Barangkali Anda akan mengatakan, “Tidak dapat diterima oleh akal, menisbatkan satu perbuatan kepada dua pelaku yang berbeda, karena berkumpulnya dua pemberi bekas pada satu bekasan yang sama adalah sesuatu yang mustahil.”
Benar juga apa yang Anda katakan tadi. Namun perlu diingat, bahwa hal itu hanya terjadi atau berlaku jika suatu perbuatan bagi pelakunya adalah memiliki makna tunggal dalam penerapannya pada suatu kalimat. Tetapi, jika perbuatan tersebut bagi pelakunya adalah memiliki makna ganda (homonim), dan dalam penerapannya pada suatu kalimat, perbuatan tersebut dapat dilakukan secara bersamaan atau berulang-ulang oleh salah satu dari keduanya, maka tidak menutup kemungkinan untuk memutlakkan atau menentukan maknanya pada salah satu dari keduanya. Sebagaimana yang kita maklumi bersama tentang penerapan Isim Musytarak (Isim yang memiliki makna ganda, homonim), atau kata yang memiliki makna haqiqi (sebenarnya) dan majazi (kiasan, tidak sebenarnya).
Misalnya
kalimat, “Penguasa (Amir) membunuh si Fulan” dan kalimat “Algojo membunuh si
Fulan”. Pengertian “membunuh” yang dilakukan oleh Penguasa, tentu
berbeda dengan pengertian “membunuh” yang dilakukan oleh Algojo. Misalnya lagi kalimat, “Allah adalah Pelakunya”,
memiliki pengertian bahwa Allah adalah Dzat yang Menciptakan dan Mengadakan
(sesuatu yang tadinya belum ada untuk menjadi ada). Hal ini berbeda dengan
pengertian kalimat “Makhluk adalah pelakunya”, yang dapat diartikan bahwa
makhluk adalah sebagai sarana Allah swt
atau tempat Allah swt dalam mewujudkan ciptaan-Nya atau mewujudkan
Qudrat-Nya setelah Dia menciptakan Iradat-Nya pada makhluk tersebut, dan jauh
sebelum itu Dia menciptakan Ilmu-Nya padanya.
Dengan demikian, keterkaitan, hubungan atau korelasi antara qudrat dengan iradat, dan korelasi antara
gerak/proses penciptaaan dengan qudrat, adalah merupakan korelasi antara Ma’lul
(akibat) dengan ‘Illat (sebab), antara makhluk yang diciptakan dengan
Dzat Yang Menciptakannya, yakni Allah swt. Hal ini hanya berlaku jika Ma’lul
atau makhluk yang menjadi sarana dan tempat Allah swt mengejawantahkan
Qudrat-Nya tersebut adalah tergolong makhluk yang berakal, seperti malaikat,
manusiadan jin. Namun jika makhluk tersebut
tergolong tidak berakal, maka hubungannya atau korelasinya adalah bersifat
hubungan sebab-akibat.
Atas
dasar penjelasan di atas, maka sah-sah saja menyebut segala sesuatu yang
memiliki hubungan keterkaitan dengan Qudrat (kuasa, mampu) sebagai pelaku,
bagaimana pun bentuk dan keadaan hubungan keterkaitannya. Misalnya
“Algojo” layak disebut pelaku eksekusi
sesuai dengan tugasnya selaku petugas yang memenggal kepala terpidana. Demikian
pula Penguasa / Amir, juga pantas disebut pelaku eksekusi sesuai dengan
kedudukannya selaku pejabat yang berhak memberikan instruksi untuk megeksekusi
terpidana. Hal itu disebabkan karena terjadinya eksekusi tidak terlepas dari
peranan kedua orang di atas.
