Senin, 03 Juni 2013

PYPD - 14. Hakekat Madzhab Asy'ariyah

________________________________________________

Penulis : DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Malikiy *)

 





Banyak sekali generasi muda muslim yang tidak mengetahui apa itu madzhab “Al-Asy’ariyah”  dalam bidang aqidah. Mereka tidak mengenal siapa saja para ulama yang bermadzhab Asy’ariyah dalam bertauhid dan bagaimana metode yang dipakai para ulama bermadzhab Asy’ariyah dalam merumuskan ajaran Akidah Islamiyah. Bahkan sebagian mereka ada yang memandang madzhab Asy’ariyah sebagai madzhab yang sesat, tidak mengakui adanya sifat-sifat Allah swt dan dipandang telah keluar dari rel agama Islam.

Ketidaktahuan mereka terhadap hakekat madzhab Asy’ariyah inilah yang menjadi salah satu sarana terpecahbelahnya persatuan dan kesatuan golongan Ahlussunnah wal Jamaah. Sampai-sampai orang yang bodoh mengira bahwa madzhab Asy’ariyah adalah termasuk sekte sesat. Kami tidak tahu, bagaimana mungkin mereka menyandingkan antara ahli iman dan ahli kesesatan. Bagaimana ia bisa menganggap sama antara golongan Ahlussunnah dengan golongan Mu’tazilah ekstrim yang merupakan perwujudan dari aliran Jahmiyyah .
   
Allah swt berfirman :
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ   (35)  مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ  (36)
  “Apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa ? Mengapa kamu berbuat demikian ? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan ?” (QS Al-Qalam,[68] : 35-36)

Al-Asya’irah adalah para ulama yang keilmuannya tersebar luas ke seantero dunia. Orang-orang mengakui tentang keutamaan, kelebihan, keluasan ilmu dan ketaatan mereka dalam menjalankan syariat Islam. Mereka adalah para pakarnya ulama golongan Ahlususunnah di bidang akidah, yang berusaha sekuat tenaga membendung gelombang serangan pemikiran aliran rasionalis Mu’tazilah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkomentar, “Para ulama adalah para penolong ilmu agama. Sedangkan para ulama yang bermadzhab Asy’ariyah adalah para penolong ilmu ushuluddin” (“Al-Fatawa” juz 4) [1]

 
Fathul Baariy
Para ulama yang tergolong bermadzhab Asy’ariyah kebanyakan adalah para imam yang ahli di bidang hadis (“Muhadditsin”), fiqih (“Fuqaha’”), dan tafsir (“Mufassirin”). Di antara mereka adalah : 

1.  Syaikhul Islam Ahmad Ibn Hajar al-Asqalany [2], seorang pakar hadis, penulis kitab “Fathul Bari ala Syarhil Bukhary”. Beliau bermadzhab Asy’ariyah dalam berakidah. Kitab beliau di atas tidak mampu ditandingi kehebatannya oleh seorang pun ulama hadis.

 

Syarah Shahih Muslim
2. Imam an-Nawawy [3]: Seorang tokoh ulama Ahlussunnah yang bermadzhab Asy’ariyah dalam berakidah. Di antara karya tulisnya berjudul “Syarah Shahih Muslim”, dan kitab-kitab bermutu lainnya.
3. Imam al-Qurthuby [4]: Seorang pemuka ulama yang ahli di bidang tafsir, yang bermadzhab As’ariyah dalam berakidah. Di antara karya tulisnya berjudul “Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an”, berisi tafsir yang sangat terkenal.
Az-Zawajir ,

  4.  Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitamy [5]: Seorang ulama besar yang juga bermadzhab Asy’ariyah, penulis kitab “Al-Zawajir ‘aniqtiraf al-Kabaair”.

Fathul Wahhab






5.   Imam Zakaria al-Anshary [6]: Seorang pakar hadis dan fiqih.

  
Al-Bahrul Muhith

Selain di atas, masih banyak lagi ulama besar lainnya seperti Abu Bakar al-Baqilany, imam Al-Asqalany, imam an-Nasafy, imam asy-Syarbiny, Abu Hayyan al-Nahwy al-Andalusi penulis buku tafsir “Al-Bahrul Muhith”, imam Ibn Jauzy penulis buku “At-Tafshil fi ‘Ulum at-Tanzil”. Dan ulama lainnya. Semuanya itu terkenal sebagai ulama bermadzhab Al-Asy’ariyah.


