Tampilkan postingan dengan label doktrin Aswaja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label doktrin Aswaja. Tampilkan semua postingan

Kamis, 18 Juli 2013

PYPD - 26. Pandangan Para Ulama Tentang Keistimewaan Nabi Muhammad SAW. *)



Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki




Para ulama menaruh perhatian yang cukup besar terhadap kekhususan, keistimewaan dan kemukjizatan Nabi Muhammad saw dalam beberapa tulisan, komentar dan kajian mereka. Kitab yang terkenal dan terlengkap mengenai persoalan ini adalah yang ditulis oleh imam Jalaluddin as-Suyuthy, berjudul Al-Khashaish al-Kubra.
Nabi Muhammad saw memiliki kekhususan dan keistimewaan yang cukup banyak. Sandaran pengambilannya pun beragam. Ada yang shahih dan ada yang tidak, bahkan ada yang masih diperselisihkan keabsahannya di kalangan para ulama. Di antara mereka ada memandangnya shahih dan ada yang memandangnya masih diperselisihkan, sehingga menjadi persoalan khilafiyah.
Pembahasan ini sekitar pandangan para ulama jaman dahulu mengenai soal benar-salahnya dan sah-batalnya, bukan soal kufur tidaknya. Mereka berselisih tentang sebagian besar Hadis Nabi yang menjelaskan masalah kekhususan dan keistimewaan yang dimiliki Nabi Muhammad saw. Sebagian mereka membantah dan menolak sebagian ulama lain dalam masalah shahih dan dha’ifnya suatu hadis. Penolakan mereka didasarkan atas hasil kajian mereka terhadap sanad dan status para perawinya. Di antara mereka ada yang menshahihkan hadis yang dha’if dan mendha’ifkan hadis yang shahih; menetapkan hadis yang mardud (seharusnya ditolak) dan memardudkan yang sudah ditetapkan, disertai dengan berbagai alasan, penakwilan dan lain-lain, melalui metode pembahasan yang mereka tetapkan. Hal itu terjadi disebabkan adanya ketidaksamaan visi, pandangan dan kemampuan dalam menangkap pemahaman makna yang terkandung, dan dalam keluasan ilmu mereka.
Para ulama cukup toleran dalam mengutip dan menerjemahkan keistimewaan Nabi Muhammad saw, lalu memandangnya masuk kedalam kategori Fadhailul A’mal (keutamaan amal) dan tidak ada kaitannya dengan persoalan halal-haramnya. Atas dasar ini, mereka menyusun dan merumuskan kaidah-kaidah yang berkaitan dengan pengamalan Hadis-hadis Dha’if dalam persoalan Fadhailul A’mal, selama hadis tersebut tidak bernilai “Maudhu’” (hadis palsu) dan “Batil” dengan syarat-syarat yang mu’tabar (terkenal, absah), sesuai dengan yang mereka tentukan.
Jika kita tengok kitab-kitab susunan para ulama Salaf, tentu kita akan menemukan sebagian besar diantara mereka, khususnya para fuqaha’ (ahli fiqh), telah menyebutkan kedalam kitab-kitab mereka sejumlah keistimewaan  Rasulullah saw. Semuanya mereka susun dan mereka nukil berdasarkan kaidah-kaidah serta prinsip-prinsip tertentu yang mereka tetapkan.


