Tampilkan postingan dengan label wasilah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label wasilah. Tampilkan semua postingan

Minggu, 30 Juni 2013

PYPD - 29. Perantara Syirik dan Perantara Agung



Oleh : Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki


Perantara syirik (Wasithah Syirkiyyah)

Sebagian besar orang salah dalam memahami “Perantara Kesyirikan”. Mereka melontarkan hukum dan anggapan secara serampangan tanpa dipikirkan secara mendalam. Mereka beranggapan bahwa setiap Wasithah (medium, perantara) merupakan salah satu bentuk perbuatan syirik.Dan orang yang mempergunakan Wasithah atau perantara dengan berbagai bentuk dan caranya dalam setiap aktifitas ibadah, doa dan lain-lainnya, berarti ia musyrik dan keadaannya sama seperti orang-orang musyrik yang berkata :

مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
Kami tidak menyembah berhala-berhala melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya” (QS Az-Zumar,[39]: 3).

Pandangan dan anggapam seperti di atas perlu ditolak secara tegas. Apalagi ayat 3 QS Az-Zumar yang mereka jadikan argumentasi adalah bukan pada tempatnya. Karena ayat tersebut secara tegas menjelaskan pengingkaran terhadap prilaku kaum musyrikin yang menjadikan berhala dan patung sebagai “tuhan-tuhan selain Allah swt”. Di samping bahwa ayat tersebut mengingkari terhadap praktek-praktek kesyirikan yang mereka lakukan dengan suatu keyakinan dan persangkaan bahwa penyembahan terhadap patung dan berhala tersebut merupakan sarana mendekatkan diri kepada Allah swt dengan sedekat-dekatnya. Jadi kekufuran dan kesyirikan mereka terletak pada dua hal : Pertama,  penyembahan terhadap patung dan berhala.  Kedua, keyakinan mereka bahwa patung dan berhala tersebut dianggap sebagai tuhan-tuhan selain Allah swt.

Perlu kami tegaskan, QS Az-Zumar ayat 3 di atas membuat kesaksian bahwa kaum musyrikin tidak bersungguh-sungguh dalam berargumentasi mengenai alasan mereka menyembah patung dan berhala. Sekiranya alasan mereka itu benar, jujur dan dapat dipercaya, tentu mereka dengan jantan akan mengatakan, bahwa Allah swt adalah Dzat Yang Lebih Mulia dan Luhur daripada patung dan berhala mereka. Konsekwensinya, mereka tidak akan menyembah tuhan-tuhan selain Allah swt. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian.

Allah swt melarang kaum muslimin untuk mencela patung dan berhala sesembahan kaum musyrikin didalam firman-Nya :

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik perkerjaan mereka. Kemudian kepada tuhan merekalah kembalinya mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”. (QS Al-An’am,[6] : 108)

Abdurrazzaq,  Abdullah bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan Abu al-Syaikh meriwayatkan hadis dari Qatadah ra, katanya : “Konon kaum muslimin memaki berhala sesembahan kaum musyrikin, lalu mereka balik memaki Allah sebagai sesembahan kaum muslimin, sehingga Allah swt menurunkan ayat 108 surat Al-An’am di atas”.

Demikianlah Asbabun Nuzul ayat di atas. Ayat tersebut secara tegas menjelaskan larangan terhadap kaum muslimin untuk mencaci dan melecehkan kekurangan dan ketidaksempurnaan patung-berhala yang disembah kaum musyrikin. Karena dengan cacian dan pelecehan tersebut, kaum musyrikin menjadi marah, lalu mereka balik mencaci dan melecehkan Allah swt yang disembah kaum muslimin.

Sekiranya pernyataan kaum musyrikin yang menganggap patung dan berhala sebagai sarana atau wasithah untuk mendekatkan diri kepada Allah tersebut benar dan jujur, tentu mereka tidak akan berani mencaci maki dan melecehkan Allah swt sebagai bentuk balasan terhadap kaum muslimin yang mencaci dan melecehkan patung-berhala mereka. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa Allah swt didalam hati mereka lebih sedikit daripada patung-berhala mereka. Padahal mereka mengakui bahwa Pencipta langit dan bumi adalah Allah, sebagaimana yang dijelaskan didalam surat Luqman [31] : 25 :

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’. Tentu mereka akan menjawab: ‘Allah’. Katakanlah : ‘Segala puji bagi Allah’; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (QS Luqman,[31] : 25)
  
 Seandainya jawaban mereka itu jujur (Bandingkan dengan ayat di atas) dan mereka berkeyakinan bahwa Allah lah satu-satunya Pencipta alam semesta, sementara patung-berhala mereka bukanlah pencipta alam disebabkan ketidakmampuannya, tentu mereka akan menyembah Allah swt dan bukan pada patung-berhala mereka. Atau, paling tidak, mereka menunjukkan sikap hormat kepada Allah swt di atas penghormatannya kepada patung-berhala mereka. Namun pada kenyataannya, mereka tidak berbuat demikian. Apakah sikap mereka tersebut dapat dikatakan konsisten dan sesuai dengan kenyataan di lapangan, sementara mereka masih suka mencaci dan melecehkan Allah swt ? Sejak semula sikap mereka memang tidak pernah konsisten dan tidak dapat dipegangi.

