Selasa, 18 Maret 2014

PYPD - 5. Nilai Lebih Status Kemakhlukan Rosululloh SAW


Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki

Mengenai kedudukan rasulullah saw, kita berkeyakinan bahwa beliau saw adalah seorang manusia. Apa yang berlaku bagi manusia, juga berlaku bagi beliau, seperti bekerja mencari harta, tertimpa suatu penyakit yang tidak mengurangi derajat dan kedudukan kenabiannya, makan,  minum, berkeluarga dan lain-lain.

Beliau saw adalah seorang hamba Allah swt yang tidak memiliki hak untuk memberi syafaat, menolak madharat dan mendatangkan manfaat, memberi hidup dan mati serta membangkitkan dari kematian, kecuali apa yang dikehendaki Allah swt. Allah swt berfirman  

قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfa`atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman". (QS Al-A’raf,[7]:188)

 Rasulullah saw telah menunaikah Risalahnya, menyampaikan amanat, menasehati umatnya, menghilangkan kesusahan dan berjihad fi sabilillah sampai ajal menjemput beliau, kemudian berpindah kehidupan di sisi Allah swt dalam keadaan puas, tenang dan diridhai. Allah swt berfirman :

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ (سورة الزمر)

Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka ak0an mati (pula).” (QS Az-Zumar, [39] : 30).

 

KEHAMBAAN  merupakan sifat termulia beliau saw. Beliau lebih bangga menyebut dirinya sebagai seorang hamba sebagaimana sabdanya, “إِنــَّـمَـا اَنــَـا عَـبـْـدٌ   : "Saya hanyalah seorang hamba”).

Dan Allah swt sendiri menempatkan kehambaan beliau pada kedudukan yang tinggi, sebagaimana yang disinggung dalam QS Al-Isra’,[17] : 1

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ (سورة الاسراء)

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya

Dan juga pada surat al-Jin,[72] : 19
وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ كَادُوا يَكُونُونَ عَلَيْهِ لِبَدًا

Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadat), hampir saja jin-jin itu desak mendesak mengerumuninya.”

KEMANUSIAAN Nabi Muhammad saw adalah satu unsur yang sangat mengagumkan, oleh karena beliau adalah seorang  BASYAR  (manusia), artinya  dari jenis manusia. Akan tetapi beliau saw memiliki nilai lebih, yakni berbeda dengan manusia pada umumnya disebabkan adanya sesuatu yang tidak dimiliki seorang pun diantara mereka. Beliau saw menuturkan mengenai pribadinya : “Sesungguhnya aku tidak seperti keadaan kalian. Aku bernaung di sisi Tuhanku yang telah memberiku makan dan minum”.
Dari sabda beliau di atas menjadi jelaslah bahwa sifat kemanusiaan beliau meniscayakan adanya suatu sifat khas yang membedakannya dengan manusia-manusia lain pada umumnya, seperti adanya beberapa keistimewaan yang hanya dimiliki beliau sendiri,  di samping karakter dan sifat terpuji lainnya yang sebenarnya secara umum juga dimiliki oleh para Nabi dan Rasul, supaya kita secara proporsional memandang mereka sesuai dengan kedudukannya yang mulia, yakni sebagai hamba Utusan Allah swt.
 Sementara itu, kaum musyrikin jahiliyah berpandangan bahwa para Nabi dan Rasul itu semata-mata  sama seperti manusia pada umumnya dan tidak memiliki perbedaan dan keistimewaan sama sekali. Pandangan mereka ini diabadikan Allah swt dalam Al-Qur’an surat Al-Mukminun,[23] : 47 yang menjelaskan pandangan kaumnya Nabi Musa dan Harun terhadap dirinya; QS Hud,[11] : 28 yang berisi pandangan kaumnya Nuh tentang dirinya; QS Asy-Syu’ara’,[26] : 154  menjelaskan pandangan kaum Tsamud tentang diri Nabi Shaleh as, dan QS Asy-Syu’ara’,[26] : 186 menjelaskan pandangan penduduk Aikah terhada[ diri Nabi Syu’aib as,

وَمَا أَنْتَ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُنَا وَإِنْ نَظُنُّكَ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ

Dan kamu tidak lain melainkan seorang manusia seperti kami, dan sesungguhnya kami yakin bahwa kamu benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta.”

 Bahkan kaum kafir quraisy Makkah pun memandang Nabi Muhammad saw  sebagai manusia pada umumnya, seperti yang disinggung dalam QS Al-Furqan,[25] : 7

وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ

Dan mereka berkata: "Mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?”.