  Jika kita ingin menghitung-hitung jumlah para ulama yang bermadzhab Asy’ariyah dalam bidang akidah, tentu akan mengalami kesulitan, kehabisan waktu dan membutuhkan berjilid-jilid buku untuk dibaca agar dapat mengidentifikasi para ulama asy’ariyah yang keilmuannya tersebar luas memenuhi dunia.

 
Kebaikan atau keuntungan apa yang sebenarnya dapat kita peroleh jika menuduh para ulama bermazhab Asy’ariyah yang sangat ahli di bidangnya dan para Salafusshalih dengan tuduhan bahwa mereka telah melakukan “kesesatan” dan penyimpangan? Bagaimana mungkin Allah swt akan membuka hati dan pikiran kita untuk memanfaatkan ilmu-ilmu mereka, jika kita masih tetap menuduh mereka sebagai orang yang sesat dan menyimpang dari ajaran Islam ?

 
Perlu kami tegaskan di sini. Apakah Anda sudah menemukan seorang guru dari sekian ribu, bahkan  sekian juta ulama, sekalipun mereka yang bergelar Profesor Doktor yang mampu menandingi keilmuan dan kepakaran semacam Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Asqalany dan Syaikh An-Nawawy, di mana mereka berdua sangat berjasa dan menghabiskan seluruh waktunya untuk menjaga, menyebarluaskan dan melestarikan Sunnah Rasulullah saw?  Lalu bagaimana kita bisa melontarkan  tuduhan Sesat dan Menyimpang kepada kedua ulama tersebut khususnya, dan seluruh ulama bermadzhab Asy’ariyah lainnya pada umumnya? Sementara kita sendiri masih tetap membutuhkan uluran ilmu mereka ? Bagaimana mungkin kita dapat mengambil ilmu dari mereka itu, kalau mereka kita tuduh telah melakukan kesesatan ?

 
Benar-benar aneh bin ajaib kita menuduh mereka sesat dan menyimpang, sementara kita sendiri masih membutuhkan, mengambil, mengkaji dan mengembangkan ilmu mereka. Ibnu Sirin pernah mengatakan, “Sesungguhnya ilmu itu adalah agama, maka lihat dan perhatikan, dari siapa Anda mengambil  agama Anda ?!

 
Mereka yang sinis kepada ulama Asy’ariyah berkomentar, “Para ulama Asy’ariyah memang benar telah melakukan ijtihad. Namun dalam ijtihadnya itu mereka telah melakukan kesalahan dalam menakwilkan sifat-sifat Allah swt”.

 
 Apakah komentar mereka tersebut dapat diterima oleh akal sehat ?  Masuk akalkah bahwa para ulama sekaliber imam An-Nawawy, Ibnu Hajar al-Asqalany, dan para ulama besar lainnya yang ilmunya telah diserap kaum muslimin seluruh dunia, bahkan sampai sekarang belum ada seorang pakar pun yang mampu menandinginya, lalu mereka tuduh telah Sesat ? Mungkinkah komentar miring mereka itu justru mencerminkan bahwa mereka sendiri lah sebenarnya yang sesat dan menyimpang dari kebenaran ? Kita benar-benar sangat marah kepada mereka yang gegabah dan tidak secara jantan melontarkan tuduhan sesat kepada para ulama Ahlussunnah Wal Jamaah tersebut.

 
Bila para ulama Asy’ariyah semacam imam an-Nawawy, al-Qurthuby, al-Asqalany, al-Fahrurrazy, al-Haitamy, Zakaria al-Anshary dan para tokoh ulama besar lainnya dikatakan bukan termasuk kelompok ulama Ahlussunnah Wal Jamaah, lalu siapa yang berhak mendapatkan predikat  Ahlussunnah wal Jamaah ?

 
Kami secara ikhlas benar-benar mengajak kepada seluruh propagandis, para praktisi dan para tenaga yang bergerak di bidang dakwah islamiyah  agar bertakwa kepada Allah swt dan berhati-hati dalam melontarkan tuduhan kepada umat Muhammad saw, khususnya kepada para ulama yang ahli di bidang hadis, tafsir dan fiqih. Oleh karena ummat Muhammad saw selalu dalam lingkungan kebaikan sampai akhir jaman. Kita tidak akan terdorong untuk mengenal kemampuan dan keutamaan para ulama kita yang bermadzhab Asy’ariyah.



