Tampilkan postingan dengan label Peringatan Maulid NabiI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Peringatan Maulid NabiI. Tampilkan semua postingan

Rabu, 24 Juli 2013

PYPD - 52. PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW




 
Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki


PENGERTIAN MAULID NABI

Banyak orang yang salah dialam memahami hakekat makna Maulid Nabi. Mereka menanggapinya secara negatif, mempersoalkan dan memperdebatkannya secara berkepanjangan sehingga muncullah polemik di kalangan mereka, sehingga sebagian besar waktu yang seharusnya mereka pergunakan untuk hal-hal yang sangat bermanfaat, terbuang begitu saja dan sia-sia, bagaikan debu tertiup angin, karena semangat mereka dibangun di atas persepsi yang negatif. Berulang kali kami menulis kajian tentang persoalan Hakekat Maulid Nabi  menurut persepsi kami, kemudian kami sebarluaskan melalui siaran Radio-radio, surat kabar, dan lembaga-lembaga pada umumnya secara rutin. Namun tetap saja mendapatkan tanggapan yang negatif.

Perlu kami tergaskan tentang akidah dan keyakinan kami, bahwa persoalan berkumpulnya orang banyak untuk mengadakan acara Peringatan Maulid Nabi saw tiada lain adalah kegiatan bersifat tradisi dan adat istiadat, bukan kegiatan peribadatan kepada sesuatu. Orang yang memahami hakekat makna Maulid Nabi sekehendak hatinya seharusnya mengerti, bahwa manusia itu, termasuk dirinya sendiri, pada dasarnya cenderung membenarkan pendapat, tindakan dan keyakinannya sendiri, serta suka menyalah-nyalahkan orang lain yang tidak sependapat dengannya dan tidak mau tahu atau mungkin pura-pura tidak tahu pendapat orang lain.

 Kami sering mengatakan pada setiap acara, pertemuan dan kesempatan, bahwa majlis pertemuan dalam rangka memperingati Maulid Nabi dengan acara dan cara tertentu adalah persoalan adat istiadat dan tradisi, dan bukannya merupakan bagian dari aktifitas peribadatan kepada sesuatu selain Allah swt. Selanjutnya setelah ini, apakah masih ada usaha pengingkaran lagi? Bukankah musibah terbesar itu akan menimpa seseorang disebabkan ketidakpahamannya? Oleh karena itu, Imam Syafi’iy mengatakan : “Aku tidaklah akan mendebat seseorang yang berilmu, melainkan aku akan mampu mengalahkannya. Namun aku tidak akan mendebat orang yang bodoh, melainkan ia akan mengalahkanku”.

Sebenarnya santri yang paling sedikit ilmunya, tentu ia akan mampu mengetahui perbedaan antara   tradisi dan  peribadatan, serta perbedaan antara hakekat ini dan itu. Bila aa orang yang mengatakan : “Ini adalah persoalan ibadah yang disyariatkan dengan berbagai tata caranya”, maka kami akan mengatakan kepadanya : “Mana dalilnya?”. Namun jika dia mengatakan : “Ini adalah persoalan tradisi”, maka kami akan mengatakan kepadanya : “Silahkan berbuat sekehendakmu”, karena bahaya yang terbesar yang kami takuti adalah perbuatan bid’ah yang tidak disyariatkan dalam agama namun dilakukan dengan berkedok ibadah, meskipun disertai alasan bahwa perbuatan bid’ah tersebut adalah hasil ijtihad. Cara yang demikian itu tidak kami sukai, bahkan akan kami perangi dan kami hindari semaksimal mungkin.

Pendek kata, berkumpul-kumpul mengadakan majlis dalam rangka memperingati Maulid Nabi merupakan persoalan tradisi, tapi tradisi yang baik, yang sangat banyak manfaat dan faedahnya bagi kaum muslimin, karena dengan sendirinya, kemanfaatan inilah yang dituntut dan diharapkan oleh syariat itu sendiri.

