Kamis, 20 Juni 2013

PYPD - 20. Aneka Ragam Bentuk Tawassul



Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki

1. Tawassul dengan petilasan/barang peninggalan Rasulullah saw
Tidak perlu diragukan bahwa para sahabat Nabi banyak yang bertabarruk dengan petilasan dan bekas-bekas peninggalan Rasulullah saw. Tabarruk merupakan suatu istilah yang hanya memiliki satu makna atau pengertian, yakni bertawassul kepada Allah swt dengan perantaraan barang-barang bekas peninggalan Rasulullah saw. Hal ini disebabkan bahwa Tawassul dapat diterapkan pada banyak segi atau cara, bukan pada satu segi atau satu cara saja. Dengan kata lain bahwa salah satu diantara berbagai cara bertawassul adalah dilakukan dengan cara bertabarruk.
Apakah Anda telah melihat bahwa para sahabat itu bertawassul dengan benda peninggalan Rasulullah saw , dan bukan bertawassul dengan diri pribadi beliau ?
Apakah sah bertawassul dengan hal-hal yang bersifat “furu’” (cabang), dan bukan dengan hal-hal yang bersifat “ushul” (prinsip, pokok) ?
Apakah sah bertawassul dengan benda-benda bekas peninggalan Rasulullah saw, yang pada kenyataannya benda-benda tersebut tidak memiliki suatu kemuliaan dan keagungan melainkan lebih disebabkan oleh kelebihan dan kewibawaan pemiliknya, yakni Nabi Muhammad saw  ? Sehingga tidak sedikit ada orang yang mengatakan bahwa bertawassul dengan benda-benda bekas peninggalan tersebut adalah tidak sah. Sub-hanaka, hadza buhtanun ‘azhim.
Nash-nash Al-Qur’an dan hadis Nabawi yang berkaitan dengan persoalan ini sangat banyak. Di sini kami hanya memprioritaskan alasan yang penting dan terkenal saja. Di antaranya:
Amirul Mukminin Umar bin Khatthab ra sangat berkeinginan untuk dimakamkan di samping makam Rasulullah saw beberapa saat menjelang wafatnya. Karenanya, ia mengutus putranya, Abdullah bin Umar, untuk menemui dan meminta ijin kepada ‘Aisyah ra, kiranya ia memperkenankan ayahnya dikubur di samping makam Rasulullah saw. Ternyata ‘Aisyah ra sendiri juga menginginkan dirinya dikibur di situ, sebagaimana jawabannya terhadap permintaan Umar yang disampaikan oleh putranya : “Aku sendiri juga menginginkan dikubur disitu. Aku tentu lebih mengutamakan diriku sendiri”. Abdullah bin Umar lantas pergi dan menceritakan hal itu kepada ayahnya. Umar bin Khatthab ra berkata, “Alhamdulillah. Tiada sesuatu  yang lebih penting bagiku selain keinginanku untuk dikubur di samping makam Rasulullah saw”. Cerita secara rinci dijelaskan didalam kitab Shahih Bukhary.
Yang menjadi permasalahan di sini adalah, apa sebenarnya makna di balik keinginan yang begitu besar pada diri Umar dan ‘Aisyah ?Kenapa penguburan di samping Rasulullah saw dipandang lebih penting dan lebih disukai Umar ? Tiada  penafsiran lain dari kejadian ini selain usaha tawassul kepada Allah swt dengan perantaraan Rasulullah saw setelah wafatnya untuk mendapatkan keberkahan dari kedekatan makamnya dengan makam beliau saw.
2. Ummu Sulaim ra diceritakan pernah memotong mulut geriba (kantong air dari kulit kambing) yang digunakan sebagai wadah air minum Rasulullah saw . Anas ra mengatakan bahwa  perbuatan yang demikian itu dilakukan ibunya di hadapannya sendiri.
3. Banyak di antara para sahabat Nabi yang saling berebutan untuk mengambil rambut beliau saw yang jatuh sewaktu bercukur.
4. Asma’ binti Abu Bakar ra menyimpan, memelihara dan menjaga baju jubah Rasulullah saw . Ia berkata, “Kami mencucinya dan sisa air cuciannya dipakai untuk obat bagi orang yang sakit”.
5. Demikian pula benda bekas peninggalan Rasulullah saw yang berupa cincin. Setelah beliau saw wafat, cincin itu disimpan oleh Abu Bakar ra, lalu Umar ra, lalu Usman ra. Kemudian cincin itu jatuh kedalam sumur sewaktu dalam pemeliharaan Usman ra.
Masing-masing hadis di atas  sangat kuat dan shahih, sebagaimana hal ini akan kami jelaskan di belakang sewaktu menjelaskan persoalan Tabarruk. Yang menjadi permasalahan di sini adalah, untuk apa dan sebab apa para sahabat sangat antusias memelihara benda-benda peninggalan Rasulullah saw seperti geriba yang terkena sentuhan mulut beliau, rambut, keringat, baju jubah, cincin, tempat shalat dan lain-lain? Apa tujuan mereka melakukan ini semua? Apakah hanya sekedar sebagai barang kenangan, ataukah untuk keperluan koleksi musium? Kalau tujuannya adalah untuk kenang-kenangan, kenapa mereka sangat antusias dan sangat besar perhatiannya pada benda tersebut untuk dijadikan sebagai sarana atau perantara tawassul didalam berdoa, bertawassul dan bertawajjuh kepada Allah swt sewaktu mengalami kesulitan, musibah, tertimpa penyakit  dan balak? Namun jika tujuannya untuk koleksi musium, lalu di mana musiumnya dan dari mana datangnya pemikiran bid’ah semacam ini? Sub-hanaka hadza buhtanun ‘azhim.
Ringkas kata, bertabarruk dengan benda-benda bekas peninggalan Rasulullah saw merupakan suatu usaha tawassul kepada Allah swt dalam berdoa. Bukan bertujuan untuk meminta keberkahan dari benda yang bersangkutan. Karena hanya Allah swt semata yang sebenarnya mampu dan berkuasa memberikan keberkahan tersebut dan hanya Dia yang berhak mengabulkan permohonan hamba-hamba-Nya. Sedangkan semua benda-benda peninggalan tersebut hanyalah sebagai makhluk yang berada didalam kekuasaan-Nya, tiada satu pun yang mampu mengurusi, mengatur dan menguasai  sesuatu untuk dirinya sendiri, apalagi untuk menolong orang lain, kecuali atas izin Allah swt.


2. Tawassul dengan benda peninggalan para Nabi
Allah swt berfirman didalam surat Al-Baqarah [2] : 248
 
  وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ ءَايَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ ءَالُ مُوسَى وَءَالُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ(248)
Dan Nabi mereka (Nabi Samuel) berkata kepada mereka (Bani Israil): ‘Sesungguhnya tanda ia (Thalut) akan menjadi seorang Raja ialah kembalinya Tabut kepadamu, didalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sebagai bekas peninggalan keluarga Nabi Musa dan keluarga Nabi Harun. Tabut itu dibawa oleh malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman”.

Al-Hafizh Ibnu Katsir menuturkan didalam buku At-Tarikh : “Ibnu Jarir menceritakan tentang sejarah Tabut, bahwa tabut yang tersimpan di dalam Qubah zaman ini selalu dibawa kaum Bani Israil setiap kali memerangi musuh-musuhnya. Mereka mendapatkan kemenengan dari Allah swt  karena keberkahan Tabut, dan karena adanya ketenangan dan benda bekas peninggalan Nabi Musa dan Harun yang tersimpan didalamnya. Sewaktu mereka berperang melawan penduduk Ghazwah dan Asqalan, mereka kalah, lalu tabut mereka berhasil dirampas dan jatuh ke tangan musuh.
Ibnu Katsir mengatakan, bahwa berkat adanya tabut itu. Mereka selalu menang dalam setiap pertempurannya. Tabut tersebut berisi baskom (bak cuci tangan)yang terbuat dari emas. Konon didalam baskom itulah hati para Nabi (dari kalangan bani Isaril) dibersihkan. (Buku Al-Bidayah, juz 2; hal. 8)
Ibnu Katsir pada kesempatan lain menjelaskan didalam Tafsir-nya, bahwa Tabut tersebut berisi tongkatnya Nabi Musa dan Nabi Harun, dua lembar lempengan yang berisi kitab Taurat, serta baju Nabi Harun. Di antara para ulama ada yang mengatakan bahwa isi Tabut adalah berupa tongkat dan dua sandal. (Tafsir Ibnu Katsir, juz 1; hal. 313)
Imam al-Qurthuby mengatakan bahwa Tabut merupakan urusan Allah swt. Pada mulanya Tabut itu diturunkan kepada Nabi Adam as, lalu diwariskan kepada anak keturunannya sampai ke tangan Nabi Ya’qub as, kemudian diwariskan lagi kepada anak keturunannya, yakni Bani Israil. Selama dalam penguasaan Bani Israil, mereka berhasil mengalahkan musuh-musuhnya, sampai pada suatu hari mereka bermaksiat dan menentang syariat para Nabi-nya, lalu Allah swt mencabut nikmat dari mereka sehingga mereka kalah berperang sewaktu melawan bangsa Amaliqah, yang menyebabkan Tabut dirampas musuh dari tangan mereka. (Tafsir Al-Qurthuby, juz 3; hal. 247)
  Pada hakekatnya cerita ini tiada lain merupakan contoh bertawassul dengan benda-benda peninggalan para Nabi. Karena mereka memanfaatkan Tabut dalam setiap pertempurannya, tiada lain tujuannya, adalah sebagai sarana bertawassul kepada Allah swt agar mendapatkan kemenangan.  Dan Allah swt pun meridhai apa yang mereka lakukan, disertai bukti dengan dikembalikannya Tabut tersebut kepada mereka setelah puluhan tahun dirampas musuh, sekaligus dijadikan sebagai tanda pengesahan atau pelantikan Thalut sebagai “raja” mereka. Ternyata perbuatan dan perilaku mereka itu tidak diingkari Allah swt.


