Tampilkan postingan dengan label majazi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label majazi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 10 Mei 2013

PYPD - 9. Penisbatan Suatu Lafazh Terkadang Memiliki Makna yang Berbeda



Barangkali Anda akan mengatakan, “Tidak dapat diterima oleh akal, menisbatkan satu perbuatan kepada dua pelaku yang berbeda, karena berkumpulnya dua pemberi bekas  pada satu bekasan yang sama adalah sesuatu yang mustahil.”

Benar juga apa yang Anda katakan tadi. Namun perlu diingat, bahwa hal itu hanya terjadi atau berlaku jika suatu perbuatan bagi pelakunya adalah memiliki makna tunggal dalam penerapannya pada suatu kalimat. Tetapi, jika perbuatan tersebut bagi pelakunya adalah memiliki makna ganda (homonim), dan dalam penerapannya pada suatu kalimat, perbuatan tersebut  dapat dilakukan secara bersamaan atau berulang-ulang oleh salah satu dari keduanya, maka tidak menutup kemungkinan untuk memutlakkan atau menentukan maknanya pada salah satu dari keduanya. Sebagaimana yang kita maklumi bersama tentang penerapan Isim Musytarak (Isim yang memiliki makna ganda, homonim), atau kata yang memiliki makna haqiqi (sebenarnya) dan majazi (kiasan, tidak sebenarnya).

Misalnya kalimat, “Penguasa (Amir) membunuh si Fulan” dan kalimat “Algojo membunuh si Fulan”. Pengertian “membunuh” yang dilakukan oleh Penguasa, tentu berbeda dengan pengertian “membunuh” yang dilakukan oleh Algojo.  Misalnya lagi kalimat, “Allah adalah Pelakunya”, memiliki pengertian bahwa Allah adalah Dzat yang Menciptakan dan Mengadakan (sesuatu yang tadinya belum ada untuk menjadi ada). Hal ini berbeda dengan pengertian kalimat “Makhluk adalah pelakunya”, yang dapat diartikan bahwa makhluk adalah sebagai sarana Allah swt  atau tempat Allah swt dalam mewujudkan ciptaan-Nya atau mewujudkan Qudrat-Nya setelah Dia menciptakan Iradat-Nya pada makhluk tersebut, dan jauh sebelum itu Dia menciptakan Ilmu-Nya padanya.  Dengan demikian, keterkaitan, hubungan atau korelasi antara qudrat  dengan iradat, dan korelasi antara gerak/proses penciptaaan dengan qudrat, adalah merupakan korelasi antara Ma’lul (akibat) dengan ‘Illat (sebab), antara makhluk yang diciptakan dengan Dzat Yang Menciptakannya, yakni Allah swt. Hal ini hanya berlaku jika Ma’lul atau makhluk yang menjadi sarana dan tempat Allah swt mengejawantahkan Qudrat-Nya tersebut adalah tergolong makhluk yang berakal, seperti malaikat, manusiadan  jin. Namun jika makhluk tersebut tergolong tidak berakal, maka hubungannya atau korelasinya adalah bersifat hubungan sebab-akibat.
Atas dasar penjelasan di atas, maka sah-sah saja menyebut segala sesuatu yang memiliki hubungan keterkaitan dengan Qudrat (kuasa, mampu) sebagai pelaku, bagaimana pun bentuk dan keadaan hubungan keterkaitannya. Misalnya “Algojo”  layak disebut pelaku eksekusi sesuai dengan tugasnya selaku petugas yang memenggal kepala terpidana. Demikian pula Penguasa / Amir, juga pantas disebut pelaku eksekusi sesuai dengan kedudukannya selaku pejabat yang berhak memberikan instruksi untuk megeksekusi terpidana. Hal itu disebabkan karena terjadinya eksekusi tidak terlepas dari peranan kedua orang di atas.
Jika hubungan keterkaitan tersebut ada pada kedua pihak yang berbeda, maka bolehlah menyebut pelakunya pada salah satu pihak, misalnya adalah seperti memposisikan sesuatu yang dikenai “Qudrat” dengan “dua Qudrat”, atau dengan kata lain memandang sesuatu yang menjadi obyek “kekuasaan” dengan “dua sumber kekuasaan”.  Dalil yang membolehkan penisbatan semacam ini adalah sebagaimana Allah swt sendiri terkadang menisbatkan Af’al-Nya (Perbuatan-Nya) kepada malaikat, terkadang kepada hamba-hamba-Nya yang lain, dan terkadang kepada Diri-Nya sendiri. Allah swt berfirman