__________________________________

*).  Sumber : diterjemahkan dari kitab "", karya DR. Sayyud Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki

[1]. https://sites.google.com/site/pustakapejaten/ahlus-sunnah-wal-jama-ah/asy-ariyyah

[2]. http://alquran-sunnah.com/kitab/bulughul-maram/source/0.%20Pendahuluan/3.%20Biografi%20al-Hafidh%20Ibnu%20Hajar%20al-Asqalany.htm .       http://ustadzkholid.com/bulughul-maram-seri-04-biografi-ibnu-hajar-al-asqalani/.     https://sites.google.com/site/pustakapejaten/manaqib-biografi/para-imam/imam-ibnu-hajar-al--atsqolani

[3]. https://sites.google.com/site/pustakapejaten/manaqib-biografi/para-imam/imam-nawawi .    http://www.as-salafiyyah.com/2012/05/imam-nawawi-makan-sedikit-tidur-pun.html.

[4]. imamal-qurtubi.blogspot.com/.../biografi-imam-al-qurthubi-ulama-besar.      jacksite.wordpress.com/.../biografi-imam-al-qurthubi-ulama-besar-dari-s

[5]. http://salafytobat.wordpress.com/category/ibn-hajar-haitamy-al-makky-ibn-taymiyah-dan-ibn-qayyim-al-jauziyyah-sesat/ .   

[6]. http://tamanulama.blogspot.com/2008/06/syeikh-zakaria-al-anshari-sufi-nan.html.  














PYPD - 13. Ajakan Para Imam Sufi Untuk Menegakkan Syari'at *)

_____________________________________________
Penulis : DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki   




Persoalan “Tasawwuf” saat ini benar-benar sial, teraniaya, menjadi tertuduh dan kambing hitam dari setiap kesalahan. Sedikit sekali orang yang bersikap netral dalam memandang persoalan Tasawwuf. Bahkan di antara mereka ada yang berani dan tidak punya rasa malu sama sekali menyatakan bahwa Tasawwuf adalah ajaran tercela dan jelek, serta mengakibatkan gugurnya status “kesaksiannya” (syahadah) dan “keadilan” para pengikutnya, sehingga kaum sufi dinyatakan berstatus “tidak tsiqah” (tidak dapat dipercaya) dan tidak diterima setiap pengkabarannya. Kenapa demikian ? Karena ia seorang “sufi”. Dan yang mengherankan lagi menurut pengamatan kami,   mereka  memandang sinis terhadap ajaran Tasawwuf, tidak simpatik kepada kaum sufi, dan bahkan secara terang-terangan menyatakan perang terhadap kaum sufi. Namun di balik itu, mereka justru melakukan apa-apa yang dilakukan oleh kaum sufi dan dengan fasihnya mereka mampu menguraikan teori Tasawwuf yang diajarkan oleh kaum sufi. Kemudian dengan tidak punya rasa malu sama sekali, mereka seenaknya mencomot, menukil dan memetik teori ajaran atau pendapat kaum sufi di tengah-tengah khutbahnya di atas mimbar jum’at, di sekolah-sekolah, dan bahkan didalam buku-buku karangannya.
Mereka dengan fasih dan lancarnya mengatakan: “Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan…”; “Telah berkata Junaid al-Baghdady…”; “Telah berkata Hasan Al-Bashry… “; dan lain sebagainya. Padahal para tokoh yang mereka comot pendapatnya itu adalah para imam Sufi yang cukup berpengaruh, para peletak dasar ajaran Tasawuf, dan pembangun ajaran Tasawwuf itu sendiri. Semua buku-buku mengenai Tasawwuf selalu dipenuhi dengan ucapan, pendapat, informasi, sejarah hidup dan perilaku para imam sufi di atas.
Kami tidak habis pikir. Orang-orang yang sinis terhadap ajaran tasawwuf dan benci kepada kaum sufi , namun mereka mau mencomot  pendapat para imam sufi tersebut, apakah mereka benar-benar bodoh, pura-pura bodoh, ataukah terbodohkan ?! Apakah mereka buta, pura-pura buta, ataukah membutakan diri ?!
Selanjutnya pada uraian di bawah ini akan kami nukilkan teori dan pendapat para tokoh sufi. Bagaimana mereka memandang “syari’at”, sehingga kita akan tahu, di mana posisi mereka yang sebenarnya dalam menegakkan syariat Islam.