3. Tawassul Rasulullah saw dengan Hak-nya para Nabi dan kaum Shalihin
Didalam buku Manaqib Fathimah binti Asad (Biografi Fathimah bin Asad, Ibunda sayyidina Ali ra) diceritakan, bahwa pada saat Fathimah binti Asad wafat, Rasulullah saw menggali dan mengambili tanah calon makam dengan tangannya sendiri. Selesai itu beliau merebahkan diri didalamnya, lalu membaca doa :
 
الله الّذي يحيي و يميت, و هو حيُّ لا يموت. إغفر لامّي, فاطمة بنت أسد, و لقّنها حجّها و وسّع عليه مدخلها, بحقّ نبيّك و الانبياء الّذين من قبلي. فاءنّك أرحم الرّاحمين.
 Allah-lah Yang menghidupkan dan yang mematikan. Dia Maha Hidup yang tidak pernah mati. Ampunilah, Ya Allah, dosa-dosa ibuku, Fathimah binti Asad. Ajarilah ia dan tuntunlah hujjahnya (alasan dan jawaban dari pertanyaan malaikat kubur), luaskanlah ruang kuburnya, dengan perantaraan Hak-nya Nabi-Mu dan para Nabi yang datang sebelumku, karena Engkaulah sebaik-baik Dzat Yang Maha Pengasih dari sekalian yang pengasih”.

Selanjutnya beliau saw menshalati jenazahnya, kemudian memasukkannya kedalam liang lahad dengan dibantu oleh Abbas dan Abu Bakar ra. (HR at-Thabrany dalam kitab Al-Kabir dan Al-Ausath. Salah seorang perawi yang bernama Rauh bin Shalih dinilai Tsiqah oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim. Namun ada seorang perawi yang dinilainya lemah, akan tetapi para perawi lainnya adalah para perawi hadis-hadis shahih. Demikianlah yang tersebut didalam buku Majma’ al-Zawaid, juz 9; hal. 257).
Beberapa ulama hadis berselisih faham tentang perawi yang bernama Rauh bin Shalih. Akan tetapi Ibnu Hibban menilainya Tsiqah, sedangkan Al-Hakim menilainya Tsiqah Makmun. Dan keduanya menilai hadis di atas shahih. Demikian pula al-Haitsamy dalam kitab Majma’ al-Zawaid menyatakan bahwa para perawi hadis di atas adalah para perawi hadis shahih. Juga Ibnu Abdilbarr pernah meriwayatkannya dari jalan Ibnu Abbas ra. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkannya dari jalan sahabat Jabir ra. Demikian juga ad-Dailamy dan Abu Na’im. Hadis tersebut diriwayatkan berdasarkan sumber dan jalan yang beragam, yang saling kuat menguatkan kebenaran isinya.


4. Tawassulnya Rasulullah saw dengan Hak-nya orang yang memohon
Hadis dari Abu Sa’id al-Hudhry menyatakan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat, lalu ia berdoa:
 
أَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ عَلَيْكَ, وَ بِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا, فَإِنِّي لَمْ أَخْرُجْ أَشَرًّا وَ لَا بَطَرًا وَ لَا رِيَاءً وَ لَا سُمْعَةً, خَرَجْتُ اتِّقَاءَ سَخَطِكَ وَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ, فَأَسْأَلُكَ أَنْ تُعِيْذَنِي مِنَ النَّارِ وَ أَنْ تَغْفِرَ لِي ذُنُوْبِي, إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا أَنْتَ
Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan perantaraan hak-nya orang-orang yang meminta (berdoa) kepada-Mu, dan dengan perantaraan hak-nya perjalananku ini. Aku keluar tidak karena untuk kesombongan, pembangkangan, pamer dan mencari ketenaran (popularitas). Aku keluar dari rumah adalah karena takut terhadap kebencian-Mu dan karena mencari ridha-Mu. Karena itu, aku memohon kepada-Mu, kiranya Engkau berkenan melindungiku dari siksa api neraka dan mengampuni dosa-dosaku. Karena tiada yang dapat mengampuni dosa-dosa tersebut selain Engkau”.

Dengan bacaan doa tersebut, maka Allah swt sendiri yang akan menerima doanya dan 70000 (tujuh puluh ribu) malaikat akan memohonkan ampunan untuknya”
Al-Mundziry dalam kitab At-Targhib wat Tarhib juz 3, pada halaman 19 menyatakan, bahwa hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah disertai dengan catatan mengenai isnad-nya. Sementara al-Hafizh Abul Hasan menilainya sebagai hadis hasan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar didalam kitab Nataij al-Afkar, juz 1; hal. 272 menyatakan, “Hadis ini hasan yang ditakhrij oleh imam Ahmad bin Hambal dan Ibnu Huzaimah dalam kitab At-Tauhid, dan juga oleh Abu Na’im dan as-Sinny.
Al-‘Iraqy dalam kitab Takhrij Ahadits al-Ihya’, juz 1; hal. 323, menilai hadis di atas sebagai hadis hasan.
Al-Hafizh Al-Bushiry dalam kitab Zawaid Ibnu Majah al-musamma bi-Misbah az-Zujajah, juz 1; hal. 98, mengatakan: “Ibnu Huzaimah meriwayatkannya dalam kitab Shahih-nya.
Al-Hafizh Syarafuddin ad-Dimyathy dalam kitab Al-Muttajir ar-Rabih pada halaman 471 berkomentar bahwa isnadnya hasan. Insya Allah.
Sementara itu, Al-‘Allamah al-Muhaqqiq al-Muhaddits as-Sayyid Ali bin Yahya al-‘Alawy dalam kitab Risalah-nya yang indah yang berjudul Hidayatul Mutakhabbithin menuturkan bahwa al-Hafizh Abdul Ghany al-Maqdisy mengklasifikasikan hadis tersebut kedalam hadis hasan dan telah disetujui oleh Ibnu Abi Hatim.
Dengan ulasan tentang status hadis di atas maka semakin jelaslah bahwa hadis di atas dapat diklasifikasikan sebagai hadis shahih dan hadis hasan oleh sejumlah pakar dan ulama hadis, seperti Ibnu Huzaimah, al-Mundziry dan gurunya Abul Hasan, al-‘Iraqy, al-Bushiry (bukan Al-Bushiry penyusun kitab Al-Burdah), Ibnu Hajar, Syarafuddin ad-Dimyathy, Abdul Ghany al-Maqdisy dan Ibnu Abu Hatim.
Apakah masih ada keraguan dalam pikiran Anda setelah mendengar pendapat para pakar dan ulama yang ahli di bidang hadis di atas? Rasionalkah menolak dan meninggalkan hasil penilaian para pakar hadis yang cukup masyhur dan sangat bertakwa tersebut, lalu lebih berpihak kepada pendapat para pakar hadis “Gadungan” yang biasa suka memaksakan kehendak dan bersikap kekanak-kanakan dalam menilai dan membuat interpretasi terhadap isi kandungan hadis di atas?
Allah swt berfirman :
 
 أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ
Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti sesuatu yang lebih baik” (QS Al-Baqarah[2] : 61)
 
فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ(46)
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, akan tetapi yang buta adalah hati yang ada didalam dada” (QS Al-Hajj[22] : 46)


5. Tawassul dengan makam Rasulullah saw
Imam al-Hafizh ad-Darimy dalam kitab As-Sunan , pada bab “Betapa Allah swt memuliakan Rasulullah saw setelah wafatnya”, mengatakan : “Pernah bercerita kepada kami Abu an-Nu’many … dan seterusnya sampai pada Abul Jauza’ Aus bin Abdullah, ia berkata: “Penduduk Madinah pernah tertimpa paceklik disebabkan lamanya tidak turun hujan. Mereka mengadukan hal itu kepada Ummul Mukminin ‘Aisyah ra, lalu beliau menyarankan mereka: “Pandanglah kuburan Rasulullah saw, kemudian bukalah atapnya sehingga antara kuburan beliau saw dan langit tidak terhalang apa-apa”. Mereka melakukan saran Aisyah teresebut, dan turunlah hujan tidak lama kemudian, sehingga rumput-rumput yang mengering tumbuh dengan suburnya dan unta-unta pun menjadi gemuk, bahkan kulitnya sampai pecah-pecah karena kelewatan gemuk. Oleh karenanya, tahun teresebut lebih dikenal dengan sebutan ‘Amul Fatqi (tahun pecah-pecah)”. (Kitab As-Sunan ad-Darimy, juz 1; hal. 43)
Hadis di atas menjelaskan tentang praktek bertawassul dengan perantaraan makam atau kuburan Rasulullah saw. Dalam hal ini, makam beliau saw bukan dipandang  dari sudut sebagai kuburan semata, akan tetapi lebih dipandang sebagai tempat bersemayamnya jasad seorang makhluk yang termulia sepanjang masa dan kekasih Tuhan Pencipta alam. Karena kedudukan beliau saw yang mulia itulah yang menyebabkan makam atau kuburan beliau saw ikut menjadi mulia dan patut mendapatkan kehormatan.