Pandangan Ibnu Taimiyah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terkenal sebagai seorang ulama yang sangat teguh, kuat dan keras pendiriannya. Beliau menukil beberapa keistimewaan Rasulullah saw dalam beberapa kitab karangannya, yang sanad-nya terkadang kurang shahih, namun kemudian ia jadikan sebagai dalil pada sebagian besar persoalan, lalu ia simpulkan dan ia ambil suatu I’tibar (pelajaran), sambil menyandarkannya pada penjelasan hadis, atau ia melakukan interpretasi terhadap hadis tersebut. Misalnya didalam kitabnya, Al-Fatawa al-Kubra, disebutkan sebuah hadis yang menjelaskan tentang dituliskannya nama “Muhammad” di atas tiang penyangga ‘Arasy,  di atas pintu-pintu, kubah-kubah, ruangan dan dedaunan di sorga. Di samping juga diriwayatkan sejumlah Atsar  yang isinya sesuai dan mendukung isi kandungan hadis yang sebenarnya merupakan jawaban Rasulullah saw atas pertanyaan sahabat Maisarah ra : ”Sejak kapan engkau menjadi Nabi?” Beliau mejawab, “Sejak Nabi Adam masih berwujud antara ruh dan jasad”.
Abul Husain bin Busyran meriwayatkan hadis melalui syaikh Abul Faraj Ibnul Jauzy didalam kitab Al-Wafa bi Fadhailul Musthafa saw : Telah bercerita kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Amr, dari Ahmad bin Ishaq, dari Muhammad shalih, dari Muhammad bin Sinan al-Aufy, dari Ibrahim bin Thahman, dari Yazid bin Maisarah, dari Abdullah bin Sufyan, dari Maisarah ra, bahwa dia berkata: “Ya Rasulullah saw ! Sejak kapan engkau menjadi Nabi?”. Beliau menjawab: “Setelah menciptakan bumi, Allah swt menuju ke langit lalu menjadikannya tujuh lapis. Kemudian Dia menciptakan ‘Arasy. Di atas tiang penyangga ‘arsy itu dituliskan kalimat : Muhammadurrasulullah, penutup para Nabi. Selanjutnya Dia menciptakan surga tempat tinggal Nabi Adam dan Hawa’, dan di sana dituliskan namaku di atas pintu-pintu, dedaunan, kubah, kamar, dan bangunan istananya. Sementara saat itu Nabi Adam baru berwujud antara Ruh dan Jasad. Sewaktu Dia menghidupkannya, Nabi Adam memandang ke ‘arasy dan dilihatnya namaku tertulis di sana. Allah swt memberitahukan kepadanya bahwa Muhammad adalah penghulu anak keturunannya. Sewaktu syetan berhasil mengoda, memperdayai dan membujuk Nabi Adam dan Hawa’, mereka berdua lalu bertaubat dan meminta syafaat kepada Allah swt dengan perantaraan namaku”. (Al-Fatawa Al-Kubra, juz 2; hal. 151).

Pandangan Ibnu Taimiyah tentang Karamah. Dilihat dari segi hukumnya, antara keistimewaan atau Mukjizat yang dimiliki Rasulullah saw dan para Nabi pada umumnya dengan keistimewaan para auliya’, sebenarnya adalah sejenis. Hanya saja bahwa keistimewaan yang dimiliki para Nabi disebut Mukjizat, sementara yang dimiliki para auliya’ disebut Karamah.
Pandangannya tentang Karamah-nya para auliya’ sama dengan pandangannya tentang Mukjizat-nya para Nabi. Didalam beberapa kitabnya, dia mengutip sejumlah Karamah atau Khawariqul ‘Adah (kejadian luar biasa, diluar kemampuan manuia pada umumnya) yang pernah terjadi para awal-awal periode Islam. Bila hal ini kita kaji dari sudut derajat, sanad dan metode penetapan sebuah riwayat, tantu akan kita temukan status dari riwayat tersebut, yakni ada yang berstatus shahih, dha’if, maqbul (diterima), mardud (ditolak), munkar, dan ada yang Syadz.
Berikut ini adalah beberapa contoh Karamah dan Khawariqul ‘adah yang pernah dialami oleh sebagian sahabat Nabi, yang pernah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah didalam beberapa kitabnya. Semuanya dapat diterima (Maqbul), bahkan sering kali dinukil oleh para ulama.

1). Ummul Aiman ra. Pada waktu berangkat hijrah ke Madinah, ia tidak membawa bekal makanan dan minuman sedikit pun. Ia hampir saja mati kehausan di tengah perjalanannya, sementara ia harus meneruskan puasanya. Pada saat fajar tiba, ia mendengar suara sayup-sayup dari atas kepalanya, terus saja ia angkat wajahnya ke langit, tiba-tiba dilihatnya sebuah ember berisi air menggantung di atasnya. Kemudian ia ambil ember tersebut dan ia minum airnya sampai kenyang. Sejak saat itu ia tidak pernah merasakan haus sepanjang hidupnya.

2). Al-Barra’ bin Malik ra. Bila sudah menyatakan sumpah atas nama Allah swt, ia akan menepati dan melaksanakan sumpahnya itu. Pada suatu pertempuran jihad yang sangat menyudutkan posisi tentara Islam, mereka berseru: “Hai Barra’! Bersumpahlah kepada Tuhanmu!”. Kemudian ia bersumpah: “Ya Allah! Aku bersumpah kepada-Mu untuk mengalahkan musuh-musuhku”.  Setelah itu ia konsisten dengan sumpahnya, ia wujudkan sumpahnya itu untuk menumpas  para musuh dengan gagah beraninya, sampai tentara musuh dapat dikalahkan. Pada kesempatan yang lain, ia mengikuti pertempuran Kadisia dan saat itu pula ia bersumpah: “Aku bersumpah kepada-Mu, Ya Allah, untuk mengalahkan mereka. Dan aku memohon kiranya Engkau mematikan aku dalam keadaan mati Syahid  yang sebaik-baiknya”. Sumpahnya itu menjadi kenyataan, di mana tentara Persia dapat dikalahkan kaum muslimin dan dia sendiri gugur di medang perang tersebut sebagai Syuhada’.