Rasulullah saw pernah berbicara mengenai dirinya sendiri secara jujur dalam beberapa hadisnya. Misalnya mengenai keagungan sifat, karakter dan kemukjizatan atau khawariqul ‘adat (Kejadian luar biasa di luar kemampuan manusia pada umumnya) yang Allah swt karuniakan kepada beliau. Di antara “Khawariqul ‘Adat  atau kemukjizatan beliau adalah seperti yang beliau katakan sendiri :
 تَنَامُ عَيْنَايَّ وَ لاَ يَنَأمُ قَلْبِيْ
“Kedua mataku tidur, tetapi hatiku tidak tidur” (Hadis shahih).

إِنِّيْ أراكم مِن وراء ظَهري , كما أراكم مِن أمامي

“Sesungguhnya aku dapat melihat kalian dari arah belakangku, seperti aku melihatmu dari arah mukaku” (Hadis shahih).

أُوْتِيْتُ مَفَاتِيْحَ خَزَائِنِ الْأَرْضِ
Aku telah dibukakan berbagai kunci (pengetahuan) pembuka perbendaharaan bumi” (Hadis shahih). Dan masih banyak hadis yang lain.

Meskipun telah wafat, beliau saw masih tetap hidup, yakni hidup di alam barzah secara sempurna, di mana beliau saw dapat bercakap-cakap, mengembalikan ucapan salam dan shalawat dari umatnya. Amal perbuatan umatnya dihaturkan Allah swt kepada beliau, sehingga beliau dapat merasa senang dengan amal mereka, dan memohonkan ampunan bagi umatnya yang berbuat dosa. Selain itu, Allah swt mengharamkan tanah untuk merusakkan jasad beliau, sehingga jasadnya dalam keadaan tetap utuh dan terpelihara dari wabah atau kerusakan yang ditimbulkan oleh tanah.  
Hadis dari Aus bin Aus ra menjelaskan bahwa Rasulullah saw bersabda, 

مِنْ أَفضَل أيَّامِكُمْ يومُ الْجُمُعَة :  فيه خُلِقَ آدمُ,  وفيه  قُبِض, وفيه النفخةُ,  وفيه الصعقة.  فَأَكثِروا عليّ من الصلاة فيه,  فإِنَّ صلاتَكم معروضة عليَّ.  قالوا :  يا رسول الله!  وكيف تُعْرَضُ صلاتُنا  عليك وقد أرمت يعني بليت؟   فقال :  إنّ الله عزّ وجلّ حرّم على الأرض أن تأكل أجساد الْأنبياء   

Hari-harimu yang paling utama adalah hari jumat. Pada hari itu, Nabi Adam dihidupkan dan diwafatkan. Pada hari itu, sangkakala ditiup  dan seluruh umat manusia dimatikan. Oleh karena itu, perbanyaklah kalian bershalawat, karena shalawatmu itu akan dihaturkan Allah swt kepadaku”. Para sahabat bertanya, “Bagaimana mungkin bacaan shalawat kami akan dihaturkan  Allah swt kepada engkau, sementara tubuh engkau hancur dirusakkan tanah?”. Beliau saw bersabda, “Sesungguhnya  Allah swt mengharamkan bumi merusakkan jasad para Nabi”.(HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban, Ibnu Majah dan Al-Hakim).

Al-Hafizh Imam Jalalududin as-Suyuthy menulis sebuah ”Risalah” yang secara khusus menguraikan persoalan tersebut dengan judul “Inbaaul Adzkiya’”.
Riwayat dari Ibnu Mas’ud Rasulullah saw menjelaskan bahwa Rasulullah saw bersabda : 

حياتي خير لكم تحدّثون و يحدّث لكم فَإِذَا أنا مُتُّ كانت وفاتِي خيرا لكم تعرض عليَّ أعمالكم,  فإن رأيتُ خيرا حَمِدْتُ اللَّهَ,  وَإن رأيت شرًّا استغفَرْتُ لكم 

Hidupku adalah lebih baik bagimu, di mana kamu dapat berbicara dengaku dan aku pun dapat berbicara denganmu. Pada waktu sudah wafat, wafatku pun lebih baik bagimu, di mana amal-amal perbuatanmu akan dihaturkan Allah swt kepadaku. Jika amalmu tersebut aku lihat baik, maka aku merasa senang dan memuji Allah swt, dan jika aku lihat jelek, maka aku akan memohonkan ampunan untukmu”. (HR Al-Bazzar. Para rawy-nya adalah para Rawy hadis shahih)

Rasulullah saw bersabda:
مَا مِن أحدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ  إِلَّا رَدَّ اللَّهُ عَلَيَّ رُوْحِي حَتَّى أَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلامَ

Tiada seorang muslim pun yang telah mengucapkan salam kepadaku, melainkan Allah swt akan mengembalikan ruhku kepada jasadku, sehingga aku dapat mengembalikan salam itu kepadanya” (HR Ahmad dan Abu Dawud, dari Abu Hurairah Rasulullah saw).

