Sejarah Mina
Mina merupakan tanah padang di kawasan Tanah Haram yang panjangnya + 3,5
km, terletak diantara dua bukit di kawasan perbukitan antara Makkah dan
Muzdalifah.
Dengan
pertumbuhan penduduk dan kota, serta perkembangan jamaah haji saat ini, kedua
kota Mina dan Makkah hampir bersambung. Mina dicapai dari kota Makkah (arah
timur laut Masjidil Haram) melewati jalan tol yang luas dan bebas hambatan
sepanjang 7 km (4 km melewati
terowongan).
Kata "Mina"
artinya pengharapan. Diartikan demikian karena menurut riwayat, di kota ini
Nabi Adam pernah mendapat bisikan akan memperoleh harapan untuk bertemu kembali
dengan isterinya. Tidak begitu lama
setelah itu, dengan izin Alloh, beliau benar-benar bertemu dengan Hawa',
tepatnya di atas Jabal Rahmah.
Orang-orang
Arab menyebut suatu tempat yang dijadikan berkumpulnya orang banyak dengan
sebutan Mina. Sehubungan dengan ini, Mina memang ditetapkan sebagai
tempat menginap (mabit) dan berkumpulnya seluruh jamaah haji setelah selesai
dari wuqufnya di 'Arafah, untuk melanjutkan prosesi manasik haji berikutnya,
yakni melontar jumrah pada tangal 10 s/d 13
Dzulhijjah, dan sebagai tempat menginap pada hari tanggal 8 Dzulhijjah (sebelum
berangkat ke 'Arafah pada pagi harinya) bagi jamaah haji yang melaksanakan
program tarwiyah.
Mina dapat berarti tempat menumpahkan darah binatang. Dan
kenyataannya, Mina merupakan tempat penyembelihan binatang korban di hari-hari
nahr.
Tempat-tempat
penting di Mina antara lain Jamarat,
Masjid al-Khaif, Masjid al-Bai'ah,
Manhar (Tempat penyembelihan binatang), lembah Muhassir.
Jamarat : Tempat Pelemparan Jumroh
Kata Jamarot
merupakan bentuk jamak dari kata Jumrah, yang berarti kumpulan batu-batu
kecil (kerikil). Namun kata Jamarot akhirnya menjadi nama tempat
pelemparan batu-batu kerikil (7 butir) oleh seluruh jamaah haji pada tanggal
10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah.
Jamarot terdiri dari Jumrorul Ula, Jumrotul Wustho dan Jumrotul
Aqobah. Dalam kondisinya sekarang, ketiga jumroh ini berupa bangunan tugu
batu dengan ukuran tebal + 2 meter dan panjang + 15 meter. Ketiganya terletak di
daerah Mina.
Jumrotul Ula (jumrah pertama) disebut juga Jumrah shughro (jumrah
kecil). Lokasinya di dekat Masjid Al-Khaif. Jumrotul Wustho (Jumroh
tengah) disebut juga Jumroh tsaniyah (jumroh kedua), lokasinya di
tengah-tengah antara Jumrotul Ula dan 'Aqabah, jaraknya + 150 meter dari
Jumrotul Ula. Sedangkan Jumrotul 'Aqobah (jumroh besar) disebut juga Juimroh
Tsalitsah (jumroh ketiga), lokasinya di dekat pintu gerbang kota Mina,
berjarak + 190 meter dari Jumrotul Wustho.
Ketiga tugu
Jamarot tersebut sebagai simbol dari setan yang sengaja didirikan untuk
memperingati Nabi Ibrahim dalam usahanya mengusir dan melawan setan yang berusaha hendak
menggagalkannya untuk melaksanakan perintah Alloh menyembelih putranya,
Isma'il. Peristiwa ini kemudian diabadikan Alloh sebagai salah satu dari
rangkaian manasik haji (Masya'irul Hajji), yang disebut "Melempar
Jumroh".
Makna
simbolik pelemparan jumroh.