 Posisi Aisyah di mata sejumlah ulama. Sejumlah Ulama berkomentar, bahwa atsar yang menjelaskan tawassul dengan kuburan Rasulullah saw di atas berstatus Mauquf (tertahan) pada diri ‘Aisyah ra selaku seorang sahabat. Sementara tindakan dan perilaku sahabat Nabi tidak dapat dijadikan sebagai hujjah (argumentasi).
Perlu kami tanggapi di sini, meskipun komentar sejumlah ulama tersebut merupakan suatu pandangan mereka terhadap pribadi ‘Aisyah ra, akan tetapi beliau adalah seorang sahabat yang cukup banyak mengkoleksi hadis dan sangat luas wawasan keilmuannya. Beliau melakukan tawassul tersebut di hadapan para sahabat di kota Madinah. Kisah ini cukup sebagai argumentasi bahwa Ummul Mukminin Aisyah ra benar-benar telah mengetahui bahwa Rasulullah saw, setelah wafatnya. Adalah orang yang sangat pengasih, penyayang dan masih memberi syafaat (bantuan) kepada umatnya. Siapa saja yang menziarahi makam beliau saw dan memohon syafaatnya, beliau akan mengabulkannya, sebagaimana terkabulnya permohonan yang dilakukan oleh Aisyah di atas. Tindakan Aisyah ini tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan yang mendekati kesyirikan atau bagian dari bentuk perbuatan kesyirikan seperti yang diributkan mereka yang suka menuduh kafir dan sesat. Karena Aisyah ra beserta orang-orang yang menyaksikan tindakan tawassulnya itu jangan dikira bodoh terhadap apa yang disebut perbuatan syirik.
Kisah berikut ini sekaligus sebagai bantahan dan sanggahan terhadap persangkaan mereka yang tidak pantas diungkapkan di atas. Kisah ini secara ringkas menceritakan bahwa Rasulullah saw sangat peduli kepada umatnya, meskipun setelah beliau wafat. ‘Aisyah ra pernah bercerita, “Aku masuk kedalam kamar di rumahku yang didalamnya terkubur jenazah Rasulullah saw dan ayahku. Aku biasa meletakkan bajuku di situ, toh didalamnya hanya ada jenazah suami dan ayahku sendiri. Namun setelah Umar bin Khatthab ra dikubur di samping makam keduanya, demi Allah, aku tidak pernah lagi memasuki kamarku tersebut, karena aku sangat malu kepada Umar”. (Diriwayatkan oleh imam Ahmad bin Hambal)
Al-Hafizh al-Haitsamy mengatakan, “Para perawinya adalah perawi hadis shahih”. (Majma’ az-Zawaid, juz 8; hal. 26). Al-Hakim meriwayatkan atasr tersebut didalam kitab Al-Mustadrak dan menilainya shahih atas syarat asy-Syaikhany. Imam Adz-Dzahaby tidak menyangkalnya sedikit pun. (Juz 4; hal. 7)
‘Aisyah ra tidak akan melakukan yang demikian itu secara batil. Bahkan beliau mengetahui secara persis bahwa Rasulullah saw beserta kedua sahabat dekatnya itu mengetahui tentang siapa saja yang berada atau hadir di samping makam mereka.
 Rasulullah saw pernah bersabda kepada sahabat Mu’adz bin Jabal ra, sewaktu beliau mengutusnya ke Yaman, “Semoga Anda nanti berkenan mampir ke makamku dan masjidku” (HR Ahmad dan at-Thabrany).  Para rawi dari kedua jalur hadis tersebut  adalah tsiqah, kecuali Yazid yang tidak mendengar secara langsung cerita dari Mu’adz. Demikianlah penjelasan yang tersebut didalam kitab Majma’ az-Zawaid, juz 10; hal. 55.
Setelah Rasulullah saw wafat, Mu’adz benar-benar mendatangi dan mampir ke makam beliau saw sambil menangis. Peristiwa ini sempat disaksikan oleh Umar bin Khatthab ra, kemudian terjadilah dialog di antara kedua sahabat tersebut, sebagaimana yang diceritakan oleh Zaid bin Aslam dari ayahnya, ia bercerita: “Umar keluar menuju ke Masjid Nabawi, lalu berjumpa dengan Mu’adz yang terlebih dahulu sudah berada di samping makam Rasulullah saw sambil menangis. Umar ra bertanya, “Apa yang menyebabkan kamu menangis?”. “Hadis yang aku dengan Rasulullah saw yang intinya menjelaskan bahwa Riya’ (pamer) meskipun sedikit adalah syirik”, jawabnya. Al-Hakim menilainya shahih dan tidak ditemukan cacat didalamnya. Adz-Dzahaby menyetujuinya. (Al-Mustadrak, juz 1; hal. 4)
Al-Mundziry didalam kitab At-Targhib wat-Tarhib (juz 1; hal. 32) berkomentar, bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Majah, al-Baihaqy, dan Al-Hakim yang menilainya sebagai hadis shahih dan tiada cacat didalamnya. 

Tawassul dengan makam Rasulullah saw di masa pemerintahan Umar ra. Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqy mengatakan bahwa Abu Nasr bin Qatadah pernah memberitahukan kepadanya, dan seterusnya sampai rawi Abu Shalih, dari Malik ra, ia bercerita : “Masyarakat tertimpa masa paceklik akibat kemarau panjang pada masa kekhalifahan Umar bin Khatthab ra. Suatu hari, datanglah seorang lelaki menziarahi makam Rasulullah saw seraya mengadu, “Ya Rasulullah ! Mohonkanlah hujan kepada Allah swt untuk umatmu yang sekarang sedang dilanda musim paceklik!”. Setelah itu, lelaki tersebut tertidur dan di tengah tidurnya ia bermimpi bertemu dengan beliau saw. Beliau bersabda kepadanya, “Datangilah Umar. Sampaikan salamku kepadanya, dan beritahukan kepada masyarakat, bahwa hujan akan segera diturunkan Allah swt kepada mereka. Kemudian katakan kepada Umar, agar ia menyediakan kantong-kantong penampung air hujan”. Setelah bangun dari tidurnya, lelaki tersebut segera mendatangi Umar untuk menceritakan peristiwa yang baru ia alami didalam mimpinya dan menyampaikan salam beliau kepadanya, beserta pesan-pesan beliau. Umar bin Khatthab ra berkaya, “Ya Allah ! Aku bukan berarti malas, melainkan semata-mata karena kelalaianku atasnya”. (Isnad-nya shahih. Demikianlah yang dituturkan oleh Ibnu Katsir didalam kitab Al-Bidayah, juz 1; hal. 91. Peristiwa ini tepatnya terjadi pada tahun 18 hijry).
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan suatu kisah dengan sanad shahih, yang dia terima dari Abu Mu’awiyah, dari Al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Malik ad-Dar, seorang bendaharawan di masa khalifah Umar, ia berkata: “Orang-orang tertimpa musim paceklik disebabkan musim kemarau yang sangat panjang  di masa kekhalifahan Umar bin Khatthab ra. Suatu hari, datanglah seorang lelaki menziarahi makam Rasulullah saw seraya berkata, “Ya Rasulullah ! mohonkanlah hujan kepada Allah swt untuk umatmu, karena mereka sekarang dilanda kehancuran (paceklik, krisis pangan)”. Selanjutnya beliau saw menemui lelaki tersebut didalam mimpinya seraya bersabda, “Datanglah pada Umar… dan seterusnya…”.
Saif didalam kitab  Al-Futuh meriwayatrkan, bahwa seorang lelaki yang bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw tersebut adalah bernamaBilal bin al-Harits al-Muzany, seorang sahabat Nabi. Ibnu Hajar mengatakan, “Sanadnya shahih”. (Lihat kitab Shahih al-Bukhary pada bab “Al-Istisqa’”, dan kitab Fathul Bary, juz 2 ; hal. 415)
Para iamam dan pakar hadis telah meriwayatkan dan membahas hadis ini didalam kitab-kitab mereka. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyatakan, bahwa lelaki yang bertawassul tersebut telah melakukan kekufuran dan kesesatan. Tidak seorang pun di antara mereka yang meragukan dan mempertanyakan keabsahan matan hadis tersebut. Ibnu Hajar al-Asqalany menuturkan hadis ini seraya mengatakan, “sanadnya shahih”. Padahal ia adalah seorang ulama yang sangat luas dan dalam keilmuannya. Seorang yang keutamaan dan kepakarannya di bidang hadis ini tidak perlu diragukan. Ringkasnya, semua ulama tahu dan kenal, siapa Ibnu Hajar al-Asqalany yang sebenarnya!


6. Tawassul dengan Rasulullah saw sewaktu perang Yamamah
Al-Hafizh Ibnu Katsir menuturkan, bahwa slogan dan sandi tentara kaum muslimin sewaktu terjadinya perang Yamamah adalah “Ya Muhammadaah !” (Duhai Muhammad). Ibnu Katsir mengatakan, “Khalid bin Walid ra memimpin pasukan muslim. Ia berjalan menuju ke suatu bukit tempat Musailamah al-Kadz-dzab (Panglima kaum murtad dan seoang Nabi palsu) bersembunyi. Pada akhirnya di tempat itulah Musailamah berhasil dibunuh.  Selanjutnya, dia berdiri di antara dua kelompok pasukan, yakni pasukan muslim dan murtad, sambil mengajak pasukan musuh untuk perang tanding satu lawan satu, seraya bersumbar: “Saya adalah anak Amir dan Zaid”. Kemudian ia berteriak keras dengan mengucapkan slogan : “Ya Muhammadaah !”. (Kitab Al-Bidayah wan-Nihayah, juz 6; hal. 324)


7. Tawassul dengan Rasulullah saw sewaktu sakit dan kesulitan
Kesaksian dari al-Haitsam bin Khanas, “Kami berada di samping Abdullah bin Umar yang sedang mengalami kejang kaki. Seseorang berkata kepadanya, “Sebutlah nama orang yang paling Anda cintai!”. Dia menyebut: “Ya Muhammad”. Tiba-tiba ia mengencangkan kakinya, lalu sakitnya hilang, seakan-akan ia tidak pernah merasakan sakit seperti itu.
Riwayat dari Al-Mujahid: “Kaki seorang lelaki kejang-kejang dan di samping ada Ibnu Abbas ra. Kemudian Ibnu Abbas berkata kepadanya, “Sebutllah nama orang yang paling Anda cintai!”. Lelaki tersebut lalu mengucapkan: “Ya Muhammad !”. Seketika itu sakitnya hilang”. Penjelasan ini dituturkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitab Al-Kalimut-Thayyib pada fasal ke-47, halaman 165.
Uraian di atas merupakan contoh bertawassul dengan Rasulullah saw dalam bentuk Panggilan, yakni memanggil orang yang paling ia cintai.