Ayat Al Qur’an yang ada di hadapan kita tidak semata-mata menunjukkan bahwa Allah swt lebih sedikit di hati mereka dibandingkan dengan patung dan berhala mereka. Bahkan ayat-ayat tersebut menjelaskan beberapa gambaran perumpamaan, di antaranya :

وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا فَمَا كَانَ لِشُرَكَائِهِمْ فَلَا يَصِلُ إِلَى اللَّهِ وَمَا كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَى شُرَكَائِهِمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
 Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bahagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami". Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.” (QS Al-An’am,[6] : 136)
Oleh karenanya, sekiranya Allah swt tidak lebih sedikit di hati mereka daripada berhala mereka, tentu mereka tidak lebih condong kepada berhala mereka daripada kepada Allah.

سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
Amat buruklah ketetapan mereka itu.

Dari sudut pandang ini, Abu Sufyan bin Harb, sebelum ia masuk Islam, pernah mengatakan di dalam salah satu pertempuran melawan tentara Islam, “Kalahkanlah Allah, wahai Hubal !”, seraya memanggil berhala kaum Quraisy yang bernama Hubal, agar ia mengalahkan dan menundukkan Allah swt. Ini merupakan gambaran sikap kaum musyrikin terhadap patung-berhala mereka dan sikap terhadap Allah swt.

Persoalan ini perlu direnungkan dan diketahui secara benar, karena ternyata masih banyak orang yang kurang memahami secara benar. Mereka hanya memahaminya secara sempit. Apakah Anda tidak tahu, sewaktu Allah swt memerintahkan kaum muslimin agar menghadapkan wajahnya ke Ka’bah dalam setiap shalatnya, lalu mereka menghadapkan dan mengarahkan wajah dalam setiap peribadatannya itu ke sana dan menjadikannya sebagai Kiblat. Hal ini bukan berarti bahwa mereka menyembah Ka’bah.

Mencium Hajar Aswad merupakan salah satu bentuk peribadatan kepada Allah swt, sesuai dengan tuntutan dan sunnah Rasulullah saw. Jika kaum msulimin mencium Hajar Aswad dan menghadap ke arah Ka’bah ini mereka niati menyembah kepada kedua benda tersebut, tentulah mereka disebut musyrik, sama seperti kemusyrikan yang dilakukan oleh kaum kafir quraisy penyembah berhala.

Ka’bah dan Hajar Aswad dalam persoalan ubudiyah di sini berkedudukan sebagai Wasithah atau perantara seseorang dalam melakukan peribadatan kepada Allah swt. Wasithah merupakan keniscayaan dan bukan suatu bentuk kemusyrikan. Setiap orang islam yang melakukan ibadah kepada Allah swt dengan melalui wasithah atau perantara tidak otomatis menjadi musyrik. Jika mereka dikatakan musyrik, maka seluruh umat manusia, tidak ketinggalan seluruh kaum muslimin, adalah musyrik semua, karena semua problem kehidupan manusia tidak lepas dari adanya wasithah atau perantara. Misalnya, Rasulullah saw menerima wahyu adalah melalui wasithah atau perantara malaikat Jibril. Dengan kata lain, malaikat Jibril adalah berkedudukan sebagai “perantara” bagi Rasulullah saw dalam menerima wahyu.

Rasulullah saw juga sebagai “Perantara agung” atau Wasithah ’uzhma bagi para sahabatnya. Mereka memohon pertolongan kepada beliau sewaktu mengalami kesulitan. Mereka mengadukan problem hidupnya kepada beliau, bertawassul kepada Allah melalui perantaraan beliau, dan memohon agar beliau mendoakan kebaikan untuk mereka. Beliau saw sendiri setelah mendengar pengaduan mereka tidak pernah mengatakan, “Kalian musyrik dan kafir, karena  kalian  seharusnya tidak diperbolehkan mengadukan problem hidup kalian kepadaku dan tidak boleh  memohon bantuan doa dariku. Sebaliknya, kalian harus berdoa langsung kepada Allah, karena Dia lebih dekat kepada kalian daripada aku !”.  Sekali lagi, beliau saw tidak pernah mengatakan seperti itu. Bahkan beliau mendiamkan dan tidak pernah melarang perilaku sahabat tersebut. Malah beliau mengabulkan dan mendoakan sesuai dengan permintaan mereka, disertai pemahaman bahwa mereka sudah mengetahui yang sebenarnya, bahwa yang mampu memberikan dan menolak sesuatu, serta yang mampu menolak dan membentangkan pemberian rizki, pada hakekatnya, adalah Allah swt, bukan selain-Nya.