3). Khalid bin Walid ra. Dalam suatu pertempuran, ia pernah mengepung tentara musuh dengan sangat ketatnya, sehingga mereka mengatakan: “Hai Khalid, kami tidak akan menyerah sebelum kamu meminum racun ini!”. Selanjutnya ia turuti kehendak musuh tersebut dengan meminum racun, namun ia tidak apa-apa.

4). Umar bin Khatthab ra. Ia pernah mengirim pasukan perang ke kota Nahawand Persia dibawah pimpinan Sariyah bin Zanin al-Khulaji, dalam rangka membabantu pasukan Islam yang lebih dahulu sudah ada di sana, untuk berperang melawan tentara Persia. Sementara itu posisi Umar di Madinah. Pada saat tengah berkhutbah, tiba-tiba ia berteriak keras memanggil pasukannya: “Hai Sariyah! Naiklah ke atas gunung. Hai Sariyah! Naiklah ke gunung”. Nampaknya ia melihat jalannya pertempuran yang terjadi di Persia tersebut dengan jelas, dari jarak yang cukup jauh, yakni Madinah. Setelah pertempuran berakhir, seorang utusan tentara menemui Umar seraya menceritakan peristiwa ajaib yang mereka alami, “Wahai Amirul Mukminin! Kami menghadapi musuh yang sangat kuat. Kami sempat terdesak mundur, tiba-tiba kami mendengar teriakan engkau: “Hai Sariyah! Naiklah ke atas gunung!”, maka kami pun mundur dan naik ke atas gunung, sehingga berkat bantuan Allah swt, kami dapat mengalahkan mereka”.

5). Al-‘Ala’ al-Hadhramy ra. Ia seorang sahabat Nabi yang ditugasi Rasulullah saw menarik zakat mal di negeri Bahrain. Ia terkenal sangat makbul doanya dan lafazh doa yang biasa ia ucapkan berbunyi: “YaAlim, Ya Halim, Ya ‘Aliyyu, Ya ‘Azhiim…” (Wahai Allah Yang Maha Mengetahui, Maha Pemurah, Maha Tinggi, Maha Agung …), sehingga apa aja yang ia kehendaki terkabul. Dia pernah berdoa di tengah masyarakat yang sedang tertimpa musim kemarau panjang dan krisis pangan, sehingga sulit sekali menemukan air minum. Dia berdoa agar diturunkan hujan dari langit, agar masyarakat bisa minum dan berwudhu, maka tidak lama kemudian,  turunlah hujan dengan sangat derasnya. Pada kesempatan lain, ia berjalan memimpin pasukan berkuda kaum muslimin menuju ke suatu tempat, namun terhalang lautan, lalu ia berdoa agar bisa menyeberanginya tanpa mengalami kesulitan. Doanya terkabul dan ia bersama kaum muslimin dapat berjalan di atas air lautan tanpa membasahi pelana kudanya. Dia juga pernah berdoa, jika suatu ketika ia meninggal dunia, hendaklah jasadnya musnah (Moksa) dan tidak dapat dilihat orang. Ternyata doanya terkabul, semua orang benar-benar tidak menemukan jasadnya di liang kuburnya saat liang kuburnya digali kembali.

6). Abu Muslim al-Khaulany. Dia pernah dilemparkan oleh Al-Aswad al-Ansy (salah seorang nabi palsu) ke tengah api unggun disebabkan ia menolak murtad dari agama Islam, namun tidak merasakan panas sedikit pun, bahkan ia merasa dingin dan sempat melakukan shalat di tengah api tersebut. Setelah wafatnya Rasulullah saw, ia berkunjung ke kota Madinah dan disambut dengan penuh kehormatan. Sahabat Umar bin Khatthab mendudukkannya di tempat duduk di antara dia dan khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, seraya berkata, “Alhamdulillah! Segala puji bagi Allah swt yang tidak mematikan aku sampai aku sempat melihat salah seorang umat Muhammad yang melakukan sesuatu sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim”. Karamahnya yang lain, ia pernah memakan makanan yang diberi racun oleh seorang jariyah yang membencinya, namun ia tidak apa-apa. Dia juga pernah ditipu oleh isterinya sendiri, kemudian ia berdoa memasrahkan perbuatan isterinya itu kepada Allah swt dan tidak berapa lama, mata isterinya menjadi buta. Setelah isterinya meminta maaf dan bertaubat, lalu ia berdoa agar isterinya disembuhkan dari kebutaan dan doanya terkabul, sehingga isterinya dapat melihat kembali seperti semula.