8. Bertawassul dengan selain Rasulullah saw   
Hadis dari Utbah bin Ghazwan menjelaskan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, “Apabila salah seorang diantara kalian kehilangan sesuatu atau membutuhkan bantuan, sementara ia berada di suatu daerah sunyi yang tidak ada seorang pun di sana, hendaklah ia berkata:
عِبَادَ اللهِ, أَعِيْنُوْانِي
“Wahai hamba Allah ! Tolonglah aku”
 Karena Allah swt memiliki makhluk selain manusia yang tidak mampu kita lihat”.  Hal ini sering dilakukan orang, dan cukup mujarab. (HR At-Thabrany. Para rawinya tsiqah, kecuali Yazid bin Ali yang selama hidupnya tidak pernah berjumpah dengan Utbah, sehingga ia dinilai dha’if atau lemah).
Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah swt memiliki sejumlah malaikat yang di muka bumi ini, selain malaikat Hafazhah, yang bertugas mencatat dedaunan yang gugur dari pohonnya. Jika diantara kalian tersesat di tengah padang belantara (atau mungkin di alas, hutan dan daerah sepi lainnya), hendaklah berseru : “  A’iinuunii, Yaa ‘ibaadallaah !, [Tolonglah kami, wahai hamba Allah]”  (HR At-Thabrany. Para perawinya Tsiqah).
Hadis dari Ibnu Mas’ud ra menjelaskan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Jika hewan piaraan seorang di antara kalian terlepas atau hilang di daerah yang sunyi (hutan, padang, dll), hendaklah berseru :” Wahai hamba Allah, cegahlah ia”. Karena Allah swt memiliki makhluk (selain manusia) di muka bumi yang akan mencegah larinya hewan tersebut”.(HR Abu Ya’la. Sementara at-Thabrany menambahkan, “maka ia (makhluk Allah swt , malaikat) akan mencegah hewan tersebut).
Didalam hadis di atas, salah seorang perawinya yang bernama Ma’ruf bin Hissan dinilai dha’if. (Lihat kitab Majma’ Az-Zawaid wa manba’ al-Fawaid, tulisan al-Hafizh Nuruddin Ali bin Abu Bakar al-Haitsamy, pada juz 10, halaman 132).
Uraian di atas merupakan contoh tawassul dalam bentuk Panggilan atau Seruan kepada seseorang atau sesuatu selain Rasulullah saw.
Rasulullah saw didalam salah satu sabdanya pernah membaca doa sehabis shalat sunnah dua rekaat fajar :
 
أَللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرِيْلَ وَ إِسْرَافِيْلَ وَ مِيْكَائِيْلَ وَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ, أَعُوْذُ بِكَ مِنَ النَّارِ
Ya Allah ! Tuhannya malaikat Jibril, Israfil, Mikail dan Nabi Muhammad saw, Aku berlindung kepada-Mu dari siksa api neraka”.
 
Imam an-Nawawy dalam kitabnya Al-Adzkar menyatakan, bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Ibnus-Sinny. Al-Hafizh, setelah mengkritisi derajat hadis ini, iam lalu menilainya sebagai hadis Hasan. (Kitab Syarah al-Adzkar, oleh Ibnu ‘Alan, juz 2; hal. 139)
Doa Rasulullah saw di atas jika diuraikan dalam bentuk doa tawassul melalui perantaraan mereka, seakan-akan beliau berdoa :
 
أَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَ أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِجِبْرِيْلَ وَ إِسْرَافِيْلَ وَ مِيْكَائِيْلَ وَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
Ya Allah ! Aku memohon kepada Engkau dan beretawassul kepada Engkau dengan perantaraan malaikat Jibril, Israfil, Mikail dan Nabi Muhammad saw …”


9. Tawassul Umar bin Khatthab dengan Abbas bin Abdul Muthalib
Imam al-Bukhary menuturkan sebuah hadis didalam kitab Shahih-nya, dari Anas bin Malik ra, bahwa Umar bin Khatthab ra. Sewaktu terjadi musim paceklik, ia memohon hujan kepada Allah swt dengan perantaraan paman Rasulullah saw, Abbas bin Abdulmuthalib :
 
أَللَّهُمَّ إنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتُسْقِيَنَا, وَ إِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
Ya Allah ! Sesungguhnya kami pernah bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan Nabi kami, lalu Engkau turunkan hujan kepada kami. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepad kami”

Az-Zubair bin Bakar menuturkan kisah seperti di atas didalam kitab Al-Ansab dari jalur yang lain, yang isinya lebih luas dan lengkap dari kisah di atas. Ringkasan ceritanya seperti di bawah  ini :
Ibnu Umar menceritakan bahwa ayahnya, Umar bin Khatthab ra, memohon hujan kepada Allah swt dengan perantaraan Abbas bin Abdulmuthalib pada tahun Debu. Dinamakan tahun debu, karena saat itu penuh dengan debu-debu yang bertertabangan di sana-sini akibat lama tidak turun hujan. Umar bin Khatthab Rasulullah saw berkhutbah di hadapan rakyat, “Wahai rakyatku semua ! Sesungguhnya Rasulullah saw memandang Abbas ra seperti memandangnya seorang bocah cilik kepada ayahnya. Oleh karena itu, tirulah apa yang beliau perbuat kepada Abbas ra. Jadikanlah ia sebagai wasilah (perantara) Anda untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Wahai Abbas ! Engkau berdoalah untuk kami …”.
Di antara doa yang dibaca oleh Abbas ra berbunyi: “Ya Allah! Tiada balak yang akan diturunkan melainkan disebabkan adanya dosa. Dan tiada dosa yang terhapus melainkan dengan taubat. Masyarakatku telah menghadap kepada-Mu dengan perantaraanku, disebabkan posisiku sebagai paman Nabi-Mu. Inilah tangan-tangan  yang penuh dengan lumuran dosa  kami tengadahkan kepada-Mu dan kami sekarang bangkit bergerak untuk bertaubat kepada-Mu. Karenanya, turunkanlah hujan, Ya Allah, dan terimalah doa kami berkat kemuliaan Nabi-Mu…”
Sesaat setelah itu, langit yang tadinya cerah berubah menjadi mendung yang datang bergulung-gulung laksana gunung. Kemudian turunlah hujan, sehingga tanah-tanah menjadi subur dan masyarakat hidup dengan cukup pangan. Masyarakat sama datang menemui Abbas ra sambil membawakan sesuatu apa saja yang mereka punya, sebagai tanda terima kasih kepadanya seraya berkata, “Semoga barang ini menyenangkan engkau, wahai orang yang menyebabkan turunnya hujan di dua kota haram, Makkah dan Madinah”.
Umar bin Khatthab ra berkomentar, “Demi Allah! Ini merupakan Wasilah kepada Allah, dan dengan perantaraan kedudukan yang dimiliki Abbas (selaku paman Rasulullah saw)”. Sementara itu, Abbas bin Utbah anak lelaki saudaranya memuji Abbas bin Abdul Muthalib dalam sebuah syiirny, “Berkat pamanku, Allah swt menurunkan hujan di negeri Hijaz dan kepada penduduknya. Saat menjelang isyak, Umar memohon turunnya hujan dengan perantaraan-nya (Abbas)”.
Sebenarnya Umar-lah yang berhak memimpin rakyatnya didalam berdoa untuk memohon turunnya hujan. Akan tetapi Umar tidak mau mempergunakan kesempatan ini. Dia lebih mengedepankan Abbas bin Abdul Muthalib untuk memimpin doa, sebagai wujud rasa hormatnya kepada Rasulullah saw, memuliakan keluarga beliau saw, atau dia mendahulukan paman beliau saw dengan mengalahkan dirinya dalam bertawassul.
Umar bin Khatthab ra mendorong rakyatnya agar menjadikan Abbas ra sebagai “wasilah” (perantara) dalam berdoa kepada Allah swt. Dalam hal ini, Abbas dipandangnya berkedudukan sebagai “pengganti” Rasulullah saw yang selama hidupnya beliau selalu memimpin doa memohon hujan untuk para sahabat di musholla (tempat shalat)
Lafazh doa yang dibacakan Umar : “Ya Allah! Kami bertawassul kepada Engkau dengan perantaraan Nabi kami, lalu Engkau turunkan hujan kepada kami. Sekarang, kami bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami”,  jika diterjemahkan dan dipahami secara mendalam, seakan-akan berbunyi : “Ya Allah! Kami bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan keluarnya Rasulullah saw bersama-sama dengan para sahabat menuju ke tempat shalat, juga dengan perantaraan doa dan shalat istisqa’-nya untuk mereka. Akan tetapi, kini kami kesulitan untuk melakukan hal itu, karena Rasulullah saw telah wafat. Oleh karenanya, kami ajukan salah seorang yang menjadi ahli baitnya, yakni Abbas, dengan harapan agar doa kami lebih dikabulkan”.
Abbas ra ketika berdoa, dia bertawassul dengan perantaraan Rasulullah saw, sebagaimana yang tercermin didalam doanya: “Ya Allah! Masyarakatku telah menghadap kepada-Mu dengan perantaraanku, karena posisiku sebagai paman Nabi-Mu. … Untuk itu, turunkanlah hujan, Ya Allah, dan kabulkanlah doa kami berkat kemuliaan Nabi-Mu”.
Orang yang berpendapat bahwa dari ucapan Umar tersebut menunjukkan bolehnya bertawassul hanya dengan perantaraan Abbas dan tidak boleh bertawassul dengan Rasulullah saw, dengan alasan bahwa Abbas masih hidup, sementara Rasulullah saw sudah wafat, maka pendapat dan pemahamannya tersebut benar-benar telah mati, dikalahkan oleh angan-angan khayalnya, dan ini berarti bahwa ia telah menonjolkan sikap fanatik yang berlebihan. Hal ini disebabkan bahwa Umar bertawassul dengan perantaraan Abbas tersebut tiada lain adalah dikarenakan kedekatannya (Abbas) dengan Rasulullah saw. Sebagaimana hal ini nampak tergambar dalam ucapannya: “Kini, kami bertawassul kepada-Mu  dengan perantaraan paman Nabi-Mu, maka turunkanlah hujan kepada kami…”. Dengan demikian berarti bahwa Umar telah bertawassul dengan perantaraan Nabi Muhammad saw dengan cara yang terbaik.
Jauh sekali dari kebenaran,  orang yang melontarkan tuduhan musyrik kepada kaum muslimin yang melakukan tawassul semacam di atas(sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Umar), sementara di sisi lain, ia sendiri justru membolehkan bertawassul kepada orang yang masih hidup. Jika memang benar bahwa Tawassul itu suatu perbuatan syirik, tentu tawassul tersebut secara mutlak tidak boleh dilakukan, baik dengan orang yang masih hidup maupun yang sudah mati.
Bukankan Anda tahu, bahwa suatu keyakinan Rububiyyah yang mentolerir untuk memberikan suatu peribadatan kepada selain Allah swt, baik itu kepada Nabi, Malaikat, maupun kepada wali, merupakan suatu bentuk kesyirikan dan kekufuran! Di mana hal ini tidak boleh dilakukan di sini, baik selama Anda hidup di dunia maupun di akhirat.
Apakah Anda pernah mendengar orang yang mengatakan, bahwa I’tikad rububiyyah atau keyakinan memberikan sifat-sufat ketuhanan kepada sesuatu selain Allah swt itu boleh jika sesuatu masih hidup. Namun jika sesuatu itu sudah mati, maka I’tikad seperti itu merupakan kesyirikan ?
Padahal Anda sudah tahu bahwa menjadikan sesuatu atau orang yang memiliki kedudukan terhormat di sisi Allah swt, (seperti para Nabi, ulama, auliya’, dan lain-lain) menjadi “wasilah” (Perantara) didalam berdoa kepada Allah swt tidaklah dapat dikatakan sebagai suatu bentuk peribadatan (penyembahan) kepada si “Perantara” tersebut. Kecuali jika disertai suatu keyakinan bahwa si “perantra” tersebut adalah “tuhan” atau dianggap sebagai “tuhan” selain Allah, sebagaimana keyakinan kaum kafir quraisy Makkah, di mana mereka menjadikan berhala-berhalanya sebagai “tuhan”. Jika tidak memiliki I’tikad atau keyakinan seperti itu didalam melakukan tawassul dengan Nabi saw, para auliya’, ulama dan lain-lain, bahkan berkeyakinan bahwa Allah swt telah memerintahkan untuk menjadikan mereka sebagai “wasilah” atau perantara didalam tawassulnya, maka tindakan yang demikian ini sama artinya dengan melakukan suatu “Peribadatan” kepada Dzat yang memberi perintah tersebut, yakni Allah swt.
  