1. Imam Al-Junaid al-Baghdady [2] mengatakan, “Semua jalan tertutup bagi semua orang, kecuali mereka yang mau mengikuti jejak dan sunnah Rasulullah saw, selalu berjalan di atas jalan, metode dan thariqah beliau saw. Karena semua jalan yang mengarah kepada suatu kebaikan terbuka lebar bagi orang-orang yang mengikuti jejak dan sunnah beliau saw.
 
2.   Abu Yazid al-Busthamy [3] pada suatu hari mengatakan kepada para sahabat dan muridnya, “Mari kita saksikan dulu perilaku orang-orang yang terkenal dengan kewaliannya!” Setelah itu, tiba-tiba ada seorang lelaki yang dikenal masyarakat sebagai seorang waliyullah datang menuju ke masjid sambil membuang ludahnya ke arah kiblat. Abu Yazid tidak bersimpatik lalu berpaling dari lelaki tersebut seraya berkata, “Orang ini tidak dapat dipercaya untuk melaksanakan adab sopan santun yang diajarkan dilakukan Rasulullah saw. Bagaimana mungkin ia bisa dipercaya untuk menduduki posisi Waliyullah dan Shiddiqin yang diaku-akukannya itu?”.
 3.   Dzunnun al-Mishry [4] pernah berkata, “Ada empat thema pokok pembicaraan dalam tasawwuf, yaitu : 1) mencintai keagungan Allah swt; 2) membenci yang sedikit;  3) mengikuti dan mengamalkan ajaran wahyu;  4) takut jika terjadi pembelokan dan penyimpangan iman. Di antara tanda-tanda orang yang mencintai Allah swt adalah “Itba’” atau mengikuti kekasih-Nya, yakni Rasulullah saw, baik mengikuti dalam hal akhlaknya, perbuatannya, perintahnya, maupun sunnahnya”.
4.   As-Sary as-Saqaty [5] mengatakan, “Tasawwuf adalah suatu istilah yang diperuntukkan untuk tiga pengertian: 1) Nur ma’rifatnya tidak memadamkan Nur Wira’inya;  2) tidak berbicara secara kebatinan tentang suatu ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan zhahirnya teks Al-Qur’an dan Hadis Nabi;  3) kekeramatannya tidak sampai menyebabkan robeknya tirai-tirai keharaman yang ditetapkan Allah swt
5.   Abu Nasr Bisyr bin al-Harits al-Hafy [6] mengatakan, Saya pernah mimpi bertemu Rasulullah saw dalam tidurku. Beliau saw mengatakan kepadaku: “Hai Bisyr ! Tahukah kamu, kenapa Allah swt sampai mengangkat derajatmu melebihi derajat kewalian teman-teman dekatmu ?”. Aku jawab, “Tidak tahu, wahai Rasulullah !”. Beliau saw mengatakan, “Karena kamu selalu mengikuti sunnahku, berkhidmat kaum shalihin, suka menasehati para sahabatmu, serta kamu mencintai para sahabat dan ahli baitku. Amal itulah yang menyebabkanmu menduduki posisiyang diduduki oleh kaum Abrar dan Shalihin”.
6.   Abu Yazid bin Thaifur bin Isa al-Busthamy [7] berkata, “Aku benar-benar ingin memohon kepada Allah agar Dia mencukupiku dengan kecukupan sandang pangan dan wanita. Lalu aku bilang, “Bagaimana mungkin aku diperbolehkan memohon hal-hal semacam itu ? Sementara Rasulullah saw saja tidak pernah memintanya ?”  Oleh karena itu, aku tidak pernah lagi memohon hal semacam itu kepada Allah swt. Meskipun demikian, ternyata pada akhirnya Allah swt mengabulkan angan-anganku tentang wanita itu, sehingga aku merasa bahwa wanita itu tidak merangsang lagi di hadapanku. Tidak ada bedanya antara dia dengan tembok”.
Pada kesempatan lain beliau berkata, “Jika Anda menyaksikan seseorang yang memiliki karamah, sampai-sampai ia bisa terbang ke udara, Anda jangan mudah terpedaya, tercengang dan kaget dengan kekeramatannya itu, sampai Anda benar-benar telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri apakah ia sudah melaksanakan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya, memelihara had-had (batas-batas agama) dan menjalankan syariat dengan baik dan lurus”.