7). Sa’id Ibn al-Musayyab. Pada suatu hari di musim panas, ia pernah mendengar suara adzan yang datang dari arah dalam makam Rasulullah saw setiap kali masuk waktu shalat. Padahal tidak ada satu pun orang di didalam masjid Nabawi, selain dirinya seorang. 
Dan masih banyak lagi kisah-kisah Karamah kaum shalaf pada awal periode Islam. (Al-Fatawa al-Kubra, juz 11; hal. 281).



Pandangan Penulis kitab Kasy-syaful Qana’

Al-‘Alim al-‘Allamah syaikh Manshur bin Yunus al-Bahuty didalam kitabnya, Kasy-syaful Qana’, menyebutkan sejumlah kekhususan, keistimewaan atau mukjizat Rasulullah saw. Tidak sedikit dari orang-orang yang pendek akalnya memandang hal ini sangat aneh dan tidak masuk akal. Di antara keistimewaan beliau saw sebagai berikut:

1). Kesuian air seni dan darah Rasulullah saw. Barang najis bagi kita merupakan sesuatu yang suci bagi Rasulullah saw dan sekalian para Nabi as. Sehingga  tidak sedikit para sahabat yang pernah meminum air seni dan darah beliau saw.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan imam Ad-Daruquthny dikisahkan, bahwa Ummu Aiman ra pernah meminum air seni Rasulullah saw, lalu beliau bersabda kepadanya, “Kalau begitu, perutmu tidak akan tersentuh api neraka”.  Hanya saja hadis ini dha’if.
Ibnu Hibban meriwayatkan sebuah hadis, bahwa ada seorang budak lelaki yang membekam (hijamah, menyedot dan mengeluarkan darah kotor) Rasulullah saw. Setelah selesai, ia minum darah bekaman tersebut. Beliau bersabda kepadanya, “Celaka kamu ini, apakah kamu minum darah tadi?”. Benar Ya Rasulullah saw! Aku telan kedalam perutku”, jawabanya. Beliau bersabda lagi, “Pergilah! Kamu akan terpelihara dari api neraka”.

2). Tidak meninggalkan bayangan tubuh. Rasulullah saw tidak meninggalkan bayangan dari tubuhnya sewaktu terkena sorot sinar matahari dan bulan. Karena beliau saw adalah “Nuraniy” (serba cahaya), sementara “bayangan” adalah wujud dari kegelapan. Ibnu Aqil dan yang lain berargumentasi, bahwa hal ini terjadi disebabkan beliau saw senantiasa berdoa agar seluruh bagian tubuhnya dan segala arahnya bercahaya. Di ujung Doanya berbunyi :  وَ اجْـعَـلْـنِيْ  نُوْراً (Dan jadikanlah diriku bercahaya).

3). Mendapatkan kedudukan yang mulia. Rasulullah saw mendapatkan posisi “Maqam Mahmudah” (kedudukan yang mulia).  Maksudnya, beliau saw berposisi duduk di atas ‘Arasy. Abdullah bin Salam mengatakan, bahwa beliau saw duduk di atas Kursy ketuhanan. Demikian pula yang dikatakan oleh Al-Baghawy.

4). Rasulullah saw tidak pernah menguap.

5). Semua amal perbuatan manusia diperlihatkan kepada Rasulullah saw . Seluruh manusia sejak jaman Nabi Adam sampai hari kiamat, diperlihatkan Allah swt kepada Rasulullah saw, sama seperti pengetahuan Nabi Adam as terhadap semua nama dari segala sesuatu yang ada jagad raya. Ad-Dailamy meriwayatkan sebuah hadis, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, “Dunia ini digambarkan Allah swt kepadaku dalam bentuk air dan tanah, sehingga menjadilah aku mengetahui segala sesuatu yang ada didalamnya”.
 Ath-Thabrany meriwayatkan hadis: “Telah diperlihatkan Allah swt kepadaku tentang keadaan umatku kemarin di depan kamarku ini, mulai dari awal sampai yang terakhir. Mereka digambarkan kepadaku seperti air dan tanah, sehingga aku mengenal mereka satu persatu sebagaimana pengenalanku kepada sahabat dekatku”.
Sementara itu, imam Ahmad dan para imam hadis lainnya meriwayatkan hadis: “Aku melihat peristiwa-peristiwa yang akan menimpa pada umatku sepeninggalku nanti, bahwa sebagian mereka menumpahkan darah sebagian yang lain”.