Melempar jumroh sebagai simbol memerangi dan mengusir setan. 7 kali lemparan
batu sebagai simbol jumlah hari dalam seminggu. Nabi Ibrohim, Nabi Isma'il dan
Siti Hajar merupakan simbol orang yang beriman dan bertaqwa dari berbagai jenis
kelamin dan tingkatan usia (tua-muda, besar kecil, pria-wanita). Terkandung
suatu makna, bahwa dalam rangka melaksanakan semua perintah Alloh dan menjauhi
semua larangan-Nya, seluruh kaum beriman harus berusaha sekuat tenaga berperang
melawan gangguan setan setiap waktu selama 7 hari dalam seminggunya. Artinya,
tidak ada waktu dan hari libur untuk memerangi setan.
Masjid Al-Khaif
Masjid Khaif berlokasi
di kaki gunung selatan Mina, dekat dengan tempat pelemparan jumroh Ula. Di halaman masjid
terdapat kubah cukup besar dan di tempat ini dulu pernah didirikan kemah
Rosululloh. Di kemah ini beliau shalat 5 waktu (pada hari tarwiyah, 8
dzulhijjah) dan berkhutbah sewaktu haji wada’. Demikian pula para Nabi
sebelumnya.
Abdurrahman
bin Mu'adz menceritakan, bahwa Rosululloh pernah berkhutbah di sana. Beliau
memerintahkan kaum muhajirin datang ke masjid, dan mereka berdatangan dari arah
depan masjid. Kemudian menyuruh kaum anshar datang, dan mereka berdatangan dari
arah belakangnya. Sejak saat itu, masjid ini didatangi orang banyak. (HR Abu
Dawud).
Masjid
Bai’ah
Masjid
al-Bai’at terletak di Mina, 7 km dari Makkah, berjarak kurang lebih 300 meter
dari Jumrah Aqabah. Masjid ini mempunyai nilai penting dalam sejarah
perkembangan Islam, karena di tempat ini Rosulalloh menerima bai’at 12 orang
laki laki dari kabilah Aus dan Khazraj yang datang dari Madinah. Mereka
bertemu dengan Rosulalloh di Aqobah dan menggelar bai’at untuk beriman kepada
Allah dan Rasul Nya, tidak mempersekutkan Nya, menta’ati perintah-Nya dan
menjauhkan larangan-Nya. Baiat ini dinamakan baiat Al-Aqobah pertama terjadi
pada tahun 12 H.
Di
tempat ini pula pada tahun 13 H, missi dari kota Yatsrib (Madinah) yang
berjumlah 73 orang laki laki dan 2 orang perempuan datang kembali menghubungi
Nabi saw untuk bertemu di Aqobah. Rosulalloh datang bersama pamannya Abbas
menggelar bai’at kedua di Aqobah. Di sana terjadi kesepakatan untuk melindungi
Rasulallah saw jika berhijrah ke Madinah, memerangi orang yang memerangi mereka
dan berdamai dengan orang yang ingin berdamai dengan mereka. Rosulalloh meminta
kepada missi dari Yatsrib agar memilih 12 orang diantara mereka berbaiat dengan
apa apa yang telah disepakati. Dan dipilihlah 9 orang dari kaum Khazraj dan 3
orang dari kaum Aus. Bai’at ini dinamakan Baiat Al-Aqobah kedua.
Lembah
Muhassir dan Terowongan Mu’ashim
Lembah
Muhassir atau Wadi Muhassir terletak di
antara Muzdalifah dan Mina. Muhassir diambilkan dari kata "Hasr"
yang artinya lemah, lemas, tak kuat.
Kata Ibnu
Taimiyah, lembah itu dinamakan demikian karena di lembah inilah gajah-gajah
tunggangan tentara pimpinan Abrahah tiba-tiba lemas dan tidak mampu bergerak
untuk melanjutkan perjalanannya menyerang Ka'bah. Dan di tempat ini pula para
tentara tersebut dihancurkan Alloh. Bagi jamaah haji yang melewati lembah ini
(dari Muzdalifah ke Mina) disunnahkan mempercepat jalannya dan kendaraannya.