Orang yang memiliki pemahaman yang kacau menganggap bahwa kami mengajak kaum muslimin untuk mengadakan majlis ini hanya dalam satu malam sepanjang tahun atau sekali dalam satu tahun. Nampaknya mereka sudah lupa, bahwa pelaksanaan majlis ini di kota Makkah dan Madinah tidak ada yang menandinginya, di mana kaum muslimin, setiap malamnya sepanjang tahun, ada saja yang berkumpul mengadakan majlis ini yang diisi dengan acara pembacaan Riwayat Hidup Rasulullah saw. Bahkan di kaum muslimin di seluruh dunia pun hampir setiap malamnya selalu ada yang menyelenggarakannya. Semua orang yang berakal tentu mengetahui kenyataan ini dan orang yang bodoh akan selalu membodohkannya.

Segelintir orang ada yang melontarkan tuduhan, bahwa kami menyelenggarakan majlis ini hanya didalam satu malam  setiap tahunnya, sementara 359 hari sisanya kami tinggalkan. Ini benar-benar suatu fitnah dan tuduhan yang sangat besar dosanya.   Berkat pertolongan Allah swt, majlis pertemuan ini selalu diselenggarakan kaum muslimin di kota Makkah dan Madinah pada setiap malam sepanjang tahun, dan hampir setiap malam dan hari selalu diadakan kaum muslimin di seluruh dunia Islam. Kalau memang benar bahwa kami mengajak kaum muslimin agar menyelenggarakan majlis dalam rangka memperingati Maulid Nabi hanya pada satu malam tertentu setiap tahunnya, bukan sepanjang hari atau hari setiap tahunnya, sebagaimana yang mereka tuduhkan, sungguh merupakan sikap yang kasar dan tidak ramah terhadap Rasulullah saw. Yang jelas,  kami mengajak kaum muslimin agar menyelenggarakan majlis ini setiap malam atau hari sepanjang tahun, dan ternyata mereka menyetujui ajakan kami tersebut. Orang-orang yang menuduh bahwa kami membatasi peringatan Maulid Nabi hanya di Madinah Al-Munawwarah saja, adalah cermin orang yang bodoh atau pura-pura bodoh terhadap kenyataan yang sebenarnya. Kami senentiasa berdoa, semoga Allah swt menyinari hati mereka dengan cahaya hidayah-Nya dan membukakan hati mereka dari tirai kebodohan yang menutupinya, sehingga nantinya mereka mampu menyaksikan bahwa majlis peringatan ini tidak hanya di kota Madinah saja, tidak hanya dilaksanakan pada satu malam saja, dan tidak hanya pada bulan-bulan tertentu saja, melainkan dilaksanakan kaum muslimin di setiap waktu dan tempat di seluruh dunia.

Wal-hasil,  kami tidak pernah mengajak kaum muslimin untuk menyelenggarakan majlis Maulid Nabi ini hanya dalam satu malam, bahkan orang yang beranggapan semacam itu berarti ia telah melakukan bid’ah, karena acara Maulid Nabi selalu diwarnai dengan bacaan-bacaan shalawat Nabi, sementara pembacaan shalwat Nabi seharusnya dilakukan pada setiap ksempatan dan tempat.