 
10. Kisah Al-Utba
Al-Hafizh syaikh Imaduddin ibnu Katsir mengatakan, bahwa sekelompok ulama, di antaranya adalah syaikh Abu Manshur ash-Shabbagh dalam kitabnya Asy-Syamil, menuturkan kisah tentang Al-Utba yang sangat terkenal tersebut
Al-Utba pernah bercerita, “Aku duduk di makam Rasulullah saw. Maka datanglah seorang A’raby (orang arab pedusunan/badui). Ia mengucapkan salam, “Assalamu ‘alaikum, Ya Rasulullah ! Aku pernah mendengar firman Allah :
 
 وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا(64)
Sesungguhnya jikalau mereka menganiaya dirinya telah datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun (Muhammad) memohonkan ampunan untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS An-Nisa’ [4] : 64)

Kini aku benar-benar telah datang kepadamu – wahai Rasulullah – sambil memohon ampunan kepada Allah swt atas dosa-dosaku, dan memohon syafaat kepada Tuhanku dengan perantaraan engkau”.
”Kemudian A’raby tersebut menembangkan bait-bait puisinya yang isinya adalah menyanjung dan memuji kemuliaan Rasulullah saw. Setelah a’raby tersebut pergi, aku tiba-tiba mengantuk terus tertidur, dan didalam tidurku itu aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw.  Beliau saw bersabda kepadaku, “Susullah segera a’raby tadi dan beritahukanlah kepadanya bahwa Allah swt benar-benar telah mengampuni dosa-dosanya”.
Demikianlah cerita Al-Utba yang juga dinukil oleh imam An-Nawawi didalam kitab Al-Idhah, pada bab keenam, halaman 498. Juga diceritakan kembali oleh al-Hafizh Imaduddin Ibnu Katsir didalam kitab Tafsir-nya sewaktu menafsirkan ayat 64 surat An-Nisa’.
Syaikh Aby Muhammad bin Qudamah menuturkannya didalam kitab Al-Mughny juz 3; hal. 556, kemudian disalin oleh syaikh Abul Faraj Ibnu Qudamah didalam kitab Syarhul Kabir pada juz 3; hal. 495, yang juga disalin oleh syaikh Manshur bin Yunus al-Bahuty dalam kitab Kasy-syaful Qana’ pada juz 5; hal. 30, yang merupakan salah satu kitab yang paling terkenal di kalangan madzhab Hambali.
Jagonya para mufassir, Al-Imam Al-Qurthuby, menuturkan kisah yang serupa didalam kitab tafsirnya Al-Jami’, dengan teks yang agak berbeda dengan kisah di atas,  sebagai berikut: “Abu Shadiq meriwayatkannya dari Ali, katanya: “ Seorang A’raby pernah menemui kami setelah kami menguburkan jenazah Rasulullah saw selang tiga hari. Ia merebahkan tubuhnya di atas makam beliau saw sambil menaburkan tanah ke atas kepalanya, seraya berkata: “Wahai Rasulullah! Kami sudah mendengar sabda-sabdamu. Engkau mengerti firman-Firman Allah swt dan kami pun mengerti firman-Nya tersebut darimu. Di antara firman-Nya itu berbunyi:
 
وَ لَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ
Sementara itu aku benar-benar telah menganiaya diriku sendiri. Sekarang aku telah datang kepadamu, agar engkau memohonkan ampunan kepada Allah swt atas dosa-dosaku”. Kemudian terdengarlah suara dari dalam makam beliau saw: “Sesungguhnya Allah swt benar-benar telah memaafkan dosa-dosamu”. (Tafsir Al-Qurthuby, juz 5; hal. 265)
 
Itulah kisah Al-Utba yang sering dinukil oleh para ulama didalam berbagai kitab-kitab mereka. Baik kisah tersebut apakah dinukil secara salah ataukah secara benar dari sudut sanad, yang mana hal ini selalu menjadi pegangan para ahli hadis dalam menetapkan status suatu khabar. Yang menjadi persoalan kita adalah, apakah mereka menukil suatu riwayat yang membawa kepada kekufuran dan kesesatan? Atau apakah mereka menukil suatu riwayat yang mengundang seseorang untuk menuhankan berhala dan menyembah kuburan?
Jika memang benar demikian, lalu di mana status ke-Tsiqah-an mereka dan kitab-kitab hadis mereka? Sub-hanaka hadza buhtanun ‘azhim, Maha Suci Engkau, Ya Allah. Ini benar-benar kebohongan yang besar.
 
 
 
 
 
 
 







PYPD - 19. Pandangan Ulama Besar Tentang Disyariatkannya Tawassul



Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki


1. Pandangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Syaikhul Islam (Sesepuh Islam) Ibnu Taimiyah dalam bukunya Qa’idah Jalilah fit-Tawassul wal Wasilah mencoba memberi tafsiran terhadap ayat 35 QS Al-Maidah: 
 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian bertakwa kepada Allah swt dan carilah wasilah …”

