Tampilkan postingan dengan label syirik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label syirik. Tampilkan semua postingan

Minggu, 30 Juni 2013

PYPD - 29. Perantara Syirik dan Perantara Agung



Oleh : Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki


Perantara syirik (Wasithah Syirkiyyah)

Sebagian besar orang salah dalam memahami “Perantara Kesyirikan”. Mereka melontarkan hukum dan anggapan secara serampangan tanpa dipikirkan secara mendalam. Mereka beranggapan bahwa setiap Wasithah (medium, perantara) merupakan salah satu bentuk perbuatan syirik.Dan orang yang mempergunakan Wasithah atau perantara dengan berbagai bentuk dan caranya dalam setiap aktifitas ibadah, doa dan lain-lainnya, berarti ia musyrik dan keadaannya sama seperti orang-orang musyrik yang berkata :

مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
Kami tidak menyembah berhala-berhala melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya” (QS Az-Zumar,[39]: 3).

Pandangan dan anggapam seperti di atas perlu ditolak secara tegas. Apalagi ayat 3 QS Az-Zumar yang mereka jadikan argumentasi adalah bukan pada tempatnya. Karena ayat tersebut secara tegas menjelaskan pengingkaran terhadap prilaku kaum musyrikin yang menjadikan berhala dan patung sebagai “tuhan-tuhan selain Allah swt”. Di samping bahwa ayat tersebut mengingkari terhadap praktek-praktek kesyirikan yang mereka lakukan dengan suatu keyakinan dan persangkaan bahwa penyembahan terhadap patung dan berhala tersebut merupakan sarana mendekatkan diri kepada Allah swt dengan sedekat-dekatnya. Jadi kekufuran dan kesyirikan mereka terletak pada dua hal : Pertama,  penyembahan terhadap patung dan berhala.  Kedua, keyakinan mereka bahwa patung dan berhala tersebut dianggap sebagai tuhan-tuhan selain Allah swt.

Perlu kami tegaskan, QS Az-Zumar ayat 3 di atas membuat kesaksian bahwa kaum musyrikin tidak bersungguh-sungguh dalam berargumentasi mengenai alasan mereka menyembah patung dan berhala. Sekiranya alasan mereka itu benar, jujur dan dapat dipercaya, tentu mereka dengan jantan akan mengatakan, bahwa Allah swt adalah Dzat Yang Lebih Mulia dan Luhur daripada patung dan berhala mereka. Konsekwensinya, mereka tidak akan menyembah tuhan-tuhan selain Allah swt. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian.

Allah swt melarang kaum muslimin untuk mencela patung dan berhala sesembahan kaum musyrikin didalam firman-Nya :

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik perkerjaan mereka. Kemudian kepada tuhan merekalah kembalinya mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”. (QS Al-An’am,[6] : 108)

Abdurrazzaq,  Abdullah bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan Abu al-Syaikh meriwayatkan hadis dari Qatadah ra, katanya : “Konon kaum muslimin memaki berhala sesembahan kaum musyrikin, lalu mereka balik memaki Allah sebagai sesembahan kaum muslimin, sehingga Allah swt menurunkan ayat 108 surat Al-An’am di atas”.

Demikianlah Asbabun Nuzul ayat di atas. Ayat tersebut secara tegas menjelaskan larangan terhadap kaum muslimin untuk mencaci dan melecehkan kekurangan dan ketidaksempurnaan patung-berhala yang disembah kaum musyrikin. Karena dengan cacian dan pelecehan tersebut, kaum musyrikin menjadi marah, lalu mereka balik mencaci dan melecehkan Allah swt yang disembah kaum muslimin.