قُلْ يَتَوَفَّاكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ

“Katakanlah” ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)-mu akan mematikanmu” (QS AsSajdah,[32] : 11)  
Dalam ayat di atas, Allah swt menisbatkan atau menyandarkan Af’al-Nya, yakni mematikan seseorang, kepada malaikat. Sementara dalam ayat yang lain, Dia menisbatkan Af’al-Nya tersebut pada diri-Nya sendiri, seperti firman-Nya :

اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang)  yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan”. (QS Az-Zumar,[39]: 42)

Allah swt menisbatkan Af’al-Nya, yakni “menanam”, pada manusia, sebagaimana firman-Nya :

أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَحْرُثُونَ

“Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kalian tanam” (QS Al-Waqi’ah,[56]: 63)
Sementara dalam ayat 25-27 QS ‘Abasa, Dia menisbatkannya pada Diri-Nya sendiri :

أَنَّا صَبَبْنَا الْمَاءَ صَبًّا(25)ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقًّا(26)فَأَنْبَتْنَا فِيهَا حَبًّا

“Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu” (QS ‘Abasa,[80] : 25-27)
Allah berfirman dalam QS Maryam,[19] : 17,

فَأَرْسَلْنَا إِلَيْهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا

“… Lalu Kami mengutus Ruh Kami (malaikat Jibril) kepadanya (Maryam), maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna” (QS Maryam,[19] : 17)

وَالَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهَا مِنْ رُوحِنَا

“Dan (ingatlah kisah) Maryam yang telah memelihara kehormatannya, lalu Kami (Allah swt) tiupkan kedalam (tubuh)-nya ruh dari Kami …” (QS Al-Anbiya’,[21] : 91)
Ayat 91 QS Al-Anbiya’ di atas menjelaskan bahwa Allah swt  menyandarkan Af’al atau perbuatan “peniupan ruh” pada Diri-Nya sendiri. Sementara ayat 17 QS Maryam, “peniupan ruh” tersebut dilakukan oleh malaikat Jibril.
Allah swt menyandarkan perbuatan “membacakan Al-Qur’an” pada Diri-Nya sendiri, sebagaimana firman-Nya :

فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَهُ

“Apabila Kami telah selesai membacakannya (Al-Qur’an), maka ikutilah bacaannya” (QS Al-Qiyamah,[75] : 18)
Sementara itu, yang membacakan Al-Qur’an untuk didengarkan bacaannya oleh Rasulullah saw, sebenarnya, adalah malaikat Jibril.
Allah swt berfirman :

فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ قَتَلَهُمْ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى

“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar” (QS Al-Anfal,[8] : 17)

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah swt menafikan (meniadakan) pembunuhan yang dilakukan oleh manusia, lalu Dia meng-itsbatkan (menetapkan) bahwa Diri-Nya-lah pada hakekatnya yang membunuh. Demikian pula Dia menafikan adanya pelemparan oleh manusia, lalu menetapkan bahwa pelemparan itu, pada hakekatnya, Dia-lah yang melakukannya. Hal ini bukan berarti bahwa Allah swt benar-benar telah menafikan atau tidak mengakui sama sekali  setiap perbuatan dan tindakan manusia. Akan tetapi yang dimaksudkannya adalah bahwa Allah swt-lah yang secara Hakiki menciptakan, mengadakan dan mentaqdirkan suatu perbuatan pembunuhan dan pelemparan tersebut, dengan catatan bahwa perbuatan pembunuhan dan pelemparan yang dilakukan oleh manusia tersebut adalah sebatas sebagai perantara-Nya dalam mewujudkan Perbuatan-Nya. Ringkasnya, perbuatan (membunuh dan melempar) merupakan “satu kata” yang memiliki “dua pengertian”  yang berbeda dalam penerapannya. Namun demikian, “satu perbuatan” terkadang dinisbatkan kepada “dua pelaku” secara bersama-sama, sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an :

وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوا مَا ءَاتَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ سَيُؤْتِينَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ

“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: ‘Cukuplah Allah bagi kami. Allah akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya…” (QS At-Taubah,[9] : 59)