Rasulullah saw bersabda :

إِنَّـمَا اَنَـا قَـاسِمٌ وَ اللَّـهُ مُـعْـطٍ
Sesungguhnya aku hanyalah yang membagi-bagikan. Sedangkan Allah-lah yang memberi”.

Atas dasar itu jelaslah bahwa boleh mensifati siapa saja, apapun kedudukannya : baik itu seorang Nabi, auliya-illah, kaum muslimin pada umumnya, aupun yang lainnya. Misalnya dengan mengatakan bahwa dia adalah orang yang mampu menghilangkan kesusahan hidup, mampu memecahkan problem hidupnya, dan mampu mncukupi kebutuhan hidupnya. Apalagi sifat tersebut diberikan kepada Rasulullah saw, seorang Nabi yang teragung dan seorang makhluk yang paling utama, tentu saja hal itu secara mutlak diperbolehkan.  Rasulullah saw pernah bersabda, “Barangsiapa yang membantu melapangkan kesusahan orang mukmin dalam menghadapi persoalan hidupnya di dunia, maka …”.

Beliau bersabda dalam sebuahhadis shahih: “Allah akan menolong seorang hamba, selama ia mau memberikan pertolongan kepada temannya”.

Beliau bersabda, “Barangsiapa yang menolong orang yang membutuhkan pertolongan, maka Allah akan mencatatkan 73 kebaikan untuknya”. (HR Abu Ya’la, Al-Bazzar, al-Baihaqi).

Dari beberapa hadis Nabi di atas diperoleh suatu pemahaman, bahwa seorang muslim dapat berperan sebagai “perantara” atau wasitah  dalam rangka membantu melapangkan kesusahan, menolong dan memberi pakaian dan lain-lain, dengan pemahaan bahwa yang  secara hakiki dapat melapangkan kesusahan, memenuhi kebutuhan hidup, memberi pertolongan dan menolak bahaya adalah Allah swt. Dan hal ini menunjukkan tentang boleh-nya menisbatkan suatu “perbuatan” kepada seseorang.

Banyak sekali hadis nabawi yang menjelaskan bahwa Allah swt menolak dan mencabut  adzab siksaan dari muka bumi ini disebabkan oleh adanya orang-orang yang mau beristighfar dan memakmurkan masjid-masjid. Dan berkat mereka lah  Allah swt memberi rizki dan pertolongan-Nya, serta mengurungkan siksaan-Nya kepada penduduk bumi.

At-Thabary, dalam sebuah kitabnya yang berjudul “Al-Kabir”, dan al-Baihaqy, dalam kitab “Sunan”-nya, menuturkan sebuah hadis dari Mani’al-Dailamy, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sekiranya tidak ada: 1) orang yang shalat,  2) bayi yang menyusu kepada ibunya, dan 3) hewan-hewan yang masih bisa memakan rerumputan, tentulah Allah swt sudah menimpakan azab kepada kalian. Dan berkat mereka pula, Allah benar-benar ridha dan puas kepada kalian (alias Dia urung menimpakan azab-Nya)”.

Imam al-Bukhary meriwayatkan hadis dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Kalian mendapatkan pertolongan dan rizki dari Allah adalah disebabkan oleh adanya orang-orang lemah di antara kalian”.

At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadis  dari Anas bin Malik, yang dinilai shahih oleh al-Hakim, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Semoga engkau diberi rizki disebabkan dia”.

Hadis dari Ibnu Umar ra menjelaskan, bahwa Rasulullah saw bersabda, “ Sesungguhnya Allah swt memiliki makhluk-makhluk yang diciptakan-Nya untuk memenuhi hajat kebutuhan manusia, Orang-orang datang meminta bantuan kepada makhluk tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Mereka  itulah yang mengamankan dan menyelamatkan manusia dari siksa Allah swt” (HR At-Thabrany dalam kitabnya  Al-Kabir, dan Abu Na’im).

Hadis dari Jabir bin Abdullah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah swt tentu akan berlaku baik kepada manusia disebabkan oleh perlakuan baik seorang muslim yang shalih kepada anaknya, cucunya, anggota keluarganya dan tetangga sekitarnya. Mereka senantiasa dalam perlindungan Allah swt selama seorang muslim yang shalih tersebut tinggal di lingkungan mereka”. (HR Ibnu Jarir dalam kitab Tafsir-nya, juz 2; hal. 341. Dan ditakhrij oleh An-Nasai).

Hadis dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw bersabda , “Sesungguhnya Allah swt benar-benar akan menyingkirkan bala cobaan dari seratus anggota keluar sekitarnya disebabkan oleh adanya seorang muslim yang shalih”. Kemudian Ibnu Umar ra membacakan ayat 251 surat Al-Baqarah, yang artinya: “Seandainya Allah swt tidak menolak keganasan sebagian orang kepada sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini” (HR At-Thabrany).