Sekiranya pernyataan kaum musyrikin yang menganggap patung dan berhala sebagai sarana atau wasithah untuk mendekatkan diri kepada Allah tersebut benar dan jujur, tentu mereka tidak akan berani mencaci maki dan melecehkan Allah swt sebagai bentuk balasan terhadap kaum muslimin yang mencaci dan melecehkan patung-berhala mereka. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa Allah swt didalam hati mereka lebih sedikit daripada patung-berhala mereka. Padahal mereka mengakui bahwa Pencipta langit dan bumi adalah Allah, sebagaimana yang dijelaskan didalam surat Luqman [31] : 25 :

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’. Tentu mereka akan menjawab: ‘Allah’. Katakanlah : ‘Segala puji bagi Allah’; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (QS Luqman,[31] : 25)
  
 Seandainya jawaban mereka itu jujur (Bandingkan dengan ayat di atas) dan mereka berkeyakinan bahwa Allah lah satu-satunya Pencipta alam semesta, sementara patung-berhala mereka bukanlah pencipta alam disebabkan ketidakmampuannya, tentu mereka akan menyembah Allah swt dan bukan pada patung-berhala mereka. Atau, paling tidak, mereka menunjukkan sikap hormat kepada Allah swt di atas penghormatannya kepada patung-berhala mereka. Namun pada kenyataannya, mereka tidak berbuat demikian. Apakah sikap mereka tersebut dapat dikatakan konsisten dan sesuai dengan kenyataan di lapangan, sementara mereka masih suka mencaci dan melecehkan Allah swt ? Sejak semula sikap mereka memang tidak pernah konsisten dan tidak dapat dipegangi.

Ayat Al Qur’an yang ada di hadapan kita tidak semata-mata menunjukkan bahwa Allah swt lebih sedikit di hati mereka dibandingkan dengan patung dan berhala mereka. Bahkan ayat-ayat tersebut menjelaskan beberapa gambaran perumpamaan, di antaranya :

وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا فَمَا كَانَ لِشُرَكَائِهِمْ فَلَا يَصِلُ إِلَى اللَّهِ وَمَا كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَى شُرَكَائِهِمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
 Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bahagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami". Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.” (QS Al-An’am,[6] : 136)
Oleh karenanya, sekiranya Allah swt tidak lebih sedikit di hati mereka daripada berhala mereka, tentu mereka tidak lebih condong kepada berhala mereka daripada kepada Allah.

سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
Amat buruklah ketetapan mereka itu.

Dari sudut pandang ini, Abu Sufyan bin Harb, sebelum ia masuk Islam, pernah mengatakan di dalam salah satu pertempuran melawan tentara Islam, “Kalahkanlah Allah, wahai Hubal !”, seraya memanggil berhala kaum Quraisy yang bernama Hubal, agar ia mengalahkan dan menundukkan Allah swt. Ini merupakan gambaran sikap kaum musyrikin terhadap patung-berhala mereka dan sikap terhadap Allah swt.

Persoalan ini perlu direnungkan dan diketahui secara benar, karena ternyata masih banyak orang yang kurang memahami secara benar. Mereka hanya memahaminya secara sempit. Apakah Anda tidak tahu, sewaktu Allah swt memerintahkan kaum muslimin agar menghadapkan wajahnya ke Ka’bah dalam setiap shalatnya, lalu mereka menghadapkan dan mengarahkan wajah dalam setiap peribadatannya itu ke sana dan menjadikannya sebagai Kiblat. Hal ini bukan berarti bahwa mereka menyembah Ka’bah.

Mencium Hajar Aswad merupakan salah satu bentuk peribadatan kepada Allah swt, sesuai dengan tuntutan dan sunnah Rasulullah saw. Jika kaum msulimin mencium Hajar Aswad dan menghadap ke arah Ka’bah ini mereka niati menyembah kepada kedua benda tersebut, tentulah mereka disebut musyrik, sama seperti kemusyrikan yang dilakukan oleh kaum kafir quraisy penyembah berhala.

Ka’bah dan Hajar Aswad dalam persoalan ubudiyah di sini berkedudukan sebagai Wasithah atau perantara seseorang dalam melakukan peribadatan kepada Allah swt. Wasithah merupakan keniscayaan dan bukan suatu bentuk kemusyrikan. Setiap orang islam yang melakukan ibadah kepada Allah swt dengan melalui wasithah atau perantara tidak otomatis menjadi musyrik. Jika mereka dikatakan musyrik, maka seluruh umat manusia, tidak ketinggalan seluruh kaum muslimin, adalah musyrik semua, karena semua problem kehidupan manusia tidak lepas dari adanya wasithah atau perantara. Misalnya, Rasulullah saw menerima wahyu adalah melalui wasithah atau perantara malaikat Jibril. Dengan kata lain, malaikat Jibril adalah berkedudukan sebagai “perantara” bagi Rasulullah saw dalam menerima wahyu.