Ummul Mukminin ‘Aisyah ra meriwayatkan sebuah hadis yang menjelaskan bahwa, Allah swt bila ingin menciptakan janin, Dia mengutus seorang malaikat untuk masuk kedalam rahim seorang ibu, lalu mengambil sperma-ovum untuk dibentuk menjadi janin. Malaikat itu berkata, “Ya Allah, apakah berjenis kelamin lelaki, ataukah perempuan ! Apakah normal, ataukah abnormal ?”. Kemudian Allah swt berfirman kepadanya tentang apa-apa yang yang Dia kehendaki, dan malaikat itu lalu akan melaksanakan apa-apa yang dikehendaki-Nya teresebut.
Didalam teks hadis yang lain berbunyi, “Malaikat membentuk (sperma-ovum untuk dijadikan janin), lalu meniupkan ruh kedalamnya disertai dengan menuliskan kebahagiaan dan kemalangan nasibnya”.
Bila penjelasan di atas Anda renungkan, Anda akan tahu dan mengerti, bahwa Af’al atau Perbuatan Allah swt  tersebut dikejawantahkan, diaktualkan dan diwujudkan dalam bentuk yang bermacam-macam, dan tidak ada pertentangan antara yang satu dengan lainnya. Oleh karenanya, Perbuatan Allah swt tersebut  terkadang juga dinisbatkan dan disandarkan kepada benda-benda mati atau tidak berakal seperti pepohonan, sebagaimana firman Allah swt :

تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا

“Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya”   (QS Ibrahim, [14] : 25)

Pada dasarnya, sebuah pohon tidak akan mampu memberikan buah, lepas dari campur tangan Allah swt. Dengan kata lain, Allah swt-lah, pada hakekatnya, yang mampu memberikan atau menumbuhkan buah melalui perantaraan pohon tersebut.

Rasulullah saw bersabda, “Sebagian ummatku, pada suatu ketika, ada yang menjadi mukmin dan ada yang menjadi kafir kepadaku. Adapun orang yang mengatakan, “Telah turun hujan kepada kami berkat anugerah dan rahmat Allah swt”, maka hal itu berarti bahwa ia  telah beriman  kepadaku dan kufur kepada bintang-bintang. Adapun orang yang mengatakan, “Telah turun hujan kepada kami disebabkan oleh ini dan itu..”, maka ia kufur kepadaku dan beriman kepada bintang-bintang”. 

Kekufuran tersebut berlaku jika orang itu beranggapan bahwa makhluk selaku perantara Allah itulah yang menyebabkan, menciptakan, atau menjadikan turunnya hujan.
Menanggapi istilah Kafir di dalam hadis di atas, imam an-Nawawi berpendapat, bahwa para ulama berselisih faham tentang makna kafir  dalam pernyataan “Telah turun hujan kepada kami disebabkan oleh ini dan itu”.

 Pertama, berarti kafir kepada Allah swt, berseberangan dengan prinsip keimanan dan menyebabkannya keluar dari Agama Islam, selama hal ini disertai suatu keyakinan bahwa perbintangan-lah yang menyebabkan, mendatangkan, dan menjadikan turunnya hujan. Sebagaimana keyakinan ini pernah berkembang di kalangan masyarakat jahiliyah. Orang yang berkeyakinan semacam ini sudah jelas dan tidak perlu diragukan kekafirannya. Demikianlah pendapat yang dianut oleh mayoritas ulama, termasuk imam Asy-Syafi’i sendiri. Mereka berpendapat, jika ada orang yang berkata, bahwa turunnya tersebut disebabkan oleh ini dan itu, disertai dengan suatu keyakinan bahwa sumber datangnya hujan adalah Allah swt, sementara pernyataan “disebabkan ini dan itu” adalah sebagai Miqat atau waktu turunnya hujan, dan sebagai tanda-tanda turunnya hujan  menurut kebiasaannya, sehingga ia seakan-akan mengucapkan: “Telah turun hujan kepada kami pada waktu ini dan itu”, maka yang demikian itu tidak menyebabkannya kafir, namun makruh diucapkan. Mereka masih mempermasalahkan kemakruhan ucapan tersebut, bahwa kemakruhannya lebih disebabkan oleh bahwa ucapan itu merupakan kalimat yang membingungkan antara kafir dan tidaknya, sehingga timbul prasangka jelek kepada orang yang mengucapkannya, di samping hal itu termasuk prilaku kaum jahiliyah atau prilaku orang yang menyerupai mereka. Hanya saja, kemakruhannya sebatas makruh tanzih, dan tidak sampai menimbulkan dosa.
Kedua, merupakan takwil terhadap suatu hadis Nabi, bahwa yang dimaksud dengan Kafir di situ adalah kafir atau kufur nikmat, karena orang tersebut menyederhanakan ucapannya yang mengaitkan turunnya hujan dengan proses perjalanan bintang. Penakwilan ini hanya berlaku pada orang yang tidak memiliki suatu keyakinan bahwa bintang-bintang tersebut menentukan dan mempengaruhi turunnya hujan. Cara penakwilan semacam ini dierkuat dengan sebuah hadis Nabi yang menjelaskan bahwa sebagian orang ada yang menjadi bersyukur dan ada yang menjadi  kufur. Hadis yang lain menuturkan bahwa Allah tidak menurunkan keberkahan dari langit melainkan ada sekelompok orang yang kufur terhadap keberkahan itu (HR Muslim dan Ahmad). Istilah “kufur terhadap keberkahan  menunjukkan pengertian “Kufur nikmat”. Wallahu A’lam. Hanya Allah swt Yang Lebih Mengetahui.