Kata  وَ ابْـتَـغُـوا  الـوَسِيْلَةَ  (Dan carilah wasilah) hanya menunjuk pada orang yang bertawassul kepada Allah swt dengan perantaraan keimanan kepada Nabi Muhammad saw dan taat mengikuti sunnahnya. Tawassul dengan perantaraan iman dan ketaatan kepada beliau ini merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim dalam berbagai siatuasi kondisi apapun, baik secara lahir maupun bathin, baik sewaktu beliau saw hidup maupun sesudah wafatnya, baik secara langsung di hadapannya maupun tidak. Kewajiban ini tidak dapat digugurkan oleh siapapun setelah tegaknya hujjah dan kokohnya dalil. Tidak ada cara dan jalan meraih kemuliaan dan rahmat dari Allah swt melainkan dengan cara bertawassul melalui perantaraan iman dan taat kepada Rasulullah saw. Beliau saw adalah pemberi syafaat kepada seluruh umat manusia dan pemiliki Maqam Mahmudah (kedudukan yang terpuji) yang diingin oleh setiap orang sejak  dahulu sampai jaman akhir. Di sisi Allah swt, beliau saw adalah orang yang teragung kekuasaannya dalam membagi-bagikan syafaat dan paling tinggi derajatnya.
 Allah swt berfirman tentang keagungan kedudukan Nabi Musa as :
وَكَانَ عِنْدَ اللَّهِ وَجِيهًا
“Dan adalah dia (Nabi Musa) seorang yang mempunyai kedudukan yang terhormat di sisi Allah”  (QS. Al-Ahzab,[33] : 69).
Allah swt berfirman tentang kedudukan Nabi Isa as :
 وَجِيهًا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمِنَ الْمُقَرَّبِينَ
… (Nabi Isa) seorang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah swt) …” (QS Ali Imran,[3] : 45)
Namun pada ayat-ayat yang lain dijelaskan bahwa Nabi Muhammad saw merupakan orang yang paling agung kedudukannya bila dibanding dengan para Nabi dan Rasul lainnya. Syafaat dan doa beliau saw hanya dapat diambil manfaatnya oleh orang-orang yang telah mendapatkan syafaat dan doanya.  Orang yang ingin mendapatkan syafaat dan doa beliau, ia harus bertawassul kepada Allah swt melalui perantaraan syafaat dan doa beliau saw. Sebagaimana hal ini pernah dilakukan oleh para sahabat jaman dahulu. Dan umat manusia pada hari kiamat nanti, juga akan melakukan model tawassul seperti ini.
Didalam buku Al-Fatawa al-Kubra, syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya orang: “Boleh atau tidak, bertawassul dengan perantaraan Nabi Muhammad saw?”. Kemudian di jawabnya, “Alhamdulillah. Adapun bertawassul dengan perantaraan keimanan dan ketaatan kepada beliau saw, dengan syafaat dan doa beliau, dan semisalnya  seperti bertawassul dengan perbuatan beliau dan perbuatan hamba Allah (umat manusia) itu sendiri yang memang diperintahkan pada hak diri beliau, semuanya itu merupakan bentuk tawassul yang disyariatkan dengan kesepakatan kaum muslimin”. (Al-Fatawa al-Kubra, juz 1; hal. 140)
Menurut kami, ada dua kesimpulan yang dapat dirumuskan dari pandangan Ibnu Taimiyah di atas :
Pertama. Orang Islam yang mentaati dan mencintai Rasulullah saw, serta mengikuti sunnahnya dan membenarkan syafaatnya, ia disyariatkan atau diperintahkan untuk bertawassul dengan perantaraan ketaatannya, kecintaannya dan pembenarannya terhadap syafaat beliau tersebut.
Jika kita bertawassul dengan Rasulullah saw, maka Allah swt akan menjadi saksi bahwa kita sebenarnya hanyalah bertawassul dengan perantaraan keimanan dan mahabbah (kecintaan) kepada beliau saw, serta dengan perantaraan keutamaan dan kemuliaan beliau saw. Inilah sebenarnya tujuan pokok  bertawassul. Anda jangan membayangkan bahwa orang yang bertawassul melalui beliau saw tersebut tidak didasari oleh pengertian dan pemahaman seperti di atas. Hanya saja dalam prakteknya, orang yang bertawassul itu ada kalanya ia mampu mengungkapkan tujuan pokok tersebut secara jelas, yakni bertawassul dengan perantaraan keimanan dan mahabbah atau kecintaannya kepada Rasulullah saw , dan ada kalanya ia tidak mampu menjelaskannya.
Kedua. Orang yang mendapatkan doa dari Rasulullah saw, sah-sah saja ia bertawassul kepada Allah swt dengan perantaraan doa beliau tersebut. Dijelaskan didalam beberapa hadis bahwa Rasulullah saw telah mendoakan kebaikan untuk ummatnya. Di antaranya adalah hadis riwayat ‘Aisyah ra, bahwa ia pernah berkata: “Setelah aku tahu bahwa Rasulullah saw adalah orang yang baik hatinya, lalu aku bilang kepada beliau: “Ya Rasulullah saw ! Doakanlah aku !” Beliau saw terus berdoa, “Ya Allah ! Ampunilah dosa-dosa ‘Aisyah, baik yang telah berlalu maupun yang akan datang, baik yang ia sembunyikan maupun yang ia nyatakan”.
Mendengar doa beliau saw tersebut, ‘Aisyah tertawa terpingkal-pingkal, sampai kepalanya menempel ke pangkuannya. Beliau saw bersabda kepadanya, “Apakah doaku tadi membuatmu begitu gembira!”. Ia berkata, “Bagaimana aku tidak  gembira dengan doamu itu ?”. Beliau bersabda lagi, “Doa seperti itulah yang aku panjatkan untuk ummatku setiap selesai shalat”.
Hadis di atas diriwayatkan oleh oleh al-Bazzar. Para perawinya adalah para perawi hadis-hadis shahih. Selain itu, Ahmad bin Manshur ar-Ramady adalah seorang yang tsiqah. Demikianlah informasi didalam kitab Majma’ al-Zawaid.
 Oleh karenanya, sepantasnyalah jika setiap muslim bertaassul kepada Allah swt dengan perantaraan doa Rasulullah saw tersebut, seperti dengan mengucapkan doa berikut ini :
 أَللَّهُمَّ إِنَّ نَبِيِّكَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَدْ دَعَا لِاُمَّتِهِ, وَ أَنَا مِنْ أَفْرَادِ هَذِهِ الْاُمَّةِ, فَأَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِهَذَا الدُّعَاءِ أَنْ تَغْفِرَ لِي وَ اَنْ تَرْحَمَنِي
Ya Allah, Sesungguhnya Nabi-Muhammad saw telah berdoa untuk ummatnya, sementara itu aku adalah salah seorang di antara ummat ini, maka aku bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan doa Nabi-Mu itu, kiranya Engkau mengampuni dosa-dosaku dan memberiku rahmat …”.
Dan seterusnya sesuai dengan permintaan yang dikehendaki.
Doa tawassul dengan teks seperti di atas tidak keluar dari kesepakatan para ulama. Dan boleh saja seseorang menyingkat doa tawassulnya misalnya dengan menggunakan teks berikut :
أَللَّهُمَّ إِنِّي أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِـنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ, …
Ya Allah, aku bertawassul dengan perantaraan Nabi-Mu Muhammad saw …”

Hal ini berarti ia tidak mengungkapkan secara rinci apa yang menjadi isi hatinya dan tidak menjelaskan apa yang terikat didalam hatinya, dimana hal ini  merupakan tujuan dari setiap muslim. Apa yang dikehendakinya itu tentu saja tidak keluar dari batas ini. Karena bertawassul dengan Nabi Muhammad saw tersebut tidak semata-mata tertuju pada diri pribadi beliau, melainkan mengandung sesuatu pengertian yang berkaitan dengan diri pribadi beliau, baik sesuatu itu berupa rasa mahabbah (kecintaan), kedekatan beliau kepada Allah swt, statusnya, keutamaannya, doanya maupun syafaatnya. Terutama bahwa keberadaan beliau saw di alam barzah senantiasa mendengar bacaan shalawat-salam dan menanggapi dengan bacaan shalawat-salam yang sama kepada orang yang membacanya, sebagaimana yang dijelaskan didalam sebuah hadis beliau :
Hidupku adalah baik bagimu dan matiku pun baik bagimu. Kamu berbicara dengan ruhku dan ruhku pun menanggapi pembicaraanmu itu. Semua amal perbuatanmu diperlihatkan Allah swt kepadaku. Jika amalmu aku lihat baik, maka aku panjatkan puji syukur kepada Allah swt dan jika amalmu aku lihat jelek, maka aku memohonkan ampunan kepada-Nya untukmu”. (HR al-Hafizh Ismail al-Qadhy didalam salah satu bagian tulisannya mengenai Bershalawat kepada Nabi.)
Al-Haitsamy juga meriwayatkan hadis tersebut didalam kitab Majma’ al-Zawaid dan menilainya sebagai hadis shahih dengan komentarnya: “Hadis ini diriwayatkan oleh imam al-Bazzar. Para perawinya adalah perawi hadis shahih”.
 Jelas sudah bagi kita bahwa Rasulullah saw di alam barzah senantiasa beristighfar mendoakan ampunan untuk umatnya. Istighfar  merupakan suatu doa dan umat Muhammad dapat mengambil manfaat dari doa istighfar beliau tersebut.
Didalam hadis yang lain dikatakan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tiada seorang pun yang menyampaikan salam kepadaku melainkan Allah swt mengembalikan ruhku kedalam jasadku, sehingga aku dapat membalas salamnya itu”. (HR Abu Dawud, dari Abu Hurairah ra. Imam  An-Nawawy berkomentar bahwa sanadnya shahih.)
Hadis tersebut juga sudah jelas bahwa Rasulullah saw membalas ucapan salam kepada setiap muslim yang mengucapkan salam keada beliau yang telah wafat itu. Ucapan Salam berarti berdoa memohon keamanan atau keselamatan, dan orang yang mengucapkannya dapat mengambil manfaat darinya.

2. Pandangan Imam Ahmad bin Hambal
Sesepuh Islam Ibnu Taimiyah didalam beberapa bagian dari buku-bukunya menetapan bolehnya bertawassul dengan Nabi Muhammad saw, tanpa pembedaan dan rincian, baik sewaktu beliau masih hidup maupun sesudah wafatnya, baik sewaktu hadir maupun tidak hadirnya. Ia juga menukil pendapat Imam Ahmad bin Hambal dan al-“Izzuddin bin Abdussalam tentang diperbolehkannya hal tersebut didalam kitabnya, Al-Fatawa al-Kubra.
Ibnu Taimiyah menuturkan: “Demikian juga di antara yang disyariatkan dalam bertawassul dengan Rasulullah saw adalah dalam bentuk doa, seperti yang pernah dijelaskan dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh At-Turmudzy, bahwa Rasulullah saw pernah mengajari seorang sahabat berdoa 
أَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَ أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِـنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ, نَبِيِّ الرَّحْمَةِ. يَا مُحَمَّدُ ! إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّي, فَيُجْلِيَ حَاجَتيِ  لِيَقْضِيْهَا  فَشَفِّعْهُ فِيَّ
Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan Nabi-Mu Muhammad saw, Nabi pembawa rahmat. Hai Muhammad ! Aku bertawajjuh dengan perantaraanmu kepada Tuhanku, kiranya Dia mengabulkan apa yang menjadi hajatku. Karena itu, Ya Allah, izinkanlah beliau memberiku syafaat”.
Tawassul seperti ini sangat baik untuk dilakukan. (Al-Fatawa al-Kubra, juz 3; hal. 276).
Ibnu Taimiyah mengatakan lagi, “Bertawassul dengan perantaraan selain Rasulullah saw, baik itu dalam bentuk istighatsah (memohon pertolongan) maupun bukan, kami tidak mengetahui seorang pun dari generasi salaf, apakah ia melakukannya atau tidak, dan juga belum pernah diriwayatkan atsar-nya. Yang kami ketahui adalah bahwa seorang syaikh pernah memfatwakan terlarangnya bertawassul seperti itu. Mengenai bertawassul dengan Rasulullah saw, memang ada hadisnya sebagaimana yang dijelaskan didalam kitab-kitab As-Sunan, yang diriwayatkan oleh imam An-Nasaiy, at-Turmudzy dan imam lainnya. Diceritakan bahwa seorang a’rabi (orang dusun, badui) pernah mendatangi Rasulullah saw seraya berkata, “Ya Rasulullah ! Mataku tertimpa penyakit buta. Berdoalah kepada Allah swt untukku”. Beliau lalu bersabda kepadanya, “Berwudhulah dan shalatlah sunnah dua rekaat. Kemudian bacalah doa :
 أللهمّ أسألك و أتوجّه إِلَيْكَ بِـنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ. يَا مُحَمَّدُ ! إِنِّي أَتَشَفَّعُ بِكَ فِـْي رَدِّ بَصَرِيْ. أَللَّهُمَّ شَفِّعْ نَبِـيِّكَ فِـيَّ.
"Ya Allah ! Aku memohon kepada-Mu dan bertawajjuh kepada-Mu dengan perantaraan Nabi-Mu Muhammad saw. Wahai Muhammad, Sesungguhnya aku memohon syafaat dengan perantaraanmu untuk kesembuhan mataku. Ya Allah, izinkanlah Nabi-Mu untuk memberi syafaat padaku”.
Beliau saw menambahkan, “Jika kamu memiliki hajat keperluan, berdoalah seperti itu” Tidak lama kemudian, Allah swt menyembuhkan matanya.  Atas dasar hadis inilah, mmaka Syaikh tersebut hanya mau menerima tawassul dengan perantaraan Rasulullah saw. (Al-Fatawa, juz 1; hal. 105)
Ibnu Taimiyah juga mengatakan pada kesempatan yang lain, “Oleh karena itu, imam Ahmad bin Hambal berkata didalam sebuah tulisannya yang dikirimkannya kepada sahabatnya, imam Al-Marwazy, bahwa dirinya bertawassul dengan perantaraan Rasulullah saw didalam doanya. Hanya saja selain imam Ahmad mengatakan, bahwa tawassul itu pada dasarnya adalah bersumpah kepada Allah swt dengan nama Rasulullah saw. Sementara yang namanya bersumpah itu tidak boleh dengan nama seorang makhluk, namun imam Ahmad didalam salah satu riwayat benar-benar memperbolehkan bersumpah dengan beliau. Oleh karena itulah, dia memperbolehkan juga  bertawassul dengannya”. (Al-Fatawa, juz 1; hal. 140).
  