Rasulullah saw juga sebagai “Perantara agung” atau Wasithah ’uzhma bagi para sahabatnya. Mereka memohon pertolongan kepada beliau sewaktu mengalami kesulitan. Mereka mengadukan problem hidupnya kepada beliau, bertawassul kepada Allah melalui perantaraan beliau, dan memohon agar beliau mendoakan kebaikan untuk mereka. Beliau saw sendiri setelah mendengar pengaduan mereka tidak pernah mengatakan, “Kalian musyrik dan kafir, karena  kalian  seharusnya tidak diperbolehkan mengadukan problem hidup kalian kepadaku dan tidak boleh  memohon bantuan doa dariku. Sebaliknya, kalian harus berdoa langsung kepada Allah, karena Dia lebih dekat kepada kalian daripada aku !”.  Sekali lagi, beliau saw tidak pernah mengatakan seperti itu. Bahkan beliau mendiamkan dan tidak pernah melarang perilaku sahabat tersebut. Malah beliau mengabulkan dan mendoakan sesuai dengan permintaan mereka, disertai pemahaman bahwa mereka sudah mengetahui yang sebenarnya, bahwa yang mampu memberikan dan menolak sesuatu, serta yang mampu menolak dan membentangkan pemberian rizki, pada hakekatnya, adalah Allah swt, bukan selain-Nya.

Rasulullah saw bersabda :

إِنَّـمَا اَنَـا قَـاسِمٌ وَ اللَّـهُ مُـعْـطٍ
Sesungguhnya aku hanyalah yang membagi-bagikan. Sedangkan Allah-lah yang memberi”.

Atas dasar itu jelaslah bahwa boleh mensifati siapa saja, apapun kedudukannya : baik itu seorang Nabi, auliya-illah, kaum muslimin pada umumnya, aupun yang lainnya. Misalnya dengan mengatakan bahwa dia adalah orang yang mampu menghilangkan kesusahan hidup, mampu memecahkan problem hidupnya, dan mampu mncukupi kebutuhan hidupnya. Apalagi sifat tersebut diberikan kepada Rasulullah saw, seorang Nabi yang teragung dan seorang makhluk yang paling utama, tentu saja hal itu secara mutlak diperbolehkan.  Rasulullah saw pernah bersabda, “Barangsiapa yang membantu melapangkan kesusahan orang mukmin dalam menghadapi persoalan hidupnya di dunia, maka …”.

Beliau bersabda dalam sebuahhadis shahih: “Allah akan menolong seorang hamba, selama ia mau memberikan pertolongan kepada temannya”.

Beliau bersabda, “Barangsiapa yang menolong orang yang membutuhkan pertolongan, maka Allah akan mencatatkan 73 kebaikan untuknya”. (HR Abu Ya’la, Al-Bazzar, al-Baihaqi).

Dari beberapa hadis Nabi di atas diperoleh suatu pemahaman, bahwa seorang muslim dapat berperan sebagai “perantara” atau wasitah  dalam rangka membantu melapangkan kesusahan, menolong dan memberi pakaian dan lain-lain, dengan pemahaan bahwa yang  secara hakiki dapat melapangkan kesusahan, memenuhi kebutuhan hidup, memberi pertolongan dan menolak bahaya adalah Allah swt. Dan hal ini menunjukkan tentang boleh-nya menisbatkan suatu “perbuatan” kepada seseorang.

Banyak sekali hadis nabawi yang menjelaskan bahwa Allah swt menolak dan mencabut  adzab siksaan dari muka bumi ini disebabkan oleh adanya orang-orang yang mau beristighfar dan memakmurkan masjid-masjid. Dan berkat mereka lah  Allah swt memberi rizki dan pertolongan-Nya, serta mengurungkan siksaan-Nya kepada penduduk bumi.