Majlis peringatan Maulid Nabi merupakan sarana yang sangat efektif untuk dimanfaatkan berdakwah mengajak orang ke jalan yang lurus, bahkan suatu kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan dan dibuang begitu saja. Para muballigh khususnya dan para ulama pada umumnya, seharusnya memanfaatkannya untuk beramar makruf dan nahi munkar, mengingatkan kaum muslimin yang berkumpul tersebut agar selalu meneladani keagungan akhlak Rasulullah saw, serta merenungkan perjalanan hidup dan cara beribadah beliau saw, di samping itu juga dimanfaatkan untuk memberikan nasehat dan bimbingan kepada mereka agar selalu melakukan kebajikan serta menjauhi perbuatan jelek, bid’ah, kejahatan dan fitnah. Alhamdulillah, berkat taufiq, hidayah dan pertolongan Allah swt, kami tidak ketinggalan memanfaartkan kesempatan tersebut untuk mengajak mereka ke arah itu, dan bersama-sama dengan mereka yang hadir melaksanakan acara tersebut dengan penuh hikmat, kemudian kami mengatakan kepada mereka: “Maksud dan tujuan majlis pertemuan semacam ini bukanlah sekedar pertemuan belaka, akan tetapi merupakan sarana yang luhur untuk mencapai tujuan yang luhur pula, yakni begini dan begitu….”.

Pembahasan ini tidak perlu kami panjang lebarkan, karena kami telah menyusun makalah yang secara khusus mengupas persoalan Maulid Nabi ini dengan judul : Haul al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabiy asy-Syarif.  Selanjutnya kami akan melengkapi pembahawsan ini dengan kisah kemerdekaan budak Tsuwaibah al-Aslamiyah .



KISAH PEMERDEKAAN BUDAK TSUWAIBAH AL-ASLAMIYAH

Para ulama menuturkan didalam beberapa kitab Hadis dan biografi para tokoh suatu kisah mengenai kemerdekaan budak yang bernama Tsuwaibah al-Aslamiyah oleh pemiliknya, yakni Abu Lahab, sehubungan dengan tersiarnya berita kelahiran Nabi Muhammad saw.

Kisah ini berawal dari peristiwa Abbas bin Abdulmuthalib bermimpi melihat Abu Lahab (setelah wafatnya). Kemudian ditanyakan kepadanya tentang keadaan yang dialami selama menghuni alam barzah. Abu Lahab menceritakan kondisinya: “Saya tidak menemukan kebaikan sama sekali setelah wafatku ini, selain aku selalu diberi minuman segar selama berada neraka ini, disebabkan tindakanku memerdekakan budakku, Tsuwaibah, sebagai tanda kegembiraanku menyambut kelahiran Muhammad. Atas tindakanku ini, Allah swt memberikan keringanan siksaan kepadaku setiap hari senin”.

Perlu kami tegaskan, bahwa Khabar ini diriwayatkan dan dinukil oleh sejumlah Imam Hadis dan ahli sejarah semacam Abdurrazzaq ash-Shan’any, imam Al-Bukhary, al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany, Ibnu Katsir, Al-Baihaqy, Ibnu Hisyam, As-Suhaily, Al-Baghawy, Ibnu ad-Diba’, Al-Asykar dan Al-‘Aminy.

Imam Abdurrazzaq ash-Shan’any meriwayatkannya didalam kitab Al-Mushnaf (juz 7, halaman 478). Dan Al-Bukhary menuturkannya didalam kitab Shahih-nya pada bagian Kitabun-Nikah, bab “Wa ummahatukumullaatii ardha’nakum…”, dimana sanadnya sampai kepada Urwah bin Az-Zubair secara mursal. Sementara Ibnu Hajar Al-Asqalany menuturkannya didalam kitab Fathul Bary, disertai komentar bahwa Al-Isma’ily meriwayatkannya dari jalan Adz-Dzihly, dari Abil Yaman.

 Kemudian imam Abdurrazzaq meriwayatkannya dari Ma’mar dan dia berkomentar, bahwa Khabar tersebut mengandung argumentasi yang menunjukkan bahwa di akhirat nanti, orang kafir terkadang dapat mengambil manfaat dari perbuatan baiknya selama hidup di dunia, akan tetapi pendapat ini bertentangan dengan keterangan ayat 23 QS Al-Furqan,[25] :

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا(23)

Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS Al-Furqan,[25] : 23).