6). Menziarahi makam Rasulullah saw disunnahkan bagi kaum lelaki maupun perempuan berdasarkan keumuman lafazh dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthny, dari jalan Ibnu Umar ra: “Barangsiapa yang berhajji, lalu ia menziarahi makamku setelah wafatku, seakan-akan ia mengunjungiku sewaktu aku masih hidup”.        
Demikianlah beberapa keistimewaan dan kekhususan Rasulullah saw yang disebutkan didalam kitab Kasy-syaf al-Qana’, juz 5; hal. 30, yang diterbitkan disebarluaskan atas perintah Raja Faishal bin Abdul Aziz.



=============================
 *) Sumber : diterjemahkan dari kitab "مفاهيم يجب ان تصحح", karya DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki



Minggu, 30 Juni 2013

PYPD - 29. Perantara Syirik dan Perantara Agung



Oleh : Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki


Perantara syirik (Wasithah Syirkiyyah)

Sebagian besar orang salah dalam memahami “Perantara Kesyirikan”. Mereka melontarkan hukum dan anggapan secara serampangan tanpa dipikirkan secara mendalam. Mereka beranggapan bahwa setiap Wasithah (medium, perantara) merupakan salah satu bentuk perbuatan syirik.Dan orang yang mempergunakan Wasithah atau perantara dengan berbagai bentuk dan caranya dalam setiap aktifitas ibadah, doa dan lain-lainnya, berarti ia musyrik dan keadaannya sama seperti orang-orang musyrik yang berkata :

مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
Kami tidak menyembah berhala-berhala melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya” (QS Az-Zumar,[39]: 3).

Pandangan dan anggapam seperti di atas perlu ditolak secara tegas. Apalagi ayat 3 QS Az-Zumar yang mereka jadikan argumentasi adalah bukan pada tempatnya. Karena ayat tersebut secara tegas menjelaskan pengingkaran terhadap prilaku kaum musyrikin yang menjadikan berhala dan patung sebagai “tuhan-tuhan selain Allah swt”. Di samping bahwa ayat tersebut mengingkari terhadap praktek-praktek kesyirikan yang mereka lakukan dengan suatu keyakinan dan persangkaan bahwa penyembahan terhadap patung dan berhala tersebut merupakan sarana mendekatkan diri kepada Allah swt dengan sedekat-dekatnya. Jadi kekufuran dan kesyirikan mereka terletak pada dua hal : Pertama,  penyembahan terhadap patung dan berhala.  Kedua, keyakinan mereka bahwa patung dan berhala tersebut dianggap sebagai tuhan-tuhan selain Allah swt.

Perlu kami tegaskan, QS Az-Zumar ayat 3 di atas membuat kesaksian bahwa kaum musyrikin tidak bersungguh-sungguh dalam berargumentasi mengenai alasan mereka menyembah patung dan berhala. Sekiranya alasan mereka itu benar, jujur dan dapat dipercaya, tentu mereka dengan jantan akan mengatakan, bahwa Allah swt adalah Dzat Yang Lebih Mulia dan Luhur daripada patung dan berhala mereka. Konsekwensinya, mereka tidak akan menyembah tuhan-tuhan selain Allah swt. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian.

Allah swt melarang kaum muslimin untuk mencela patung dan berhala sesembahan kaum musyrikin didalam firman-Nya :

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik perkerjaan mereka. Kemudian kepada tuhan merekalah kembalinya mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”. (QS Al-An’am,[6] : 108)

Abdurrazzaq,  Abdullah bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan Abu al-Syaikh meriwayatkan hadis dari Qatadah ra, katanya : “Konon kaum muslimin memaki berhala sesembahan kaum musyrikin, lalu mereka balik memaki Allah sebagai sesembahan kaum muslimin, sehingga Allah swt menurunkan ayat 108 surat Al-An’am di atas”.

Demikianlah Asbabun Nuzul ayat di atas. Ayat tersebut secara tegas menjelaskan larangan terhadap kaum muslimin untuk mencaci dan melecehkan kekurangan dan ketidaksempurnaan patung-berhala yang disembah kaum musyrikin. Karena dengan cacian dan pelecehan tersebut, kaum musyrikin menjadi marah, lalu mereka balik mencaci dan melecehkan Allah swt yang disembah kaum muslimin.