Rasulullah saw bersabda, 

إِنَّ اللَّهَ وكل بِقَبْرِي مَلَكًا أعطاه اللَّهُ أسماء الخلائق,  فلا يُصلّي عليّ أحدٌ إلى يوم القيامة إلاّ أبلغني بِاسْمه وَاسْم أبِيْه, هـذا فلان بن فلا ن قَدْ صلَّى عليك 
Sesungguhnya Allah swt menugaskan seorang malaikat di atas kuburanku, dengan membawa catatan daftar nama semua makhluk (manusia dan jin). Tiada seorang pun di antara mereka yang membaca shalawat untukku sampai hari kiamat nanti, melainkan malaikat itu menyampaikan shalawat tersebut kepadaku dengan menyebutkan nama pembacanya beserta ayahnya, “Si Fulan bin Fulan telah membaca shalawat kepadamu”. (HR Al-Bazzar, dari Ammar bin Yasir ra). 

Sementara hadis lain yang dituturkan oleh At-Thabrany menjelaskan sabda beliau saw, 

إِنَّ لِلَّهِ  تبارك وتعالى مَلَكًا أعطاه اللَّهُ أسماء الخلائق فهوقائمٌ على قَبْرِي  إذا مُتُّ,   فليس احدٌ يُصلّي عليّ  إلاّ قال : يا محمّد, صلّى عليكَ فلان بن فلا ن,  قال :     فيصلّي الربّ تبارك وتعالى على ذالك الرجلِ بكلّ واحدةٍ  عشْرًا
Sesungguhnya Allah swt memiliki seorang malaikat yang diberi-Nya daftar nama-nama semua makhluk dan bertugas di atas kuburanku jika aku nanti wafat. Tidak seorang pun yang membaca shalawat kepadaku, melainkan malaikat itu berkata kepadaku,Hai Muhammad ! Si Fulan bin fulan bershalawat kepadamu”. Selanjutnya Allah swt membalas shalawat (memberi rahmat) kepada pembacanya sepuluh kali lipat dari setiap bacaan shalawatnya”.

Meskipun Rasulullah saw  telah wafat, namun keutamaan, kedudukan dan pangkat derajatnya di sisi Allah swt masih tetap, dan tidak dapat disangkal atau diragukan oleh setiap orang yang beriman. Oleh karenanya, bertawassul  kepada Allah swt dengan perantaraan beliau saw, pada hakekatnya, hanyalah akan berpulang kepada keyakinan tentang keberadaan makna tawassul tersebut serta keyakinannya tentang kecintaan dan kemuliaan beliau saw di sisi Allah swt, dan juga berpulang kepada keimanannya terhadap diri beliau beserta risalah yang beliau bawa.
TAWASSUL tidak dapat diartikan sebagai bentuk penyembahan kepada beliau saw, bahkan merupakan wujud pengakuan terhadap betapa agungnya derajat dan posisi beliau di sisi Allah swt. Beliau saw adalah seorang makhluk yang tidak dapat mendatangkan bahaya dan manfaat selain apa yang dikehendaki dan diizinkan Allah swt.

Allah swt berfirman :

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ

“Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa".  (QS Al-Kahfi, 18 : 110)


PYPD - 6. Menyerupai Perbuatan Khas Ketuhanan Tidak Otomatis Menjadi Syirik






Sebagian orang salah paham dalam memandang beberapa persoalan yang “musytarakah”, mengandung pengertian ganda, yakni seolah-olah mempersekutukan dua kedudukan – “Khaliq” dan “Makhluk” – dalam satu perbuatan/sifat, lalu mereka menyangkanya bahwa menghubungkan persoalan tersebut kepada posisi “makhluk” adalah perbuatan syirik. Di antaranya adalah beberapa persoalan mengenai kekhususan sifat kenabian yang mereka salah pahami, oleh karena diukur dengan ukuran akal pikiran manusia, lalu mereka menganggap bahwa kekhususan sifat tersebut merupakan suatu usaha pengkultusan atau pengagungan terhadap pribadi Rasulullah saw. Mensifat Rasulullah saw dengan sifat khas tersebut sama artinya dengan mensifat beliau dengan sifat-sifat Uluhiyyah (Ketuhanan).