3. Pandangan Imam Asy-Syaukany
Seorang imam ahli hadis, syaikh  Muhammad bin Ali asy-Syaukany, didalam Risalah-nya yang berjudul “Ad-Durrun Nadhid fi Ikhlashi Kalimatit-Tauhid” mengatakan, Adapun bertawassul kepada Allah swt dengan perantaraan seorang makhluk-Nya untuk tercapainya sesuatu yang ia inginkan, menurut pendapat imam ‘Izzuddin bin Abdussalam, adalah tidak diperbolehkan, kecuali dengan perantaraan Rasulullah saw. Dan ini pun kalau hadis tentang tawassul tersebut shahih
Nampaknya ia mengisyaratkan pada suatu hadis yang diriwayatkan oleh An-Nasaiy didalam Sunan-nya, At-Turmudzi, Ibnu Majah dan imam yang lain. Hadis tersebut menjelaskan, bahwa seorang lelaki yang tuna netra pernah mendatangi Rasulullah saw seraya mengeluhkan kebutaan matanya. Dan seterusnya. (Lihat hadis dari Usman bin Hunaif)
Menurut imam Asy-Syauknay, ada dua pendapat mengenai pemahaman hadis tawassul tersebut:
Pertama. Tawassul adalah seperti apa yang dilakukan oleh Umar bin Khatthab ra dengan doanya : 
نَتَوَسَّلُ بِـنَبِيِّنَا إِلَيْكَ, فَـتُسْقِيْنَا
“ … Kami bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan Nabi-Mu. Karena itu, trunkanlah hujan kepada kami …"
atau dengan doanya yang lain :
إِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا
Sesungguhnya kami bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan paman Nabi kami …”
Hadis mengenai cara tawassulnya Umar bin Khatthab tersebut disebutkan didalam kitab Shahih al-Bukhary dan kitab hadis lainnya. Umar menjelaskan bahwa para sahabat bertawassul dengan Rasulullah saw semasa hidupnya, dan setelah wafatnya mereka bertawassul dengan pamannya, yakni Abbas bin Abdul Muthalib. Umar melakukan tawassul bersama-sama dengan mereka itu adalah dalam rangka memohon turunnya hujan. Kedudukan Rasulullah saw didalam persoalan ini adalah sebagai Asy-Syafi’, pemberi syafaat atau pertolongan.
Kedua. Tawassul dengan perantaraan Rasulullah saw dapat dilakukan baik semasa hidupnya maupun setelah wafatnya, baik di saat beliau hadir maupun di saat tidak hadirnya. Anda tidak perlu ragu, boleh bertawassul dengan Rasulullah saw di masa hidupnya dan boleh dengan orang lain setelah beliau wafat, berdasarkan ijma’ sukuty para sahabat. Dalam pengertian bahwa tidak seorang pun di antara mereka yang mengingkari perbuatan tawassulnya Umar bin Khatthab dengan perantaraan paman Rasulullah saw, yakni Abbas bin Abdulmuthalib.
  Menurut pandangan saya (penulis), tidak ada cara dan sudut pandang untuk mengkhususkan kebolehan bertawassul hanya dengan perantaraan Rasulullah saw sebagaimana pendapat ‘Izzuddin, karena dua alasan :
1).    Berdasarkan ijmak sukuty-nya para sahabat seperti yang kami jelaskan kepada anda.
2).   Bertawassul kepada Allah swt dengan perantaraan orang yang ahli ilmu dan orang yang ahli keutamaan pada hakekatnya adalah bertawassul dengan perantaraan amal shaleh mereka dan dengan berbagai keutamaan yang mereka miliki, karena tidak ada orang yang memiliki keutamaan kecuali dengan amal-amal shalehnya. Jika ada orang yang berdoa dengan cara tawassul : “Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan si Fulan yang ‘alim (berilmu) …”, maka pada hakekatnya ia telah bertawassul melalui ilmu yang melekat pada diri si Fulan yang ‘alim tersebut.    
Dijelaskan didalam kitab Ash-Shahihain dan kitab-kitan hadis lainnya, bahwa Rasulullah saw pernah berkisah tentang tiga orang yang terperangkap didalam sebuah gua. Masing-masing di antara berdoa tawassul kepada Allah swt melalui perantaraan amal shalehnya yang terbaik. Kemudian Allah swt mengabulkan doa mereka, sehingga mereka selamat dan dapat keluar dari dalam gua tersebut.
Sekiranya bertawassul dengan perantaraan amal-amal shaleh dan utama tersebut tidak diperbolehkan, atau dapat menyebabkan kesyirikan sebagaimana yang dituduhkan oleh orang-orang yang keras kepala seperti syaikh ‘Izzuddin bin Abdussalam beserta para pengikut dan simpatisannya, tentulah doa tawassulnya ketiga orang yang dijelaskan dalam hadis di atas tidak akan dikabulkan Allah swt. Dan lagi, Rasulullah saw tentu saja tidak akan tinggal diam untuk mengingkari perbuatan mereka bertiga tersebut, setelah beliau selesai menceritakannya.
 Atas dasar uraian di atas, sekarang anda akan tahu, bahwa dalil-dalil yang berupa nash Al-Qur’an yang mereka jadikan sebagai sarana untuk menolak kebolehan bertawassul, sebagaimana yang akan disebutkan nanti, adalah benar-benar tidak proporsional dan juga tidak warid, artinya bertentangan dengan latar belakang atau asbabun nuzul ayat tersebut. Argumentasi mereka tersebut masih dalam tingkat Istidlal, atau masih dalam bentuk konklusi dan kesimpulan yang masih perlu diperdebatkan kebenarannya dalam kaitannya dengan istidlal dan konklusi yang lain.
Di antara nash-nash Al-Qur’an yang mereka jadikan sarana untuk menolak kebolehan bertawassul sebagai berikut :
1). QS Az-Zumar,[39] : 3
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
“…kami tidak menyembah mereka (berhala) itu melainkan agar mereka mendekatkan diri kami  kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”

2). QS Al-Jinn [72] : 18
 فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“ … Maka janganlah kalian berdoa (menyembah) kepada seorang pun di samping (berdoa, menyembah) Allah”

3). QS Ar-Ra’d [13] : 14
 لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لَا يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ
“ …Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain daripada Allah itu tidak dapat mengabulkan sesuatu pun bagi mereka …”