Sekiranya pernyataan kaum musyrikin yang menganggap patung dan berhala sebagai sarana atau wasithah untuk mendekatkan diri kepada Allah tersebut benar dan jujur, tentu mereka tidak akan berani mencaci maki dan melecehkan Allah swt sebagai bentuk balasan terhadap kaum muslimin yang mencaci dan melecehkan patung-berhala mereka. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa Allah swt didalam hati mereka lebih sedikit daripada patung-berhala mereka. Padahal mereka mengakui bahwa Pencipta langit dan bumi adalah Allah, sebagaimana yang dijelaskan didalam surat Luqman [31] : 25 :

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’. Tentu mereka akan menjawab: ‘Allah’. Katakanlah : ‘Segala puji bagi Allah’; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (QS Luqman,[31] : 25)
  
 Seandainya jawaban mereka itu jujur (Bandingkan dengan ayat di atas) dan mereka berkeyakinan bahwa Allah lah satu-satunya Pencipta alam semesta, sementara patung-berhala mereka bukanlah pencipta alam disebabkan ketidakmampuannya, tentu mereka akan menyembah Allah swt dan bukan pada patung-berhala mereka. Atau, paling tidak, mereka menunjukkan sikap hormat kepada Allah swt di atas penghormatannya kepada patung-berhala mereka. Namun pada kenyataannya, mereka tidak berbuat demikian. Apakah sikap mereka tersebut dapat dikatakan konsisten dan sesuai dengan kenyataan di lapangan, sementara mereka masih suka mencaci dan melecehkan Allah swt ? Sejak semula sikap mereka memang tidak pernah konsisten dan tidak dapat dipegangi.

Ayat Al Qur’an yang ada di hadapan kita tidak semata-mata menunjukkan bahwa Allah swt lebih sedikit di hati mereka dibandingkan dengan patung dan berhala mereka. Bahkan ayat-ayat tersebut menjelaskan beberapa gambaran perumpamaan, di antaranya :

وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا فَمَا كَانَ لِشُرَكَائِهِمْ فَلَا يَصِلُ إِلَى اللَّهِ وَمَا كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَى شُرَكَائِهِمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
 Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bahagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami". Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.” (QS Al-An’am,[6] : 136)
Oleh karenanya, sekiranya Allah swt tidak lebih sedikit di hati mereka daripada berhala mereka, tentu mereka tidak lebih condong kepada berhala mereka daripada kepada Allah.

سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
Amat buruklah ketetapan mereka itu.

Dari sudut pandang ini, Abu Sufyan bin Harb, sebelum ia masuk Islam, pernah mengatakan di dalam salah satu pertempuran melawan tentara Islam, “Kalahkanlah Allah, wahai Hubal !”, seraya memanggil berhala kaum Quraisy yang bernama Hubal, agar ia mengalahkan dan menundukkan Allah swt. Ini merupakan gambaran sikap kaum musyrikin terhadap patung-berhala mereka dan sikap terhadap Allah swt.

Persoalan ini perlu direnungkan dan diketahui secara benar, karena ternyata masih banyak orang yang kurang memahami secara benar. Mereka hanya memahaminya secara sempit. Apakah Anda tidak tahu, sewaktu Allah swt memerintahkan kaum muslimin agar menghadapkan wajahnya ke Ka’bah dalam setiap shalatnya, lalu mereka menghadapkan dan mengarahkan wajah dalam setiap peribadatannya itu ke sana dan menjadikannya sebagai Kiblat. Hal ini bukan berarti bahwa mereka menyembah Ka’bah.

Mencium Hajar Aswad merupakan salah satu bentuk peribadatan kepada Allah swt, sesuai dengan tuntutan dan sunnah Rasulullah saw. Jika kaum msulimin mencium Hajar Aswad dan menghadap ke arah Ka’bah ini mereka niati menyembah kepada kedua benda tersebut, tentulah mereka disebut musyrik, sama seperti kemusyrikan yang dilakukan oleh kaum kafir quraisy penyembah berhala.