Hadis dari Ubadah bin Shamit ra, bahwa Rasulullah saw bersabda,”Wali Abdal pada umatku berjumlah tiga puluh orang. Berkat mereka lah kalian diberi rizki, dituruni hujan dan diberi pertolongan”. Qatadah ra mengatakan, “Saya berharap kiranya kebaikan datang dari mereka” (HR At-Thabrani).

Empat hadis terakhir di atas dituturkan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir didalam kitab Tafsir-nya sewaktu ia menafsirkan   QS Al-Baqarah,[2] : 251

وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ
  “Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini”

Hadis-hadis tersebut layak dijadikan sebagai argumentasi, dan dari keseluruhan itu menjadikan khabar tersebut bernilai shahih.

Hadis dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Bumi ini tidak terlepas dari empat puluh orang setara dengan Khalilurrahman (Wali Allah). Berkat keberadaan mereka, kalian diberi minum (diturunkan hujan) dan diberi pertolongan. Tidak mati seorang diantara mereka melainkan Allah swt menggantikan posisinya dengan yang lain”. (HR At-Thabrany dalam kitab Al-Ausath, dengan sanad Hasan. Juga tertulis dalam kitab Majma’ al-Zawaid, juz 20; hal. 62).



Al-Wasithah Al-Uzhma (Perantara Yang Agung)

Pada hari makhsyar yang merupakan hari Tauhid, hari Iman dan hari diperlihatkannya ‘Arasy akan muncul seorang Perantara Yang Agung, yakni Nabi Muhammad saw. Beliau adalah Pemilik Panji yang terikat sangat kuat, Pemilik “Maqam Mahmud” (Kedudukan yang terpuji), Pemilik telaga Kautsar, sebagaimana yang disebutkan didalam Al-Qur’an, seorang Pemberi Syafaat yang tidak ditolak permintaannya dan jaminan-jaminannya tidak sia-sia bagi orang yang dijanjikan. Pada hari itu, semua manusia datang menemui beliau saw seraya meminta syafaatnya. Beliau segera bersujud menghadap kehadirat Allah swt seraya terus memintakan syafaat untuk mereka, sampai Dia mengabulkan permintaan beliau. Allah swt berfirman kepada beliau, “Hai Muhammad ! Angkatlah kepalamu. Mintalah syafaat, tentu engkau akan diberi. Dan mintalah apa saja, tentu semuanya akan Aku kabulkan”.





Jumat, 21 Juni 2013

PYPD - 25. Beristighotsah & Ungkapan Sanjungan Kepada Rasulullah SAW



Oleh Sayyaid Muhammad Alawi Al-Maliki




Beristighatsah Kepada Rasulullah SAW

Disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh at-Thabrani didalam kitabnya, Majma’ al-Kabir, bahwa pada masa hidup Rasulullah saw, ada seorang munafik yang suka mengganggu dan menyakiti kaum muslimin. Abu Bakar bilang, “Mari kita minta bantuan kepada Rasulullah saw dari gangguan orang munafik itu”. Setelah hal itu diadukan, lalu beliau bersabda :

إنّـه لا يستـغاث بـي, و إنّـما يستـغاث باللـه
Sesungguhnya  hal ini tidak boleh dimintakan bantuannya kepadaku, tetapi hanya dapat dimintakan bantuannya kepada Allah swt".