 

Anggapan tersebut menunjukkan kebodohannya, karena Allah swt berkehendak memberi sesuatu sifat kekhususan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, lagi pula pemberian-Nya ini bukan suatu keharusan bagi-Nya. Misalnya Dia menganugerahkan kemuliaan, mengangkat derajat, dan memberi kelebihan kepada siapa saja yang dikehendaki di atas orang lain. Pemberian-Nya ini tidak sampai merampas  Hak-hak dan sifat-sifat ketuhanan-Nya, yakni suatu sifat yang hanya pantas untuk posisi Allah swt sebagai Tuhan. Jika ada makhluk yang dilekati dengan sebagian sifat Uluhiyyah tersebut, sesuai dengan kondisi kemanusiaannya yang terbatas itu, maka sifat yang diberikan-Nya tersebut adalah atas dasar izin, anugerah dan kehendak-Nya semata, bukan semata-mata disebabkan oleh atau timbul dari kekuatan, potensi, usaha atau kehendak manusia itu sendiri. Untuk dirinya saja ia tidak mampu menolak sesuatu bahaya, mendatangkan manfaat, menolak kematian, membuat dirinya hidup, dan sifat-sifat uluhiyyah lain yang sebenarnya hanya layak dimiliki Allah swt.

 

Memang banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis nabawi yang menjelaskan bahwa persoalan mengenai sifat-sifat uluhiyyah merupakan Hak Mutlak Allah swt. Namun Allah swt memberikan “hak”-Nya itu  kepada Rasulullah saw dan orang-orang selainnya. Pada saat itu beliau tidak otomatis naik pangkat menempati posisi “Khalik” , atau menjadikan dirinya sebagai “sekutu”  bagi Allah swt.

 

Di antara persoalan-persoalan tersebut misalnya :   

          

1. Syafaat.

Syafaat merupakan Hak Allah swt, sebagaimana yang disinggung dalam QS Az-Zumar,[39] : 44

قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا

     “Katakanlah: "Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya.”

 

Hak memberikan syafaat juga ada pada Rasulullah saw dan selain beliau dengan seizin Allah swt, sebagaimana sabda beliau saw sendiri, “Aku didatangkan untuk memberikan syafaat”, “Aku adalah orang yang pertama memberikan syafaat dan yang memohonkan syafaat”.

 

2. Pengetahuan tentang yang ghaib

Pengetahuan tentang yang ghaib merupakan Hak Allah swt, namun di sisi lain, Dia juga memberitahukan sesuatu yang ghaib  kepada para Nabi-Nya. Allah swt befirman,

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ

“Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah" (QS An-Naml, [27] : 65)

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ
“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya,” (QS al-Jinn,[72] : 26-27).

 

3. Hidayah

Hidayah merupakan Hak Allah swt, tetapi Rasulullah saw juga diberi hak untuk memberi “hidayah”, sebagaimana firman-Nya:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya,” (QS Al-Qashash,[28] : 56)
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS Asy-Syura,[42] : 52).

Hidayah yang disebutkan dalam QS Al-Qashash : 56 di atas tidak sama dengan “hidayah” yang tersebut dalam ayat 52 QS As-Syura. Persoalan ini hanya akan dapat dipahami oleh kaum mukmin yang berakal sehat saja, yang mengetahui perbedaan posisi “Khalik” dan “Makhluk”. Sekiranya tidak demikian, tentu ayat yang kedua tersebut akan berbunyi :
إِنَّكَ لاَ تـَهَدِى هِدَايَةَ اِرْشَادٍ
“Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk berupa bimbingan”. 

 

Atau akan berbunyi :

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي هِدَايَةَ غَيْرِ هِدَايَتِنَا

 Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk selain petunjuk yang Kami berikan”.

 

Akan tetapi, kedua  hal tersebut tidak ditemukan dalam Al-Qur’an. Bahkan Allah swt menetapkan hak memberikan hidayah kepada Nabi saw secara mutlak tanpa disertai batasan dan persyaratan khusus, disebabkan kaum muslimin sudah memahami makna kandungan ayat 52 QS Asy-Syura tersebut dan mengerti tentang perbedaan  maksud lafazh tersebut dalam kaitannya dengan posisi Allah swt sebagai "Khalik" dan Nabi Muhammad saw sebagai "makhluk".