Menurut pendapat kami, Khabar di atas : pertama, dapat dinilai mursal, yakni dimursalkan oleh Urwah bin az-Zubair dan tidak disebutkan siapa yang mengatakannya. Sementara yang namanya “mimpi”, sebagaimana yang dijelaskan didalam Khabar tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Barangkali orang yang bermimpi tersebut (yakni Abbas bin Abdul Muthalib) ketika itu belum masuk Islam, alias masih kafir. Dengan kata lain, keislamannya itu jauh dari sesudah mimpinya, sehingga mimpinya tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Kedua, Khabar di atas dapat diterima sebagai hujjah. Dengan alasan mendasarkannya pada kisah Abu Thalib, bahwa ia mendapatkan keringanan hukuman disebabkan usahanya selama hidupnya yang selalu melindungi Rasulullah saw dari berbagai gangguan, hujatan, rencana jahat dan rekayasa pembunuhan oleh kaum kafir Quraisy.

Imam Al-Baihaqy mengatakan : “Ada nash hadis Nabi yang menjelaskan tentang lenyapnya dan tidak dianggapnya amal kebaikan kaum kafir. Maksudnya, mereka tidak lepas dari siksa api neraka dan tidak akan masuk ke surga. Namun begitu, bisa saja mereka mendapatkan keringanan siksa”.

Sementara ‘Iyadh berpendapat, sudah menjadi ijmak di kalangan ulama, bahwa kaum kafir tidak akan dapat mengambil manfaat dari semua amal kebaikan yang mereka lakukan selama hidup di dunia. Mereka tidak akan mendapatkan keringanan siksaan, meskipun sebagian di antara mereka ada siksaannya lebih keras daripada sebgian yang lain.

Kami tegaskan pula, bahwa pendapat ‘Iyadh di atas sebenarnya tidak menafikan kemungkinan adanya keringanan siksaan sebagaimana yang dituturkan oleh Al-Baihaqy. Karena semua nash tentang persoalan ini berkaitan dengan dosa-dosa kaum kafir. Sementara dosa-dosa orang yang bukan kafir, yakni muslim yang maksiat, apakah masih ada orang yang menolak pendapat tentang keringanan siksaan yang akan diterima orang bukan kelompok kafir tersebut?

 Al-Qurthuby berpendapat, keringanan siksaan ini khusus bagi orang-orang yang bukan kelompok kaum kafir dan bukan orang-orang yang ditunjuk oleh nash. Sedangkan Ibnu al-Munir didalam kitab Hasyiyah-nya menyatakan, bahwa dalam masalah keringanan siksaan tersebut ada dua ketentuan : Pertama, kaum kafir yang sampai wafatnya tetap dalam kekafirannya mustahil akan mendapatkan keringanan siksaan disebabkan oleh perbuatan taat atau amal kebaikannya di dunia. Karena syarat diterimanya amal kebaikan adalah jika amal itu dilakukan dengan berlandaskan keimanan yang benar dan dikerjakan dalam rangka beribadah kepada Allah swt. Persyaratan inilah yang tidak dimiliki kaum kafir. Kedua, kaum kafir mungkin saja menerima pemberian hadiah dari Allah disebabkan sebagian amal kebaikannya.Namun hal ini tidak dapat dibayangkan dan tidak masuk akal. Kalaupun ini benar, maka sikap Abu Lahab yang memerdekakan budaknya, Tsuwaibah al-Aslamiyah, tidaklah dapat dikatakan sebagai amal  shaleh yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah swt.Boleh saja Allah swt memberikan anugerah-Nya kepada Abu Lahab sekehendak-Nya, sebagaimana anugerah yang diberikan-Nya kepada Abu Thalib.

Perlu juga kami tambahkan, bahwa terjadinya pemberian anugerah Allah swt tersebut adalah sebagai wujud penghormatan-Nya kepada kaum kafir yang melakukan amal kebajikan dan sejenisnya. Wallahu A’lam.  (Baca kitab Fathul Bary, juz 9, pada halaman 145).