Hadis di atas mereka jadikan sebagai alasan untuk menolak beristighatsah (meminta bantuan) kepada Rasulullah saw. Pada prinsipnya, alasan mereka ini salah alamat dan tidak sesuai dengan sasaran pembicaraannya.
Kalau kita   berpegangan pada makna tekstualnya (zhahir lafazh), memang hadis tersebut melarang beristighatsah kepada Rasulullah saw secara mutlak. Jika demikian, hal ini berarti sangat kontradiktif dengan perilaku para sahabat yang meminta bantuan kepada beliau saw. Seperti mereka meminta  bantuan kepada beliau, meminta hujan kepada Allah swt dengan perantaraan beliau, dan minta didoakan beliau. Sementara beliau saw sendiri mengabulkan permintaan mereka dengan senang hati.
Atas kenyataan ini diharapkan, sewaktu menakwilkan atau menafsirkan suatu hadis haruslah mengkaitkannya dengan hadis-hadis lain pada umumnya, sehingga dihasilkan suatu pemahaman yang obyektif, menyeluruh dan tepat sasaran, serta tidak bertentangan dengan nash-nash hadis yang lain.
Menurut pemahaman kami,   hadis di atas  mengokohkan dan  menetapkan hakikat Tauhid pada inti akidah, yaitu bahwa yang berhak memberikan bantuan dan pertolongan adalah hanya Allah swt semata. Sementara makhluk adalah berstatus sebagai Wasithah (perantara) dalam persoalan ini. Atau dengan hadis di atas, Rasulullah saw bermaksud memberikan suatu pengajaran kepada umat islam, agar mereka tidak meminta bantuan dan pertolongan kepada orang lain mengenai sesuatu yang diluar kemampuannya, seperti meminta dimasukkan ke surga, diselamatkan dari siksa neraka, diberi hidayah dan hal-hal lain yang diluar kemampuan manusia.
Hadis di atas tidak menunjukkan suatu pemahaman agar meminta bantuan dan pertolongan hanya kepada orang yang masih hidup saja, bukan kepada orang yang mati. Bahkan secara tekstual hadis tersebut melarang untuk selamanya meminta bantuan dan pertolongan kepada selain Allah swt, baik kepada orang yang masih hidup maupun yang sudah mati. Akan tetapi, makna tekstual semacam ini bukanlah  makna sesungghuhnya yang dimaksudkan oleh hadis tersebut.
Sesepuh Islam Ibnu Taimiyah didalam kitabnya, Al-Fatawa, memberikan suatu petunjuk atas makna hadis di atas. Bahwa terkadang didalam firman Allah swt dan hadis Rasulullah saw itu ada suatu ungkapan atau perkataan yang memiliki makna yang sudah benar dan jelas. Akan tetapi sebagian orang memahaminya dengan pemahaman yang tidak dikehendaki oleh Allah swt dan Rsul-Nya. Pemahaman semacam ini tertolak.
Misalnya sebuah hadis yang diriwayatkan oleh At-Thabrani didalam kitabnya, Mu’jam al-Kabir, baha pada jaman Rasulullah saw ada seorang munafik yang mengganggu dan menyakiti kaum muslimin, lalu Abu Bakar mengatakan: “Marilah kita meminta bantuan kepada Rasulullah saw dari gangguan orang munafik ini”. Maka beliau saw bersabda, “Sesungguhnya hal ini tidak boleh dimintakan bantuannya kepadaku. Akan tetapi hanya boleh dimintakan bantuannya kepada Allah swt
 Dengan sabdanya itu Rasulullah saw menghendaki makna yang kedua, yakni dilarang meminta bantuan kepada beliau sesuatu yang tidak mampu beliau lakukan kecuali Allah swt. Jika pemahamannya tidak seperti itu, maka tidak mungkin para sahabat meminta kepada beliau agar mendoakan mereka, atau meminta diturunkannya hujan melalui perantaraan beliau, sebagaimana yang disebutkan didalam hadis riwayat Bukhari dari Ibnu Umar, bahwa ia berkata: “Barangkali Anda masih ingat sebuah syair yang disenandungkan oleh seorang A’rabi yang isinya meminta diturunkan hujan melalui perantaraan Rasulullah saw. Saya melihat ke arah wajah beliau yang didongakkan ke atas sambil meminta hujan kepada Allah swt. Beliau tidak menurunkan pandangannya ke bawah sampai hujan itu benar-benar diturunkan”.