7.   Sulaiman Abdurrahman bin ‘Athiyah al-Darany [8] berkata, “Barangkali pada suatu hari telah muncul kejadian-kejadian aneh didalam hatiku, sebagaimana yang pernah terjadi pada sebagian orang-orang. Aku tidak tertarik padanya kecuali disertai dua saksi yang adil, yakni Al-Qur’an dan Hadis Nabi”.

8.   Abul Hasan Ahmad bin Abi al-Hawary [9] berkata, “Barangsiapa yang beramal dengan tidak disertai mengikuti sunnah Rasulullah saw, maka amalnya menjadi gugur

9.   Abu Hafsh Umar bin Salamah al-Haddad [10] berkata, “Barangsiapa yang tidak menimbang amal perbuatannya di setiap waktu dengan timbangan Al-Qur’an dan Hadis, serta tidak mampu mengendalikan kepentingan dan keinginan hawa nafsunya, maka ia jangan anda hitung kedalam majlis kaum sufi

10. Abul Qasim al-Junaid bin Muhammad  berkata, “Barangsiapa yang tidak menghafal Al-Qur’an dan menulis Hadis Nabi, berarti ia tidak mengikuti jejak Rasulullah saw dalam urusan tasawwuf. Karena ilmu tasawwuf ini berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Ilmu tasawwuf kami dibangun di atas Hadis Rasulullah saw

11. Abu Usman bin Ismail al-Hairy  pernah diceritakan orang, setelah ia sadar dari kondisi “Hal”-nya (mabuk kepayangnya), putranya yang bernama Abu Bakar merobek-robek pakaian gamisnya. Abu Usman segera sadar dan membuka matanya seraya berkata, “Hai anakku ! Pegangilah As-Sunnah an-Nabawiyyah ! Kesempurnaan perilaku lahir seseorang itu mencerminkan kesempurnaan batinnya” . 
Pada kesempatan lainnya beliau berkata, “Bersahabat dengan Allah swt adalah dengan cara memperbagus budi pekerti dan selalu takut kepada-Nya. Bersabahat dengan Rasulullah saw adalah dengan cara mengikuti sunnah beliau dan mengharuskan diri mengamalkan ilmu. Bersahabat dengan para Auliyaillah adalah dengan cara menghormati dan berkhidmat kepadanya. Bersahabat dengan keluarga adalah dengan cara memperlakukannya secara sopan. Bersahabat dengan teman-teman adalah dengan cara selalu membuat mereka merasa gembira, selama tidak bersifat dosa. Dan bersahabat dengan orang bodoh adalah dengan cara mendoakan kebaikan dan memperlakukannya dengan penuh kasih sayang
Beliau mengatakan lagi, “Barangsiapa yang memilih Hadis Nabi sebagai landasan ucapan dan tindakannya, berarti ia telah berbicara dengan hikmah kebijaksanaan. Barangsiapa yang menjadikan keinginan hawa nafsunya sebagai landasan ucapan dan tindakannya, berarti ia telah berbicara dengan penuh Bid’ah. Allah swt berfirman : Dan jika taat kepada Rasulullah saw, niscaya kamu akan mendapatkan petunjuk”. (QS An-Nur,[24] : 54).

12.  Abul Hasan Ahmad bin Muhammad an-Nawawy berkata, “Siapa saja di antara kalian yang melihat seseorang yang mengaku-aku telah bersama Allah swt didalam kondisi “Hal”-nya, lalu  ia melakukan perbuatan-perbuatan yang keluar dari tata aturan syariat, maka ia sekali-kali  jangan anda dekati

13.  Abul Fawaris Syah bin Syuja’ al-Kirmany [11] berkata, “Barangsiapa yang menutup matanya dari hal-hal yang diharamkan agama, mampu menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, selalu membina dirinya untuk selalu melakukan ‘Muraqabah’, selalu menghiasi tingkah laku lahirnya denganmengamalkan sunnah Rasulullah saw, dan membiasakan diri memakan makanan yang halal, maka tidak akan meleset firasatnya”.