Jika
hubungan keterkaitan tersebut ada pada kedua pihak yang berbeda, maka bolehlah
menyebut pelakunya pada salah satu pihak, misalnya adalah seperti memposisikan
sesuatu yang dikenai “Qudrat” dengan “dua Qudrat”, atau dengan
kata lain memandang sesuatu yang menjadi obyek “kekuasaan” dengan “dua
sumber kekuasaan”. Dalil yang
membolehkan penisbatan semacam ini adalah sebagaimana Allah swt sendiri
terkadang menisbatkan Af’al-Nya (Perbuatan-Nya) kepada malaikat, terkadang
kepada hamba-hamba-Nya yang lain, dan terkadang kepada Diri-Nya sendiri. Allah
swt berfirman
قُلْ يَتَوَفَّاكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ
“Katakanlah” ‘Malaikat maut
yang diserahi untuk (mencabut nyawa)-mu akan mematikanmu” (QS
AsSajdah,[32] : 11)
Dalam
ayat di atas, Allah swt menisbatkan atau menyandarkan Af’al-Nya, yakni
mematikan seseorang, kepada malaikat. Sementara dalam ayat yang lain, Dia
menisbatkan Af’al-Nya tersebut pada diri-Nya sendiri, seperti firman-Nya :
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
“Allah
memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia
tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan
jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan”. (QS
Az-Zumar,[39]: 42)
Allah
swt menisbatkan Af’al-Nya, yakni “menanam”, pada manusia, sebagaimana
firman-Nya :
أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَحْرُثُونَ
“Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kalian tanam” (QS
Al-Waqi’ah,[56]: 63)
Sementara
dalam ayat 25-27 QS ‘Abasa, Dia menisbatkannya pada Diri-Nya sendiri :
أَنَّا صَبَبْنَا الْمَاءَ صَبًّا(25)ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقًّا(26)فَأَنْبَتْنَا فِيهَا حَبًّا
“Sesungguhnya
Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi
dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu” (QS
‘Abasa,[80] : 25-27)
Allah berfirman
dalam QS Maryam,[19] : 17,
فَأَرْسَلْنَا إِلَيْهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا
“…
Lalu Kami mengutus Ruh Kami (malaikat Jibril) kepadanya (Maryam), maka ia
menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna” (QS Maryam,[19] :
17)
وَالَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهَا مِنْ رُوحِنَا
“Dan
(ingatlah kisah) Maryam yang telah memelihara kehormatannya, lalu Kami (Allah
swt) tiupkan kedalam (tubuh)-nya ruh dari Kami …” (QS Al-Anbiya’,[21] : 91)
Ayat 91 QS
Al-Anbiya’ di atas menjelaskan bahwa Allah swt
menyandarkan Af’al atau perbuatan “peniupan ruh” pada Diri-Nya
sendiri. Sementara ayat 17 QS Maryam, “peniupan ruh” tersebut
dilakukan oleh malaikat Jibril.
Allah
swt menyandarkan perbuatan “membacakan Al-Qur’an” pada Diri-Nya sendiri,
sebagaimana firman-Nya :
فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَهُ
“Apabila
Kami telah selesai membacakannya (Al-Qur’an), maka ikutilah bacaannya” (QS
Al-Qiyamah,[75] : 18)
Sementara itu,
yang membacakan Al-Qur’an untuk didengarkan bacaannya oleh Rasulullah saw,
sebenarnya, adalah malaikat Jibril.
Allah swt
berfirman :
فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ قَتَلَهُمْ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى
“Maka
(yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang
membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi
Allah-lah
yang melempar” (QS Al-Anfal,[8] : 17)
Ayat
di atas menjelaskan bahwa Allah swt menafikan (meniadakan) pembunuhan yang
dilakukan oleh manusia, lalu Dia meng-itsbatkan (menetapkan) bahwa Diri-Nya-lah
pada hakekatnya yang membunuh. Demikian pula Dia menafikan adanya pelemparan
oleh manusia, lalu menetapkan bahwa pelemparan itu, pada hakekatnya, Dia-lah
yang melakukannya. Hal ini bukan berarti bahwa Allah swt benar-benar telah
menafikan atau tidak mengakui sama sekali
setiap perbuatan dan tindakan manusia. Akan tetapi yang dimaksudkannya
adalah bahwa Allah swt-lah yang secara Hakiki menciptakan, mengadakan dan
mentaqdirkan suatu perbuatan pembunuhan dan pelemparan tersebut, dengan catatan
bahwa perbuatan pembunuhan dan pelemparan yang dilakukan oleh manusia tersebut
adalah sebatas sebagai perantara-Nya dalam mewujudkan Perbuatan-Nya.
Ringkasnya, perbuatan (membunuh dan melempar) merupakan “satu kata” yang
memiliki “dua pengertian” yang berbeda
dalam penerapannya. Namun demikian, “satu perbuatan” terkadang dinisbatkan
kepada “dua pelaku” secara bersama-sama, sebagaimana yang dijelaskan dalam
Al-Qur’an :
وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوا مَا ءَاتَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ سَيُؤْتِينَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ
“Jikalau
mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya
kepada mereka, dan berkata: ‘Cukuplah Allah bagi kami. Allah akan memberikan
kepada kami sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya…” (QS
At-Taubah,[9] : 59)
Ummul
Mukminin ‘Aisyah ra meriwayatkan sebuah hadis yang menjelaskan bahwa, Allah swt
bila ingin menciptakan janin, Dia mengutus seorang malaikat untuk masuk kedalam
rahim seorang ibu, lalu mengambil sperma-ovum untuk dibentuk menjadi janin.