Ungkapan Sanjungan Yang Menjadi Sebab Pengkafiran

Ada beberapa ungkapan kata sanjungan dan pujian kepada Rasulullah saw yang menjadi obyek perdebatan di kalangan mereka, lalu sebagian mereka melontarkan tuduhan Kafir kepada orang yang mengucapkannya. Seperti kata sanjungan berikut ini :
Tiada tempat berlindung bagi kami selain Rasulullah saw”
Tiada yang dapat diharapkan selain Rasulullah saw”
Sesungguhnya kami berlindung kepada Rasulullah saw”
Kepada Rasulullah saw-lah diadukan semua kesulitan”
Jika engkau (Ya Rasulullah) menolak, siapa lagi tempat kami meminta!”
Maksud mereka mengucapkan sanjungan di atas tiada lain adalah “Tiada tempat berlindung, tiada yang dapat kami harapkan, dan tiada tempat mengadukan problem hidup, kepada sekalian manusia, selain kepada Rasulullah saw. Disebabkan kemuliaan beliau di sisi Allah swt, kami berharap agar beliau sudi menghadap dan meminta sesuatu kepada Allah swt. Jika beliau menolaknya, kepada siapa lagi kami meminta?”
Meskipun demikian, kami tidak mempergunakan ungkapan sanjungan di atas didalam bertawassul dan berdoa. Kami pun juga tidak mengajak dan menganjurkan orang-orang untuk melakukan cara sanjungan seperti itu. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman dan keraguan akibat ungkapan kata sanjungan yang mengundang perselisihan itu. Lalu kami gunakan ungkapan kata yang secara lahir tidak mengundang keraguan dan perselisihan.
Hanya saja yang kami sayangkan adalah tuduhan kafir, sesat, syirik dan sejenisnya yang dilontarkan mereka kepada orang yang mengucapkan kata sanjungan di atas. Menurut pandangan kami, tuduhan mereka tersebut merupakan tindakan semberono, tergesa-gesa dan sama sekali tidak terpuji serta tidak ada gunanya. Disebabkan orang yang dituduh kafir, sesat dan syirik tersebut adalah termasuk orang yang masih memegangi Tauhid, masih ber-Syahadat bahwa tiada tuhan selain Allah swt dan Muhammad adalah utusan Allah, masih melakukan shalat, serta masih membenarkan semua Rukun-rukun agama. Mereka meyakini Allah sebagai Tuhan, Muhammad sebagai Nabi dan Rasul Allah, dan Islam sebagai agamanya. Dengan demikian, ia tetap berada dalam lingkaran  kaum muslimin dan ia tetap berhak mendapatkan perlindungan Islam, baik hartanya, jiwanya maupun kehormatannya. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang melakukan shalat seperti yang kita kerjakan, masih memegangi agama Islam, dan berkiblat (ke Ka’bah) seperti yang kita lakukan, serta memakan sembelihan kita, maka ia adalah seorang muslim yang berhak mendapatkan “Dzimmah” (jaminan perlindungan) Allah swt dan Rasul-Nya. Karena itu, kalian tidak boleh mengganggu apa yang menjadi “Dzimmah”-nya itu”. (HR Bukhari).
Dari sini maka yang menjadi kewajiban bagi kita adalah : Jika kita menemukan atau mendengarkan ungkapan kata dari kaum muslimin yang nampaknya mengarah kepada suatu pemahaman yang menyimpang dari konsep Tauhid, maka kita wajib menafsirkannya sebagai ungkapan kata “Majaz Aqli”. Maka tidak ada jalan dan alasan untuk menuduhnya Kafir. Karena ungkapan kata “Majaz Aqli” semacam itu juga banyak digunakan didalam ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Dengan demikian, jika kita menyaksikan suatu ungkapan kata yang diucapkan oleh orang yang men-Tauhid-kan Allah swt yang nampaknya bertentangan dengan akidah, maka harus kita pandang sebagai ungkapan “Majaz Aqli”. Karena Akidah mereka yang sebenarnya  adalah  mengakui dan meyakini Allah swt sebagai Dzat Yang Menciptakan semua makhluk beserta perbuatannya; tiada seorang pun, yang mampu memberi bekas, pengaruh, atau ikut campur dalam proses “penciptaan” tersebut selain Allah swt semata, baik orang itu masih hidup maupun yang sudah mati.
Itulah akidah dan keyakinan orang yang berpegangan pada prinsip ajaran Tauhid  yang benar. Orang yang menyimpang dari akidah Tauhid ini berarti ia jatuh kedalam kesyirikan. Dan secara mutlak  dapat dikategorikan telah keluar dari agama Islam dan kelompok kaum muslimin, bagi setiap orang yang berkeyakinan bahwa sesuatu selain Allah swt memiliki kemampuan mutlak tak terbatas dalam berbuat dan bertindak, termasuk dalam memberikan rizki, hidup dan mati. Karena perbuatan dan tindakan yang demikian itu hanya Hak dan Milik Allah swt. Dan ungkapan kata yang meragukan yang telah keluar dari mulut orang yang bersyahadat, haruslah ditafsirkan sebagai ungkapan kata memohon syafaat, bantuan atau pertolongan kepada Allah swt dengan jalan “wasilah”. Adapun maksud yang sebenarnya yang ia tuju adalah Allah swt. Maka tidak tergolong kaum muslim-mukmin, orang yang berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan “wasilah”, “wasithah”, atau “perantara” itulah yang sebenarnya yang kuasa dan mampu secara mandiri melakukan dan tidak melakukan, mengabulkan dan tidak mengabulkan, tanpa menoleh sedikit pun kepada Kemahakuasaan Allah swt. Paling sedikit, keyakinan semacam itu mendekati kesyirikan.