14.   Abul Abbas Ahmad bin Muhamad bin Sahal bin ‘Atha’ al-Adamy [12] berkata, “Barangsiapa yang mengharuskan diri dengan adab sopan santun yang diajarkan oleh syariat Islam, maka Allah swt akan menyinari hatinya dengan “Nur Ma’rifat”. Dengan Nur tersebut, ia akan diberi kedudukan sebagai orang yang mengikuti Rasulullah saw dalam semua perintah, perbuatan dan akhlaknya”.
Abul Abbas mengatakan lagi, “Setiap apa yang Anda minta, carilah ia di tengah padang sahara ilmu. Jika tidak Anda dapatkan, carilah ia di medan hikmah. Jika masih tidak Anda dapatkan, hiasilah ia dengan tauhid. Dan jika tetap saja tidak Anda dapatkan, pukullah wajah syetan dengannya”.

15. Abu Hamzah al-Baghdady al-Bazzar  [13] berkata, “Barangsiapa yang mengetahui jalan Al-Haqq (Agama Allah swt), maka Allah swt akan memudahkan jalan menuju ke sana. Tidak ada yang dapat menunjukkan jalan menuju Allah swt selain mengikuti Rasulullah saw dalam segala urusan, keadaan, perbuatan dan ucapannya

16.  Abu Ishaq Ibrahim bin Dawud al-Raqy berkata, “Tanda-tanda kecintaan (Mahabbah) kepada Allah swt adalah memprioritaskan diri untuk taat kepada-Nya dan mengikuti sunnah Rasulullah saw

17.  Mimsyad ad-Dainury berkata, “Ukuran seorang murid dianggap berbudi pekerti yang baik adalah ia mampu melaksanakan hak-hak gurunya, berkhidmat kepada teman-temannya, keluar dari sebab-sebab  keburukan dan melaksanakan adab sopan santun yang diajarkan oleh Islam 

18.   Abu Muhammad Abdullah bin Manazil mengatakan, “Seseorang tidak akan menyia-nyiakan salah satu kewajiban agama, melainkan terlebih dahulu ia akan diuji Allah swt dengan menyia-nyiakan hal-hal yang sunnah. Dan seseorang tidak akan mnyia-nyiakan hal-hal yang sunnah melainkan ia nyaris diuji dengan melakukan perbuatan Bid’ah


_____________________________
*) Sumber : diterjemahkan dari kitab "مفاهيم يجب ان تصحح", karya DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki
[2]. https://sites.google.com/site/pustakapejaten/manaqib-biografi/6-masyaikh/junaid-al-baghdadi
[3]. https://sites.google.com/site/pustakapejaten/manaqib-biografi/6-masyaikh/abu-yazid-al-busthami
[4]. https://sites.google.com/site/pustakapejaten/manaqib-biografi/6-masyaikh/dzun-nun-al-misry
[5]. https://sites.google.com/site/pustakapejaten/manaqib-biografi/6-masyaikh/sari-as-saqathi
[6].  http://al--kisah.blogspot.com/2008/09/bisyir-al-hafi.html.          http://manakib.wordpress.com/category/manakib-aulia-yang-lain/
[7]. http://wahidahpuspadina.blogspot.com/2013/04/makalah-tokoh-sufi-abu-yazid-al-bustami.htm
[8]. http://www.jetis.org/2013/02/mengikatkan-diri-dengan-hukum-syari.html.  http://sidiq.mercubuana-yogya.ac.id/penyejuk-qalbu/.  
[9]. http://salafoke.blogspot.com/2013/02/sejarah-dan-fitnah-tasawwuf-hartono-17.html
[10]. http://wilayyahallah.blogspot.com/2011/09/abul-qasim-al-junaid.html.  http://www.tuanguru.com/2012/08/ajaran-guru-sufi-al-junaid.html.  
[11]. www.kawansejati.org/tazkiratul.../22-syah-bin-syuja.html.   http://momon72.blogspot.com/2009/12/kisah-kisah-sufi.html
[12]. samarindaryan.tripod.com/id15.html‎.    http://www.kawansejati.org/tazkiratul-aulia/22-syah-bin-syuja.html
[13]. manakib.wordpress.com/.../ahmad-al-anthaki-dan-abu-hamzah-al-bazaar..  
sufiheart.blogspot.com/2009/02/abu-hamzah-al-baghdadi-al-bazzar.html