Ibnu Katsir meriwayatkan Khabar di muka didalam kitabnya, Al-Bidayah wan Nihayah, kemudian memberikan komentar sehubungan dengan kisah pemerdekaan budak Tsuwaibah Al-Aslamiyah oleh Abu Lahab : “Tsuwaibah memberitahukan kepada Abu Lahab tentang lahirnya bayi Muhammad bin Abdullah, seorang anak dari saudara lelakinya. Dia merasa sangat gembira mendengar kabar tersebut, lalu dia memerdekakan budaknya itu.” (Hal ini jutga disebutkan didalam kitab As-Sirah an-Nabawiyyah, juz 1 pada halaman 224, karya Ibnu Katsir).

Al-Hafizh Abdurrahman bin ad-Diba’ asy-Syaibany, penulis kitab Taisirul Wushul, meriwayatkan kisah di atas didalam buku Sirah-nya, lalu memberikan komentar : “Aku tegaskan, bahwa keringanan siksaan bagi Abu Lahab adalah lebih disebabkan oleh penghormatannya terhadap kelahiran Nabi Muhammad saw, sebagaimana keringanan siksaan yang diberikan Allah swt kepada Abu Thalib. Keringanan tersebut bukan disebabkan usahanya memerdekakan budak Tsuwaibah, karena Allah swt berfirman:

وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ(16)

“… dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?”  (QS Huud,[11] : 16)

(Baca kitab Hadaiqul Anwar fis-Sirah, juz 1, halaman 134).

Seperti itulah “Ijmak” yang dikatakan oleh ‘Iyadh. Karena pada umumnya kaum kafir tidak akan mendapatkan fasilitas keringanan siksaan atas sebagian yang lain hanya disebabkan oleh amal perbuatan baiknya sewaktu hidup di dunia. Oleh karena itu, Allah swt menyediakan neraka jahanna, sebagai tempat hunia kaum kafir dan munafik.

Akan tetapi “Ijmak” tersebut ditolak, karena adanya nash yang shahih. Dengan demikian, suatu “Ijmak” dianggap tidak sah jika bertentangan dengan nash, seperti yang diketengahkan didalam kitab Ash-Shahih, bahwa Rasulullah saw pernah ditanya seorang sahabat : “Apakah engkau akan memberikan syafaat kepada Abu Thalib disebabkan usahanya melindungi engkau dari gangguan kaum kafir quraisy?”. Beliau saw bersabda : “Aku telah menemukan dia dalam kepedihan siksa api neraka, kemudian aku keluarkan dia (dari neraka yang terbawah) ke tempat permukaan neraka yang dangkal”. (Al-Hadis).

Yang dapat disimpulkan dari hadis di atas adalah bahwa Abu Thalib dapat mengambil manfaat dari usahanya melindungi Rasulullah saw dari gangguan kaum kafir quraisy. Atas usahanya itu, Rasulullah saw lalu mengentaskannya dari kepedihan siksaan di neraka yang terbawah untuk dipindahkan ke bagian neraka yang dangkal, yakni bagian permukaannya.

Keringanan siksaan yang diterima Abu Thalib tidak dapat dipungkiri kebenarannya. Hadis Nabi di atas sekaligus menunjukkan bahwa ayat 16 surat Hud di muka adalah bagi mereka yang tidak memiliki amal shaleh yang menyebabkannya mendapatkan keringanan siksaan. Demikian pula seperti yang dijelaskan didalam “Ijmak”. Hadis Nabi di atas menunjukkan suatu bukti bahwa Rasulullah saw, yang saat itu masih hidup, dapat mengentaskan Abu Thalib (yang tidak sempat masuk Islam) dari neraka yang terbawah menuju bagian permukaan neraka, dan juga akan memberikan syafaat kepada orang-orang yang mencintai dan melindunginya.