Malaikat itu berkata, “Ya Allah, apakah berjenis kelamin lelaki, ataukah
perempuan ! Apakah normal, ataukah abnormal ?”. Kemudian Allah swt berfirman
kepadanya tentang apa-apa yang yang Dia kehendaki, dan malaikat itu lalu akan
melaksanakan apa-apa yang dikehendaki-Nya teresebut.
Didalam teks
hadis yang lain berbunyi, “Malaikat membentuk (sperma-ovum untuk dijadikan
janin), lalu meniupkan ruh kedalamnya disertai dengan menuliskan kebahagiaan
dan kemalangan nasibnya”.
Bila
penjelasan di atas Anda renungkan, Anda akan tahu dan mengerti, bahwa Af’al
atau Perbuatan Allah swt tersebut
dikejawantahkan, diaktualkan dan diwujudkan dalam bentuk yang bermacam-macam,
dan tidak ada pertentangan antara yang satu dengan lainnya. Oleh karenanya,
Perbuatan Allah swt tersebut terkadang
juga dinisbatkan dan disandarkan kepada benda-benda mati atau tidak berakal
seperti pepohonan, sebagaimana firman Allah swt :
تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا
“Pohon
itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya” (QS Ibrahim, [14] : 25)
Pada dasarnya,
sebuah pohon tidak akan mampu memberikan buah, lepas dari campur tangan Allah
swt. Dengan kata lain, Allah swt-lah, pada hakekatnya, yang mampu memberikan
atau menumbuhkan buah melalui perantaraan pohon tersebut.
Rasulullah saw bersabda, “Sebagian ummatku, pada suatu
ketika, ada yang menjadi mukmin dan ada yang menjadi kafir kepadaku. Adapun
orang yang mengatakan, “Telah turun hujan kepada kami berkat anugerah dan
rahmat Allah swt”, maka hal itu berarti bahwa ia telah beriman
kepadaku dan kufur kepada bintang-bintang. Adapun orang yang mengatakan,
“Telah turun hujan kepada kami disebabkan oleh ini dan itu..”, maka ia kufur
kepadaku dan beriman kepada bintang-bintang”.
Kekufuran
tersebut berlaku jika orang itu beranggapan bahwa makhluk selaku perantara
Allah itulah yang menyebabkan, menciptakan, atau menjadikan turunnya hujan.
Menanggapi
istilah Kafir di dalam hadis di atas, imam an-Nawawi berpendapat, bahwa para
ulama berselisih faham tentang makna kafir
dalam pernyataan “Telah turun hujan kepada kami disebabkan oleh ini dan
itu”.
Pertama, berarti kafir
kepada Allah swt, berseberangan dengan prinsip keimanan dan menyebabkannya
keluar dari Agama Islam, selama hal ini disertai suatu keyakinan bahwa
perbintangan-lah yang menyebabkan, mendatangkan, dan menjadikan turunnya hujan.
Sebagaimana keyakinan ini pernah berkembang di kalangan masyarakat jahiliyah.
Orang yang berkeyakinan semacam ini sudah jelas dan tidak perlu diragukan
kekafirannya. Demikianlah pendapat yang dianut oleh mayoritas ulama, termasuk
imam Asy-Syafi’i sendiri. Mereka berpendapat, jika ada orang yang berkata,
bahwa turunnya tersebut disebabkan oleh ini dan itu, disertai dengan suatu
keyakinan bahwa sumber datangnya hujan adalah Allah swt, sementara pernyataan
“disebabkan ini dan itu” adalah sebagai Miqat atau waktu turunnya hujan, dan
sebagai tanda-tanda turunnya hujan
menurut kebiasaannya, sehingga ia seakan-akan mengucapkan: “Telah turun
hujan kepada kami pada waktu ini dan itu”, maka yang demikian itu tidak
menyebabkannya kafir, namun makruh diucapkan. Mereka masih mempermasalahkan
kemakruhan ucapan tersebut, bahwa kemakruhannya lebih disebabkan oleh bahwa
ucapan itu merupakan kalimat yang membingungkan antara kafir dan tidaknya,
sehingga timbul prasangka jelek kepada orang yang mengucapkannya, di samping
hal itu termasuk prilaku kaum jahiliyah atau prilaku orang yang menyerupai
mereka. Hanya saja, kemakruhannya sebatas makruh tanzih, dan tidak sampai
menimbulkan dosa.