Kami senantiasa memohon perlindungan kepada Allah swt dari usaha melontarkan tuduhan Kafir, Musyrik, Bid’ah, atau Sesat, kepada orang islam yang jelas-jelas masih memegangi dua kalimat syahadat, baik tuduhan itu disebabkan kebodohan dan kesalahannya maupun benar-benar ada unsur kesengajaan.
Kami memandang, jika mereka salah dalam mengutarakan kata-kata, seperti meminta ampunan, surga, syafaat, dan kesuksesan hidup kepada Rasulullah saw secara langsung, maka hal itu tidak akan merusak Akidah atau Ketauhidan mereka, karena maksud yang sebenarnya di balik tindakan mereka itu, pada hakekatnya, adalah memohon syafaat dan bantuan kepada Allah swt dengan cara menjadikan Rasulullah saw sebagai “wasilah” atau “wasithah” mereka, yang jika kita terjemahkan maka akan berbunyi: “Ya Rasulullah saw ! Memohonlah kepada Allah swt dosa-dosa kami diampuni-Nya..; agar Dia melimpahkan rahmat-Nya kepada kami”, atau berbunyi : “Ya Rasulullah saw! Kami bertawassul kepada Allah swt dengan perantaraanmu, agar Dia mengabulkan hajat keperluanku…; agar Dia menghilangkan kesusahanku…; agar Dia merealisir cita-citaku…”
Kenyataannya para sahabat memang melakukan demikian, seperti mengadukan kepada Rasulullah saw problem kemiskinan, bertumpuk-tumpuknya hutang, sakit, tertimpa balak dan lain-lain sebagaimana yang kami jelaskan di muka. Dan beliau tidak pernah menolak permintaan mereka, bahkan menanggapinya dengan senang hati, disertai suatu keyakinan bahwa beliau tidak merasa melakukannya sendiri secara mutlak tanpa keikutsertaan kekuasaan dan izin Allah swt .
 Oleh karenanya, Anda akan menyaksikan ucapan dan tindakan Rasulullah saw yang antara satu dengan lainnya nampak kontradiktif. Hal ini beliau maksudkan untuk menghindarkan mereka dari perbuatan syirik, dan sebagai peringatan kepada umatnya dalam bentuk yang beragam sesuai dengan situasi-kondisi mereka yang dinasehati. Misalnya, (1). pada suatu kesempatan, beliau mengatakan bahwa dirinya adalah “Sayyidu waladi Adam” (pemuka manusia keturunan Adam) dan pada kesempatan lain beliau menyatakan larangan untuk men-Sayyid-kannya (mengangkat atau menyanjung sebagai “Sayyid” atau pemuka atau tuan), karena “Sayyid” yang sesungguhnya adalah Allah swt.  (2). Pada suatu  kesempatan para sahabat meminta bantuan atau bertawassul dengan beliau saw, lalu beliau mengajarkan suatu doa untuk bertawassul. Namun pada kesempatan yang berbeda beliau mengatakan: “Sesungguhnya istighatsah (minta bantuan/pertolongan) itu ditujukan kepada Allah swt dan bukan kepada aku”. (3). Pada suatu waktu para sahabat meminta bantuan dan pertolongan (penyembuhan dan lainnya) kepada beliau, dan beliau mengabulkan permintaan mereka, bahkan beliau menyodorkan dua pilihan, apakah mereka bersikap sabar atas musibah, cobaan atau sakit yang menimpanya sehingga ia akan mendapatkan balasan akan dimasukkan Allah swt ke surga, ataukah cobaan dan balak tersebut ingin dihilangkan segera? Sebagaimana pilihan yang pernah disodorkan kepada seorang lelaki yang buta, atau kepada sahabat Qatadah ra yang bola matanya keluar menggantung di atas pipinya. Namun pada waktu yang berbeda beliau mengatakan, “Bila Anda meminta, mintalah (secara langsung) kepada Allah swt dan bila minta tolong, mintalah tolong kepada Allah swt”.  (4). Pada suatu kesempatan beliau mengatakan, “Barangsiapa yang membantu menghilangkan kesusahan orang Islam, maka Allah swt akan menghilangkan kesusahannya…”. Namun pada kesempatan yang berbeda beliau mengatakan, “Tiada yang mampu mendatangkan berbagai kebaikan, melainkan Allah swt”.
Dengan uraian di atas maka akan semakin jelas bagi Anda, bahwa Akidah yang kami miliki Alhamdulillah lebih jernih dan bersih. Kita selaku hamba Allah swt pada dasarnya tidak mampu melakukan aktifitas apa saja sendirian secara mutlak, lepas dari bantuan, kehendak dan izin Allah swt, sekalipun derajat dan status kita setingkat dengan Rasulullah saw. Hanya Allah swt lah yang pada hakekatnya  mampu memberikan kemanfaatan dan menolak madharat, serta mengabulkan semua doa dan memberikan pertolongan-Nya.
Kalau ada seseorang yang meminta bantuan dan pertolongan kepada Rasulullah saw, sesungguhnya didalam hatinya ia arahkan permintaannya itu kepada Allah swt. Dan terhadap orang ini, beliau saw tidak pernah menolak dan mentakan : “Anda jangan meminta sesuatu kepadaku…atau jangan mengadukan problem hidupmu kepadaku… Akan tetapi tujukanlah permintaanmu dan pengaduanmu itu kepada Allah swt. Mintalah secara langsung kepada-Nya, karena pintu-pintu-Nya selalu terbuka…Dia Maha Dekat lagi Maha Mengabulkan doa. Dia tidak membutuhkan bantuan kepada siapa pun. Dan tiada tabir atau hijab yang menghalangi antara Dia dan makhluk-Nya”.