Terowongan
Mu'ashim yang lebih dikenal dengan Terowongan Mina
ini berjarak 15 km sebelah timur dari kota Makkah dan 2,5 km dari lokasi jamarat. Di sekitar
terowongan merupakan lokasi perkemahan (mabit) jamaah haji dari Indonesia dan
Asia Tenggara. Terowongan inilah yang dilewati jamaah haji Indonesia setiap
kali melempar jumroh.
Terowongan
Mu'ashim menjadi terkenal setelah terjadi tragedi Mina pada musim haji 1411 H
tanggal 2 Juli 1990 yang memakan korban tidak kurang dari 1.400 orang didalam
terowongan ini, 659 orang diantaranya berasal dari Indonesia. Diantara
penyebabnya karena terowongan ini merupakan satu-satunya terowongan yang
menghubungkan lokasi perkemahan dengan jamarat, dan digunakan untuk dua arus
bolak-balik. Saat itu jumlah jamaah yang
masuk terowongan luar biasa banyaknya, penuh sesak dengan para jamaah haji yang
hendak pergi ke jamarat dan yang kembali ke perkemahan, sehingga ketika terjadi
kecelakaan, yakni ketika 7 orang jatuh dari jembatan di mulut terowongan,
terjadilah kepanikan. Mereka yang sudah berada didalamnya tidak bisa bergerak.
Jamaah yang lemah fisik jatuh terinjak-injak, lalu mati.
Setelah
tragedi ini, Pemerintah Arab Saudi membuatkan satu terowongan lagi di
sebelahnya yang dikerjakan dalam waktu kurang dari satu tahun. Pada musim haji tahun 1991 sampai sekarang,
terowongan Mu’ashim tidak lagi angker. Para jamaah yang pergi ke jamarat dan
kembali lagi ke perkemahan terasa aman melewati terowongan yang berbeda.
Didalam kedua terowongan ini dilengkapi dengan lampu penerangan yang cukup,
blower penyedot udara dan kipas angin yang begitu banyak.
MUZDALIFAH
Muzdalifah" merupakan isim fa'il dari fi'il madhi
"izdalafa" yang artinya maju dan mendekat. Dinamakan demikian
karena jamaah mendatangi Muzdalifah pada permulaan atau tengah malam, atau
karena tempat ini jaraknya sangat dekat dengan Mina.
Menurut
riwayat, Nabi Adam dan siti Hawa saling mendekat dan berkumpul di Muzdalifah
beberapa saat setelah keduanya bertemu di Jabal Rahmah (padang Arafah).
Muzdalifah
terletak diantara Mina dan Arafah. Batas-batasnya ialah dari lembah Muhassir
sampai al-Ma'zamah (dua bukit yang saling berhadapan, yang dipisahkan
dengan jalan) sepanjang 4 km, dengan luas seluruhnya 12,25 km persegi.
Di Muzdalifah
ini para jamaah haji melakukan mabit (menginap) minimal sampai tengah
malam sebelum melanjutkan perjalanan ke Mina. Rosululloh sendiri berangkat dari 'Arafah menuju ke
Muzdalifah setelah matahari tenggelam (waktu maghrib) dan menginap di tempat
ini sampai pagi hari (subuh). Beliau juga menjamak ta'khir maghrib dan isya' di
tempat ini.
Masjid
Masy'aril Haram
Masjid
Masy’aril Haram terletak di Muzdalifah, berjarak 5 km
dari Masjid Al-Khaif di Mina dan 7 km dari Masjid Namirah di
Arafah. Kondisi masjid saat ini diperluas dengan halamannya yang begitu luas
untuk mabit. Panjang masjid 90 m (dari arah timur ke barat), lebarnya 56 m,
dengan luas seluruhnya 5040 m persegi, sehingga mampu menampung 12.000 jamaah.
Masjid ini dilengkapi dengan fasilitas AC, air bersih, toilet, kamar mandi dan
pelayanan kesehatan.