Anda sekarang sudah tahu, bahwa Imam An-Nawawi berpendapat seperti di atas didasarkan pada  kesepakatan atau Ijmak para ulama, yaitu bahwa menisbatkan suatu perbuatan kepada “wasithah” (medium, perantara, makhluk) adalah tidak kafir, kecuali jika disertai keyakinan bahwa “wasithah” itulah sebenarnya yang menjadi Penyebab Utama-nya. Jika tidak memiliki pandangan seperti itu, dan masih menganggap bahwa “wasithah” tadi adalah sekedar sebagai tempat, waktu proses terjadinya, maka tidak dihukumi kafir. Bahkan Syara’ terkadang menganjurkan, atau malah memuji untuk melakukan semacam itu, seperti yang disinggung oleh hadis Nabi, “Siapa saja yang melakukan kebaikan kepada kamu, maka balaslah ia dengan dengan kebaikan yang sebanding. Jika tidak mampu membalasnya, maka doakanlah agar ia mendapatkan kebaikan, sampai kamu meyakini bahwa kamu telah membalas kebaikan kepadanya” (HR Ahmad). Rasulullah saw bersabda lagi, “Barangsiapa yang tidak berterima kasih kepada seseorang (yang berbuat baik kepadanya), sama artinya ia tidak bersyukur kepada Allah swt” (HR Ahmad). Syariat memandang yang demikian ini disebabkan bahwa memposisikan Wasithah dengan cara ini tidak otomatis meniadakan karunia Allah swt.
Sekarang Anda sudah mengetahui bahwa suatu perbuatan ternyata dapat diterapkan dalam beberapa segi yang berbeda. Karena itu Anda jangan mempertentangkan di antara beberapa makna pengertian semacam itu, jika Anda memang benar-benar memahaminya secara baik. Disebabkan bahwa makna yang terkandung dalam suatu kalimat itu lebih luas daripada yang diungkapkan oleh kalimat itu sendiri. Jika pemahaman kita berhenti hanya sampai pada zhahiriyah lafazh  (makna yang tersurat), dan tidak memandangnya sebagai lafazh yang memiliki makna majazi (makna yang tersirat), tentu kita tidak akan mampu mengkompromikan beberapa nash-nash yang nampak bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Tidak tahukah Anda keluhan Nabi Ibrahim yang diabadikan dalam Al-Qur’an surat Ibrahim ayat 36 :

رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Ya Tuhan-ku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Apakah anda menyaksikan bahwa dengan ucapan “berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan manusia” , Nabi Ibrahim menjadi syirik ?  Sementara beliau sendiri berkata :

قَالَ أَتَعْبُدُونَ مَا تَنْحِتُونَ ,وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

“Ibrahim berkata: "Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". (QS Ash-Shaffat,[36] : 95-96).
Orang yang berkeyakinan dan beranggapan bahwa “sesuatu“ selain Allah swt itu mampu menciptakan, mengadakan dan memberi pengaruh secara mutlak, ia benar-benar musyrik, baik “sesuatu” itu berupa benda mati, benda atau makhluk hidup, Nabi, malaikat,  maupun selain itu. Siapa saja yang meyakini adanya proses “Hukum Sebab Akibat” pada semua makhluk, dimana Allah swt menjadikan suatu “sebab” untuk meraih suatu “Akibat”-nya, akan tetapi ia yakin bahwa Allah swt-lah  sebenarnya yang melakukan semuanya itu, maka ia masih tergolong mukmin, meskipun ia salah dalam persangkaannya terhadap sesuatu yang sebenarnya “bukan sebab” dianggap sebagai “sebab”. Jadi kesalahannya terletak pada sudut pandangannya terhadap “sebab”, bukan pada “yang menyebabkan” atau “sumber sebab”, yakni Allah swt.