Orang yang berpendapat bahwa kabar berita yang bersumber dari mimpi tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau hukum, menunjukkan bahwa dia sebenarnya tidak dapat membedakan antara hukum syar’iyyah dan hukum lainnya.

Menurut pandangan hukum syar’iyyah, apakah kabar yang bersumber dari mimpinya Rasulullah saw itu boleh dibenarkan atau dapat diambil sebagai hukum, ataukah tidak boleh, adalah masih diperselisihkan oleh para ulama. Namun menurut pandangan selain hukum syar’iyyah , bahwa berpegangan pada kabar dari mimpi (khususnya dalam persoalan ini) adalah diperbolehkan secara mutlak.

Para imam Hadis membolehkan berpegangan pada kabar berasal dari mimpi seperti di atas. Mereka menuturkan riwayat tentang kabar dari mimpinya kaum kafir jahiliyah sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw yang memberitahukan tentang akan munculnya seorang Nabi Akhiz Zaman yang akan menghancurkan faham politeisme (serba tuhan, ajaran syirik) dan mereka tidak akan mampu mengalahkan Nabi itu.

Pendapat yang mengatakan, bahwa mimpinya Abbas itu tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau dalil untuk menetapkan suatu hukum dan bahkan pengkabarannya itu tidak diterima, adalah pendapat yang bukan berasal dari para Imam Hadis dan lainnya. Pendapat tersebut tiada lain kecuali sebagai bentuk intimidasi.

Demikian pula pendapat yang mengatakan, bahwa Sesungguhnya orang yang bermimpi (Abbas) lalu mengkabarkan mimpinya itu pada saat itu masih kafir, sementara orang kafir tidak boleh didengarkan kesaksiannya, adalah satu pendapat yang tidak benar dan sedikit pun tidak berdasarkan ilmu. Karena tidak seorang ulama pun yang mengatakan bahwa mimpi termasuk salah satu alat persaksian secara mutlak. Perisrtiwa mimpi hanyalah sekedar berita gembira dan bukan selainnya. Untuk itu, tidak disyaratkan adanya keagamaan dan keimanan seseorang dalam persoalan persaksian. Bahkan Allah swt sendiri menceritakan didalam Al-Qur’an tentang kemukjizatan Nabi Yusuf yang mampu menakbirkan mimpinya seorang Raja Mesir yang kafir dan tidak mengetahui ajaran agama samawi secara mutlak. Bersamaan dengan itu, Allah swt menjadikan mimpi Raja kafir tersebut sebagai satu dalil kebenaran tentang kenabian Nabi Yusuf. Seandainya keberadaan mimpi itu tidak menunjukkan suatu ajaran atau hukum, tentu Allah swt tidak akan menuturkan kisahnya didalam Al-Qur’an, apalagi mimpi itu dialami dan diceritakan oleh Raja Mesir yang kafir. Dalam persoalan yang serupa, tidak jarang kita menyaksikan para ulama menceritakan tentang beberapa orang kafir yang melihat Allah swt didalam mimpinya, kemudian Dia memberikan peringatan, nasehat dan teguran kepadanya.

Sungguh mengherankan suatu ucapan seseorang yang menyatakan bahwa Abbas bin Abdulmuthalib pada saat bermimpi tersebut adalah dalam keadaan kafir, sementara kesaksian orang kafir tidak dapat dan tidak boleh didengar kesaksian dan pengkabarannya. Pernyataan seperti itu menununjukkan ketidaktahuannya tentang ilmu hadis. Didalam ilmu Musthalahul Hadis dirumuskan, bahwa para sahabat dan selainnya (Tabiin, tabiu’ut-tabi’in) yang sewaktu kafirnya mereka “memiliki” suatu Hadis Nabi,  kemudian diriwayatkannya setelah mereka masuk Islam, maka periwayatannya itu boleh daiambil atau diterima, dan boleh mengamalkan hadis tersebut.


==============================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)