Kesimpulan

Tidak dapat dihukumi Kafir orang yang beristighatsah (meminta bantuan/pertolongan) kepada sesama makhluk, selama tidak disertai suatu keyakinan bahwa makhluk tersebut memiliki kemapuan mutlak dan menciptakan dan mengadakan (perbuatannya). Tidak ada bedanya apakah makhluk itu masih hidup maupun sudah mati. Jika berkeyakinan sebaliknya, yakni bahwa makhluk (manusia, jin, malaikat, dan lain-lain) tersebut memiliki kekuasaan atau kemampuan mutlak didalam menentukan, menciptakan dan mengadakan perbuatannya, maka kafirlah ia, sebagaimana I’tiqad kaum Mu’tazilah yang menganggap bahwa manusia memiliki kehendak dan kemampuan bebas dalam menentukan, menciptakan atau mengadakan perbuatannya. Namun jika berkeyakinanb bahwa Usaha atau Ikhtiyar yang dilakukan manusia itu sekedar sebagai “Sebab” atau “Perantara” terjadinya suatu perbuatan, sementara Pencipta perbuatan manusia yang hakiki adalah Allah swt, maka ia tidak-lah kafir.
Anda tahu bahwa kesimpulan dari keyakinan orang yang beriman terhadap orang-orang yang sudah wafat  adalah bahwa mereka itu sama keadaannya dengan orang yang hidup di dunia. Mereka tidak memiliki kemampuan mutlak dalam menciptakan da mengadakan perbuatannya sama seperti kemutlakan yang dimiliki Allah swt. Sangat tidak masuk akal jika ada yang mengatakan bahwa mereka yang sudah mati itu merupakan Roh-roh yang memiliki kehendak dan kemampuan bebas, sama seperti kemutlakan Tuhan, daripada orang yang masih hidup di dunia.
Jika ada pernyataan dan perbuatan yang secara lahiriyah menyimpang dari prinsip-prinsip akidah yang lurus, maka harus dipahami sebagai ungkapan “Majaz Aqli”  serta harus ditafsirkan bahwa semua perbuatan makhluk, baik yang hidup maupun yang sudah mati, adalah masih dalam batas-batas sebagai “Sebab” atau “Perantara”, bukan sebagai “Penyebab Utama” (Causa Prima). Itulah keyakinan seorang mukmin yang benar dalam memandang semua perbuatan makhluk. Kesalahan dan ketidakbenaran yang terlihat pada “Kulit” atau perbuatan lahir tidak otomatis menyebabkannya menjadi “Kafir” dan “Musyrik”.  Ukuran kekafiran dan kesyirikan seseorang adalah terletak pada kesalahan Akidah atau keyakinan didalam hati, bukan kesalahan ucapan dan perbuatan lahir.
Puncak persoalan Istighatsah pada orang yang sudah wafat, tak ubahnya seperti seseorang yang beristighatsah (meminta bantuan/pertolongan) kepada  orang yang lumpuh, dan ia tidak tahu bahwa dirinya lumpuh. Kemudian orang yang tidak lumpuh bilang, “Sesungguhnya tindakan meminta bantuan kepada orang yang lumpuh adalah syirik”. Sebenarnya keadaan orang yang lumpuh itu bukan berarti tidak dapat memberikan bantuan, dia tidak bisa memberikan bantuan dalam satu segi, namun dalam segi yang lain boleh jadi ia dapat memberikan bantuannya, misalnya bantuan doa. Dalam persoalan “Istighatsah” ini, keadaan orang yang lumpuh tidak jauh berbeda dengan keadaan orang yang mati, yakni bahwa bantuan yang bisa mereka berikan adalah dalam bentuk “Doa”.
Didalam sebuah hadis Nabi dituturkan: “Sesungguhnya keadaan amal perbuatanmu diceritakan oleh orang mati yang baru saja menghuni alam barzah (alam kubur) kepada para arwah keluargamu yang sudah lama mati. Jika amalmu itu mereka ketahui baik, mereka merasa gembira dan jika diketahui jelek, mereka berdoa: “Ya Allah! Janganlah Engkau mematikan dia terlebih dahulu sebelum  Engkau tunjukkan ia ke jalan yang benar, sebagaimana petunjuk yang telah Engkau berikan kepada kami”.
Hadis di atas dituturkan kembali oleh Imam Ahmad bin Hambal, yang memiliki beberapa jalur Sanad yang saling kuat menguatkan. (Lihat kitab Al-Fath ar-Rabbany : Tartib al-Musnad, juz 7; hal. 89 dan kitab Syarh ash-Shudur , karya imam As-Suyuthy).
Ibn al-Mubarak mengetengahkan suatu riwayat yang Sanad-nya sampai kepada Abu Ayyub : “Amal perbuatan orang-orang yang masih hidup di dunia akan diperlihatkan atau diceritakan kepada Arwah orang-orang yang sudah wafat. Jika mereka melihatnya baik, mereka merasa senang. Dan jika mereka melihatnya jelek, mereka akan berdoa: “Ya Allah! Kembalikan kami ke dunia untuk menemui mereka”. (Lihat kitab Ar-Ruh, karya Ibnul Qayyim al-Jauzy).