 

4. Sifat “Ro-uufun Rohiim”

Persoalan yang sama juga ditunjukkan oleh Al-Qur'an yang mensifati Rasulullah saw dengan “Ra-uufur Rahiim (رَءُوفٌ رَحــيمٌ =  : yang sangat berbelaskasihan lagi sangat penyayang), sebagaimana yang disebutkan dalam QS At-Taubah,[9] : 128 ,

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
 “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu'min.”

Sementara itu, Allah swt juga memberi sifat kepada diri-Nya sendiri dengan “Ra-uufur Rahiim” ( رَءُوفٌ رَحــيمٌ = Yang Maha Belas kasihan lagi Maha Penyayang) di dalam beberapa ayat Al-Qur’an seperti dalam QS At-Taubah,[9]: 117;  QS An-Nahl,[16] : 7 dan 47;  QS Al-Hajj,[22] : 65;  QS An-Nur,[24] : 20;  QS Al-Hadid,[57] : 9;  dan QS Al-Hasyr,[59] : 10.وَإِنَّ اللَّهَ بِكُمْ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌDan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Penyantun lagi Maha Penyayang terhadapmu.” (QS Al-Hadid,[57] : 9).


Perlu diketahui bahwa sifat “Ra-uufur Rahiim” yang diberikan Allah swt kepada Rasulullah saw (QS At-Taubah,[9]:128), sangat berbeda dengan sifat “Ra-uufur Rahiim” bagi Allah swt (QS Al-Hadid,[57] : 9, dan surat-surat lainnya). Ketika Allah swt mensifati Rasulullah saw secara mutlak dan tanpa adanya pembatasan atau syarat dengan sifat di atas (QS At-Taubah,[9] : 128), karena ketika itu kaum muslimin dipandang telah mengetahui perbedaan antara posisi Allah swt sebagai Khalik  dan posisi Rasulullah saw sebagai makhluk. Seandainya mereka tidak mengetahuinya atau dikhawatirkan tidak mengetahui kedua posisi tersebut, tentu firman Allah swt akan berbunyi:

بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ  بِرَأْفَةِ غَيْرِ رَأْفَتِنَا, وَ رَحِيمٌ بِرَحْمَةِ غَيْرِ رَحْمَتِنَا

“… Bilmukminiina Ra-uufun bi ra’fati ghairi ra’fatinaa, wa Rahiimun bi rahmati ghairi rahmatinaa” ( … terhadap kaum beriman, dia [Muhamad] itu amat berbelaskasihan dengan belas kasihan selain sifat Belas Kasihan yang Kami miliki, dan amat penyayang dengan kasih sayang selain sifat Kasih Sayang  yang Kami miliki).

 

Atau firman Allah swt tersebut akan berbunyi :

 بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ  بِرَأْفَةٍ خَاصَّةٍ وَ رَحِيمٌ بِرَحْمَةٍ خَاصَّةٍ

Bilmukminiina Ra-uufun bi ra’fatin khaash-shatin, wa Rahiimun bi rahmatin khaash-shatin” (… terhadap kaum beriman, dia [Muhamad] itu amat berbelaskasihan dengan sifat belas kasihan yang khas, dan amat penyayang dengan kasih sayang yang khas ).

 

Atau akan berbunyi :

بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ  بِرَأْفَةٍ بَشَرِيَّةٍ وَ رَحِيمٌ بِرَحْمَةٍ بَشَرِيَّةٍ

Bilmukminiina Ra-uufun bi ra’fatin basyariyyatin, wa Rahiimun bi rahmatin basyariyyatin” (… terhadap kaum beriman, dia [Muhamad] itu amat berbelaskasihan dengan sifat belas kasihan yang manusiawi, dan amat penyayang dengan kasih sayang yang manusiawi).

 

Akan tetapi semua hal itu tidak ditemukan dalam salah satu ayat-ayat Al-Qur’an, bahkan Allah swt menetapkan untuk diri Rasulullah saw dengan sifatرَءُوفٌ رَحــيمٌ”, Ra-uufur Rahiim secara mutlak, tanpa pembatasan dan syarat tertentu sebagaimana tersebut dalam QS At-Taubah.[9] : 128 di atas