Ka’bah dan Hajar Aswad dalam persoalan ubudiyah di sini berkedudukan sebagai Wasithah atau perantara seseorang dalam melakukan peribadatan kepada Allah swt. Wasithah merupakan keniscayaan dan bukan suatu bentuk kemusyrikan. Setiap orang islam yang melakukan ibadah kepada Allah swt dengan melalui wasithah atau perantara tidak otomatis menjadi musyrik. Jika mereka dikatakan musyrik, maka seluruh umat manusia, tidak ketinggalan seluruh kaum muslimin, adalah musyrik semua, karena semua problem kehidupan manusia tidak lepas dari adanya wasithah atau perantara. Misalnya, Rasulullah saw menerima wahyu adalah melalui wasithah atau perantara malaikat Jibril. Dengan kata lain, malaikat Jibril adalah berkedudukan sebagai “perantara” bagi Rasulullah saw dalam menerima wahyu.

Rasulullah saw juga sebagai “Perantara agung” atau Wasithah ’uzhma bagi para sahabatnya. Mereka memohon pertolongan kepada beliau sewaktu mengalami kesulitan. Mereka mengadukan problem hidupnya kepada beliau, bertawassul kepada Allah melalui perantaraan beliau, dan memohon agar beliau mendoakan kebaikan untuk mereka. Beliau saw sendiri setelah mendengar pengaduan mereka tidak pernah mengatakan, “Kalian musyrik dan kafir, karena  kalian  seharusnya tidak diperbolehkan mengadukan problem hidup kalian kepadaku dan tidak boleh  memohon bantuan doa dariku. Sebaliknya, kalian harus berdoa langsung kepada Allah, karena Dia lebih dekat kepada kalian daripada aku !”.  Sekali lagi, beliau saw tidak pernah mengatakan seperti itu. Bahkan beliau mendiamkan dan tidak pernah melarang perilaku sahabat tersebut. Malah beliau mengabulkan dan mendoakan sesuai dengan permintaan mereka, disertai pemahaman bahwa mereka sudah mengetahui yang sebenarnya, bahwa yang mampu memberikan dan menolak sesuatu, serta yang mampu menolak dan membentangkan pemberian rizki, pada hakekatnya, adalah Allah swt, bukan selain-Nya.

Rasulullah saw bersabda :

إِنَّـمَا اَنَـا قَـاسِمٌ وَ اللَّـهُ مُـعْـطٍ
Sesungguhnya aku hanyalah yang membagi-bagikan. Sedangkan Allah-lah yang memberi”.

Atas dasar itu jelaslah bahwa boleh mensifati siapa saja, apapun kedudukannya : baik itu seorang Nabi, auliya-illah, kaum muslimin pada umumnya, aupun yang lainnya. Misalnya dengan mengatakan bahwa dia adalah orang yang mampu menghilangkan kesusahan hidup, mampu memecahkan problem hidupnya, dan mampu mncukupi kebutuhan hidupnya. Apalagi sifat tersebut diberikan kepada Rasulullah saw, seorang Nabi yang teragung dan seorang makhluk yang paling utama, tentu saja hal itu secara mutlak diperbolehkan.  Rasulullah saw pernah bersabda, “Barangsiapa yang membantu melapangkan kesusahan orang mukmin dalam menghadapi persoalan hidupnya di dunia, maka …”.

Beliau bersabda dalam sebuahhadis shahih: “Allah akan menolong seorang hamba, selama ia mau memberikan pertolongan kepada temannya”.

Beliau bersabda, “Barangsiapa yang menolong orang yang membutuhkan pertolongan, maka Allah akan mencatatkan 73 kebaikan untuknya”. (HR Abu Ya’la, Al-Bazzar, al-Baihaqi).

Dari beberapa hadis Nabi di atas diperoleh suatu pemahaman, bahwa seorang muslim dapat berperan sebagai “perantara” atau wasitah  dalam rangka membantu melapangkan kesusahan, menolong dan memberi pakaian dan lain-lain, dengan pemahaan bahwa yang  secara hakiki dapat melapangkan kesusahan, memenuhi kebutuhan hidup, memberi pertolongan dan menolak bahaya adalah Allah swt. Dan hal ini menunjukkan tentang boleh-nya menisbatkan suatu “perbuatan” kepada seseorang.

Banyak sekali hadis nabawi yang menjelaskan bahwa Allah swt menolak dan mencabut  adzab siksaan dari muka bumi ini disebabkan oleh adanya orang-orang yang mau beristighfar dan memakmurkan masjid-masjid. Dan berkat mereka lah  Allah swt memberi rizki dan pertolongan-Nya, serta mengurungkan siksaan-Nya kepada penduduk bumi.

