dan lebih mampu dalam beraktifitas.
Jika yang mereka
yakini, percayai dan akui itu adalah sesuatu yang bersifat empiris, kongrit dan
dapat diraba dengan panca indera, persetan dengan segala sesuatu yang bersifat Ruhani,
berarti sikap mereka tersebut tak ubahnya seperti sikap kaum materialis,
empiris atau naturalis. Sikap
semacam ini tidak menunjukkan sikap orang yang beriman, karena sebagian besar
obyek yang diimani kaum mukminin adalah hal-hal yang bersifat Ghaib dan
tidak mampu diraba dengan indera manusia.
Dengan sikap yang
empiristis dan materialistis tersebut mereka berpendapat, bahwa Roh-roh di
alam barzah yang sudah terpisah dengan jasadnya teresebut tidak mampu lagi
berbuat banyak. Perlu kami tegaskan, bahwa pertolongan yang diberikan oleh Roh
para Nabi dan Auliya’ yang sudah wafat kepada orang-orang yang memintanya,
tidaklah sama dengan pertolongan yang diberikan oleh sesamanya sewaktu masih hidup.
Akan tetapi yang mereka berikan tersebut adalah pertolongan yang berwujud Doa
kepada orang-orang yang menziarahinya atau yang memintanya, sama seperti Doa
orang shaleh yang memiliki kedudukan mulia di sisi Allah swt kepada orang-orang yang lebih rendah pangkat
derajatnya, atau paling sedikit seperti Doa seseorang kepada saudaranya.
Dan Anda benar benar telah mengetahui bahwa Roh-roh di alam barzah
sebenarnya adalah Hidup, mereka dapat merasakan dan mengetahui, bahkan
lebih peka perasaannya daripada kita yang hidup di alam dunia ini. Halm ini
disebabkan bahwa Roh-roh tersebut telah bebas dan lepas dari kekangan
jasad dan nafsu syahwat kemanusiaannya.
Dijelaskan oleh beberapa hadis Nabi,
bahwa amal-amal perbuatan yang sedang kita lakukan di alam dunia ini dihaturkan
Allah swt kepada Rasulullah saw. Jika beliau memandangnya baik, maka beliau saw
bersyukur kepad Allah swt. Jika beliau pandang jelek, maka beliau akan
memohonkan maaf untuk kita.
Perlu kami
tegaskan lagi, bahwa yang berhak dimintai pertolongan , permohonan, syafaat dan
permintaan lainnya hanyalah Allah swt semata. Hanya saja didalam memohon kepada
Allah swt, orang yang memohon tersebut
meminta agar Rasulullah saw dijadikan sebagai Wasilah (perantara)
untuk terkabulnya suatu hajat. “Pelaku”
(yang mengabulkan
pertolongan, syafaat dan permohonan lainnya) pada dasarnya adalah tetap Allah
swt, akan tetapi orang yang berdoa tersebut berkeinginan untuk meminta sesuatu
kepada Allah swt dengan perantaraan sebagian orang-orang yang memiliki kedekatan
dengan-Nya dan memiliki kedudukan yang mulia di sisi-Nya, sehingga sewaktu
berdoa ia seakan-akan mengatakan: “Kami
adalah salah seorang pencinta
Rasulullah saw. Karena itu, berilah kami
rahmat”.