Kedua, merupakan takwil terhadap suatu hadis Nabi, bahwa yang
dimaksud dengan Kafir di situ adalah kafir atau kufur nikmat, karena orang
tersebut menyederhanakan ucapannya yang mengaitkan turunnya hujan dengan proses
perjalanan bintang. Penakwilan ini hanya berlaku pada orang yang tidak memiliki
suatu keyakinan bahwa bintang-bintang tersebut menentukan dan mempengaruhi
turunnya hujan. Cara penakwilan semacam ini dierkuat dengan sebuah hadis Nabi
yang menjelaskan bahwa sebagian orang ada yang menjadi bersyukur dan ada yang
menjadi kufur. Hadis yang lain
menuturkan bahwa Allah tidak menurunkan keberkahan dari langit melainkan ada
sekelompok orang yang kufur terhadap keberkahan itu (HR Muslim dan Ahmad).
Istilah “kufur terhadap keberkahan”
menunjukkan pengertian “Kufur nikmat”. Wallahu A’lam. Hanya Allah swt
Yang Lebih Mengetahui.
Anda sekarang sudah tahu, bahwa Imam An-Nawawi berpendapat seperti di
atas didasarkan pada kesepakatan atau
Ijmak para ulama, yaitu bahwa menisbatkan suatu perbuatan kepada “wasithah”
(medium, perantara, makhluk) adalah tidak kafir, kecuali jika disertai
keyakinan bahwa “wasithah” itulah sebenarnya yang menjadi Penyebab Utama-nya.
Jika tidak memiliki pandangan seperti itu, dan masih menganggap bahwa “wasithah”
tadi adalah sekedar sebagai tempat, waktu proses terjadinya, maka tidak
dihukumi kafir. Bahkan Syara’ terkadang menganjurkan, atau malah memuji untuk
melakukan semacam itu, seperti yang disinggung oleh hadis Nabi, “Siapa saja
yang melakukan kebaikan kepada kamu, maka balaslah ia dengan dengan kebaikan
yang sebanding. Jika tidak mampu membalasnya, maka doakanlah agar ia
mendapatkan kebaikan, sampai kamu meyakini bahwa kamu telah membalas kebaikan
kepadanya” (HR Ahmad). Rasulullah saw bersabda lagi, “Barangsiapa yang tidak
berterima kasih kepada seseorang (yang berbuat baik kepadanya), sama
artinya ia tidak bersyukur kepada Allah swt” (HR Ahmad). Syariat memandang yang
demikian ini disebabkan bahwa memposisikan Wasithah dengan cara ini tidak
otomatis meniadakan karunia Allah swt.
Sekarang Anda
sudah mengetahui bahwa suatu perbuatan ternyata dapat diterapkan dalam beberapa
segi yang berbeda. Karena itu Anda jangan mempertentangkan di antara beberapa
makna pengertian semacam itu, jika Anda memang benar-benar memahaminya secara
baik. Disebabkan bahwa makna yang terkandung dalam suatu kalimat itu lebih luas
daripada yang diungkapkan oleh kalimat itu sendiri. Jika pemahaman kita
berhenti hanya sampai pada zhahiriyah lafazh (makna yang tersurat), dan tidak memandangnya
sebagai lafazh yang memiliki makna majazi (makna yang tersirat), tentu
kita tidak akan mampu mengkompromikan beberapa nash-nash yang nampak bertentangan
antara yang satu dengan yang lain. Tidak tahukah Anda keluhan Nabi Ibrahim yang
diabadikan dalam Al-Qur’an surat Ibrahim ayat 36 :
رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Ya
Tuhan-ku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan
daripada manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang
itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka
sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Apakah
anda menyaksikan bahwa dengan ucapan “berhala-berhala itu telah menyesatkan
kebanyakan manusia” , Nabi Ibrahim menjadi syirik ? Sementara beliau sendiri berkata :
قَالَ أَتَعْبُدُونَ مَا تَنْحِتُونَ ,وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Ibrahim
berkata: "Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu? Padahal
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". (QS
Ash-Shaffat,[36] : 95-96).
Orang yang
berkeyakinan dan beranggapan bahwa “sesuatu“ selain Allah swt itu mampu
menciptakan, mengadakan dan memberi pengaruh secara mutlak, ia benar-benar
musyrik, baik “sesuatu” itu berupa benda mati, benda atau makhluk hidup, Nabi,
malaikat, maupun selain itu. Siapa saja
yang meyakini adanya proses “Hukum Sebab Akibat” pada semua makhluk, dimana
Allah swt menjadikan suatu “sebab” untuk meraih suatu “Akibat”-nya, akan tetapi
ia yakin bahwa Allah swt-lah sebenarnya
yang melakukan semuanya itu, maka ia masih tergolong mukmin, meskipun ia salah
dalam persangkaannya terhadap sesuatu yang sebenarnya “bukan sebab”
dianggap sebagai “sebab”. Jadi kesalahannya terletak pada sudut
pandangannya terhadap “sebab”, bukan pada “yang menyebabkan” atau “sumber
sebab”, yakni Allah swt.