At-Thabary, dalam sebuah kitabnya yang berjudul “Al-Kabir”, dan al-Baihaqy, dalam kitab “Sunan”-nya, menuturkan sebuah hadis dari Mani’al-Dailamy, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sekiranya tidak ada: 1) orang yang shalat,  2) bayi yang menyusu kepada ibunya, dan 3) hewan-hewan yang masih bisa memakan rerumputan, tentulah Allah swt sudah menimpakan azab kepada kalian. Dan berkat mereka pula, Allah benar-benar ridha dan puas kepada kalian (alias Dia urung menimpakan azab-Nya)”.

Imam al-Bukhary meriwayatkan hadis dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Kalian mendapatkan pertolongan dan rizki dari Allah adalah disebabkan oleh adanya orang-orang lemah di antara kalian”.

At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadis  dari Anas bin Malik, yang dinilai shahih oleh al-Hakim, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Semoga engkau diberi rizki disebabkan dia”.

Hadis dari Ibnu Umar ra menjelaskan, bahwa Rasulullah saw bersabda, “ Sesungguhnya Allah swt memiliki makhluk-makhluk yang diciptakan-Nya untuk memenuhi hajat kebutuhan manusia, Orang-orang datang meminta bantuan kepada makhluk tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Mereka  itulah yang mengamankan dan menyelamatkan manusia dari siksa Allah swt” (HR At-Thabrany dalam kitabnya  Al-Kabir, dan Abu Na’im).

Hadis dari Jabir bin Abdullah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah swt tentu akan berlaku baik kepada manusia disebabkan oleh perlakuan baik seorang muslim yang shalih kepada anaknya, cucunya, anggota keluarganya dan tetangga sekitarnya. Mereka senantiasa dalam perlindungan Allah swt selama seorang muslim yang shalih tersebut tinggal di lingkungan mereka”. (HR Ibnu Jarir dalam kitab Tafsir-nya, juz 2; hal. 341. Dan ditakhrij oleh An-Nasai).

Hadis dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw bersabda , “Sesungguhnya Allah swt benar-benar akan menyingkirkan bala cobaan dari seratus anggota keluar sekitarnya disebabkan oleh adanya seorang muslim yang shalih”. Kemudian Ibnu Umar ra membacakan ayat 251 surat Al-Baqarah, yang artinya: “Seandainya Allah swt tidak menolak keganasan sebagian orang kepada sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini” (HR At-Thabrany).

Hadis dari Ubadah bin Shamit ra, bahwa Rasulullah saw bersabda,”Wali Abdal pada umatku berjumlah tiga puluh orang. Berkat mereka lah kalian diberi rizki, dituruni hujan dan diberi pertolongan”. Qatadah ra mengatakan, “Saya berharap kiranya kebaikan datang dari mereka” (HR At-Thabrani).

Empat hadis terakhir di atas dituturkan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir didalam kitab Tafsir-nya sewaktu ia menafsirkan   QS Al-Baqarah,[2] : 251

وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ
  “Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini”

Hadis-hadis tersebut layak dijadikan sebagai argumentasi, dan dari keseluruhan itu menjadikan khabar tersebut bernilai shahih.

Hadis dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Bumi ini tidak terlepas dari empat puluh orang setara dengan Khalilurrahman (Wali Allah). Berkat keberadaan mereka, kalian diberi minum (diturunkan hujan) dan diberi pertolongan. Tidak mati seorang diantara mereka melainkan Allah swt menggantikan posisinya dengan yang lain”. (HR At-Thabrany dalam kitab Al-Ausath, dengan sanad Hasan. Juga tertulis dalam kitab Majma’ al-Zawaid, juz 20; hal. 62).



Al-Wasithah Al-Uzhma (Perantara Yang Agung)

Pada hari makhsyar yang merupakan hari Tauhid, hari Iman dan hari diperlihatkannya ‘Arasy akan muncul seorang Perantara Yang Agung, yakni Nabi Muhammad saw. Beliau adalah Pemilik Panji yang terikat sangat kuat, Pemilik “Maqam Mahmud” (Kedudukan yang terpuji), Pemilik telaga Kautsar, sebagaimana yang disebutkan didalam Al-Qur’an, seorang Pemberi Syafaat yang tidak ditolak permintaannya dan jaminan-jaminannya tidak sia-sia bagi orang yang dijanjikan. Pada hari itu, semua manusia datang menemui beliau saw seraya meminta syafaatnya. Beliau segera bersujud menghadap kehadirat Allah swt seraya terus memintakan syafaat untuk mereka, sampai Dia mengabulkan permintaan beliau. Allah swt berfirman kepada beliau, “Hai Muhammad ! Angkatlah kepalamu. Mintalah syafaat, tentu engkau akan diberi. Dan mintalah apa saja, tentu semuanya akan Aku kabulkan”.