Ketiga nash tersebut tidak tepat dijadikan sebagai dalil menentang tawassul dengan Nabi dan kaum shalihin, karena tidak sesuai dengan pokok persoalannya. Ayat 3 QS az-Zumar[39] : “kami tidak menyembah mereka (berhala) itu melainkan agar mereka mendekatkan diri kami  kepada Allah dengan sedekat-dekatnya” menjelaskan bahwa orang kafir quraisy mengaku menyembah berhala itu sekedar sebagai perantaraan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, sedangkan orang yang bertawassul dengan orang yang ‘alim, misalnya, pada kenyataannya  tidak menyembah orang yang ‘alim tersebut. Bahkan ia tahu bahwa orang yang ‘alim tersebut memiliki keistimewaan di sisi Allah swt, yaitu mengemban ilmu, maka ia bertawassul dengan orang alim tersebut.
Ayat 18 QS Al-Jinn[72] : “Maka janganlah kalian berdoa (menyembah) kepada seorang pun di samping (berdoa, menyembah) Allah”, menjelaskan larangan bersumpah atau berdoa kepada sesuatu selain Allah swt bersama-bersama dengan-Nya. Misalnya ia berkata, “Demi Allah dan demi si fulan”. Sedangkan orang yang bertawassul dengan orang yang ‘alim misalnya, pada kenyataannya ia tidak berdoa melainkan kepada Allah swt semata. Tawassul yang ia lakukan pada hakekatnya hanyalah dengan perantaraan amal shaleh yang dilakukan oleh sebagian hamba-hamba Allah swt, sama seperti praktek tawassul yang dilakukan oleh ketiga orang yang terkurung didalam gua dengan perantaraan amal shalehnya masing-masing
Demikian pula ayat 14 QS Ar-Ra’d[13] : “Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain daripada Allah itu tidak dapat mengabulkan sesuatu pun bagi mereka …”, menjelaskan bahwa kaum kafir quraisy berdoa kepada berhala-berhala yang sebenarnya tidak mampu mengabulkan doanya dan mereka tidak berdoa kepada Allah swt yang sebenarnya mampu mengabulkannya. Sementara itu, orang yang bertawassul dengan orang yang ‘alim misalnya,  ia tidak dapat disamakan begitu saja dengan prilaku kaum kafir quraisy yang berdoa kepada sesuatu selain Allah swt tersebut. Ia sama sekali tidak berdoa kepada sesuatu selain Allah swt dan tidak berdoa kepada selain Allah swt bersama-sama dengan-Nya.
Setelah anda mengetahui cara penyimpulan mereka yang demikian itu itu, maka anda tidak perlu ragu-ragu untuk menolak dan menyanggah pemahaman mereka tersebut, disebabkan mereka menyalahi maksud nash Al-Qur’an dan sangat menyimpang dari konteksnya, serta masih perlu diperdebatkan keabsahannya, sebagaimana penjelasan kami di muka.
Demikian pula konklusi mereka terhadap ayat 17-19 QA Al-Infithar,[82] :
 وَمَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ(17)ثُمَّ مَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ(18)يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَيْئًا وَالْأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ(19)
Tahukah kamu, apakah hari pembalsan itu? Sekali lagi tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? (Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikit pun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah”.
Sebenarnya ayat di atas tiada lain merupakan isyarat bahwa Allah swt sendirilah yang berkuasa atas semua urusan di hari kiamat. Sementara orang atau sesuatu selain Allah swt tidak kuasa sama sekali untuk mengendalikan urusan di hari itu. Adapun orang yang bertawassul dengan para Nabi atau salah seorang yang alim dari kalangan ulama tidak tidak memiliki satu keyakinan bahwa orang yang dijadikan sarana atau perantara didalam tawassulnya tersebut telah bersekutu dengan Allah swt dalam mengendalikan semua urusan di hari kiamat. Jika ada yang berkeyakinan seperti itu, maka sesatlah ia.
 Ada lagi orang yang menolak dan melarang tawassul dengan berhujjah pada ayat 128 surat Ali Imran[3] dan ayat 49 surat Yunus[10] :
لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ
Tak ada sedikitpun  campur tanganmu dalam urusan mereka itu” (QS Ali Imran[3]:128)
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي ضَرًّا وَلَا نَفْعًا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ

Katakan (Hai Muhammad): Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudaharatan dan tidak (pula) kemanfaatkan kepada diriku sendiri, melainkan apa yang dikehendaki Allas” (QS Yunus, [10] : 49)

Kedua ayat diatas secara tegas menyatakan bahwa tidak sedikit pun campur tangan Rasulullah saw dalam urusan Allah swt. Beliau tidak kuasa mendatangkan kemadharatan dan kemanfaatan bagi dirinya sendiri, apalagi bagi orang lain.
Kedua ayat di atas tidak terikat dengan larangan dan terhalangnya  bertawassul dengan perantaraan Rasulullah saw atau lainnya, seperti para Nabi, auliya’, ulama, maupun kaum shalihin lainnya. Allah swt benar-benar telah menempatkan beliau pada kedudukan yang terpuji, yakni berkedudukan sebagai pemberi syafaat yang agung dan Allah swt memerintahkan kepada seluruh umat manusia agar memohon syafaat kepada beliau. Allah swt berfirman kepada beliau saw di hari kiamat nanti, “Mintalah, kamu akan diberi, dan memohonlah syafaat, maka kamu akan diberi syafaat”.  Didalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa tiada yang mampu memberikan syafaat kecuali atas izin Allah swt  dan tiada syafaat kecuali bagi orang yang mendapatkan keridhaan Allah swt.
 Demikian pula tidak benar melarang bertawassul dengan berdalil kepada hadis Nabi saw yang disabdakannya sewaktu turun ayat 214 surat asy-Syu’ara’,[26] :
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ(214)

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”

Rasulullah saw bersabda, “Hai fulan bin fulan ! Aku tidak kuasa sedikit pun untuk (membantu) kamu dalam urusan Allah swt. Hai fulanah binti fulanah ! Aku tidak kuasa sedikit pun untuk (membantu) kamu dalam urusan Allah swt
Sabda beliau saw di atas harus diartikan bahwa beliau tidak mampu menolong atau mendatangkan kemanfaatan kepada orang yang oleh Allah swt dikehendaki tertimpa madharat, dan tidak mampu memadharatkan orang yang oleh Allah swt dikehendaki mendapatkan kemanfaatan. Demikian pula beliau tidak mampu sedikit pun memberikan kebaikan atau keutamaan kepada kerabat dekatnya, apalagi kepada orang lain, selain Allah swt sendiri yang mampu.
Pemahaman seperti itu sudah diketahui oleh setiap orang islam dan didalamnya tidak ada larangan untuk bertawassul kepada Allah swt melalui perantaraan Rasulullah saw. Karena bertawassul itu pada dasarnya adalah mencari atau meminta sesuatu kepada Dzat yang memiliki perintah dan larangan, yakni Allah swt.
  
4. Pandangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pernah ditanya seseorang tentang suatu pendapat yang memperbolehkan bertawassul dengan kaum shalihin dalam rangkan memohon turunnya hujan dan tentang pendapat Imam Ahmad bin Hambal yang memperbolehkan bertawassul hanya melalui perantaraan Rasulullah saw, dalam kaitannya dengan pendapat mereka bahwa tidak dibenarkan memohon prtolongan kepada makhluk.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menjawab, “Perbedaannya sangat jelas sekali. Dan sebenarnya pembicaraan ini  bukan di sini tempatnya. Sebagian ulama ada yang memperbolehkan bertawassul dengan kaum shalihin. Sebagian mereka ada yang memperbolehkan bertawassul hanya khusus dengan Rasulullah saw . Dan sebagian besar mereka melarang bertawassul yang demikian itu dan memakruhkannya. Persoalan tawassul semacam ini merupakan sebagian dari persoalan fiqih (bukan persoalan akidah dan lainnya). Meskipun yang benar menurut kita adalah pendapatnya Jumhurul ulama (mayoritas ulama), bahwa tawassul adalah makruh hukumnya. Karena itu, kita tidak boleh mengingkari orang yang mempraktekkannya, dan tidak ada pengingkaran atau penolakan dalam persoalan ijtihad. Akan tetapi yang kita ingkari adalah orang yang lebih banyak memohon kepada makhluk daripada kepada Allah swt dan orang yang sengaja mendatangi kuburan sambil meronta-ronta di samping kuburan syaikh Abdul Qadir al-Jilany misalnya dan kuburan kaum shalin lainnya, disertai tujuan agar segera hilang kesusahan dan kesempitan hidupnya. Mana mungkin praktek semacam ini dapat dikatakan sebagai berdoa secara ikhlas dan murni ditujukan kepada Allah swt? Akan tetapi seharusnya didalam doanya itu ada kata-kata : Aku memohon kepada-Mu, Ya Allah, dengan perantaraan Nabi-Mu …, atau  dengan perantaraan para Nabi …, atau  dengan perantaraan para hamba-Mu yang shaleh…. Atau sewaktu ia bermaksud mendatangi suatu kuburan yang dikenal atau tempat lainnya itu, ia boleh berdoa di sampingnya, tetapi tidak boleh berdoa memohon sesuatu kecuali hanya kepada Allah swt secara murni…”
Demikianlah fatwa syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang dinukil dari buku Majmu’atul Mu-allafat (Kumpulan Karangan), Bagian ketiga, halaman 68, yang diterbitkan dan disebarluaskan oleh Universitas Islam al-Imam Muhammad bin Su’ud, Riyadh, Saudi Arabia.
Fatwa syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tersebut secara garis besar menjelaskan tentang bolehnya bertawassul. Hanya saja menurutnya, tawassul itu dimakruhkan oleh jumhurul ulama. Makruh tidak sama dengan Haram, apalagi sampai diartikan atau disamakan dengan bid’ah atau syirik.  (Na’udzu billahi min dzalik – pent.)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab didalam sebuah Risalah-nya yang lain, yang ditujukan kepada orang-orang yang lemah pikirannya dan suka menyalah-nyalah secara berlebihan, menuliskan suatu bantahan terhadap mereka yang secara sengaja mengatasnamakan dirinya untuk mengkafirkan orang yang bertawassul dengan kaum shalihin:
Kata beliau, “Sulaiman bin Sahim menuduhkan kepadaku sesuatu perkara yang aku tidak pernah mengatakannya, dan sebagian besar perkara yang direkayasanya tersebut belum pernah terbayangkan dalam benakku, di antaranya adalah bahwa aku (dituduh) mengkafirkan orang yang bertawassul dengan kaum shalihin; aku dibilangnya telah mengkafirkan syaikh Al-Bushiri disebabkan ucapannya “Wahai makhluk yang termulia” ; bahwa aku dituduh telah membakar kitab Dalailul Khairat. Tanggapanku terhadap semua persoalan tersebut, Sub-hanaka hadza buhtanun ‘azhim, Maha Suci  Engkau, Ya Allah, Ini adalah kebohongan yang besar.
Sanggahan dan bantahan beliau tersebut diperkuat lagi dengan Risalah lain yang ditulisnya untuk dikirim kepada anggota suatu organisasi : “Jika Anda ingin klarifikasi atau membutuhkan Tabayyun dariku, maka perlu aku tegaskan di sini, bahwa di antara persoalan keji, jahat dan jelas-jelas suatu kebohongan adalah tuduhan mereka kepadaku, bahwa aku dikatakan telah mengkafirkan orang yang bertawassul dengan kaum shalihin; aku dibilangnya telah mengkafirkan Al-Bushiry …(dan seterusnya, sampai akhir pembicaraannya). Tanggapanku atas tuduhan tersebut adalah  Sub-hanaka hadza buhtanun ‘azhim, Maha Suci Engkau, Ya Allah. Ini benar-benar suatu kebohongan yang besar. (Lihat Risalah yang pertama dan yang kesebelas dari buku Kumpulan Surat-surat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, bagian kelima, mulai halaman 12 sampai 64)