At-Thabary, dalam sebuah kitabnya yang berjudul “Al-Kabir”, dan al-Baihaqy, dalam kitab “Sunan”-nya, menuturkan sebuah hadis dari Mani’al-Dailamy, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sekiranya tidak ada: 1) orang yang shalat,  2) bayi yang menyusu kepada ibunya, dan 3) hewan-hewan yang masih bisa memakan rerumputan, tentulah Allah swt sudah menimpakan azab kepada kalian. Dan berkat mereka pula, Allah benar-benar ridha dan puas kepada kalian (alias Dia urung menimpakan azab-Nya)”.

Imam al-Bukhary meriwayatkan hadis dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Kalian mendapatkan pertolongan dan rizki dari Allah adalah disebabkan oleh adanya orang-orang lemah di antara kalian”.

At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadis  dari Anas bin Malik, yang dinilai shahih oleh al-Hakim, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Semoga engkau diberi rizki disebabkan dia”.

Hadis dari Ibnu Umar ra menjelaskan, bahwa Rasulullah saw bersabda, “ Sesungguhnya Allah swt memiliki makhluk-makhluk yang diciptakan-Nya untuk memenuhi hajat kebutuhan manusia, Orang-orang datang meminta bantuan kepada makhluk tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Mereka  itulah yang mengamankan dan menyelamatkan manusia dari siksa Allah swt” (HR At-Thabrany dalam kitabnya  Al-Kabir, dan Abu Na’im).

Hadis dari Jabir bin Abdullah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah swt tentu akan berlaku baik kepada manusia disebabkan oleh perlakuan baik seorang muslim yang shalih kepada anaknya, cucunya, anggota keluarganya dan tetangga sekitarnya. Mereka senantiasa dalam perlindungan Allah swt selama seorang muslim yang shalih tersebut tinggal di lingkungan mereka”. (HR Ibnu Jarir dalam kitab Tafsir-nya, juz 2; hal. 341. Dan ditakhrij oleh An-Nasai).

Hadis dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw bersabda , “Sesungguhnya Allah swt benar-benar akan menyingkirkan bala cobaan dari seratus anggota keluar sekitarnya disebabkan oleh adanya seorang muslim yang shalih”. Kemudian Ibnu Umar ra membacakan ayat 251 surat Al-Baqarah, yang artinya: “Seandainya Allah swt tidak menolak keganasan sebagian orang kepada sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini” (HR At-Thabrany).

Hadis dari Ubadah bin Shamit ra, bahwa Rasulullah saw bersabda,”Wali Abdal pada umatku berjumlah tiga puluh orang. Berkat mereka lah kalian diberi rizki, dituruni hujan dan diberi pertolongan”. Qatadah ra mengatakan, “Saya berharap kiranya kebaikan datang dari mereka” (HR At-Thabrani).

Empat hadis terakhir di atas dituturkan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir didalam kitab Tafsir-nya sewaktu ia menafsirkan   QS Al-Baqarah,[2] : 251

وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ
  “Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini”

Hadis-hadis tersebut layak dijadikan sebagai argumentasi, dan dari keseluruhan itu menjadikan khabar tersebut bernilai shahih.

Hadis dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Bumi ini tidak terlepas dari empat puluh orang setara dengan Khalilurrahman (Wali Allah). Berkat keberadaan mereka, kalian diberi minum (diturunkan hujan) dan diberi pertolongan. Tidak mati seorang diantara mereka melainkan Allah swt menggantikan posisinya dengan yang lain”. (HR At-Thabrany dalam kitab Al-Ausath, dengan sanad Hasan. Juga tertulis dalam kitab Majma’ al-Zawaid, juz 20; hal. 62).



Al-Wasithah Al-Uzhma (Perantara Yang Agung)

Pada hari makhsyar yang merupakan hari Tauhid, hari Iman dan hari diperlihatkannya ‘Arasy akan muncul seorang Perantara Yang Agung, yakni Nabi Muhammad saw. Beliau adalah Pemilik Panji yang terikat sangat kuat, Pemilik “Maqam Mahmud” (Kedudukan yang terpuji), Pemilik telaga Kautsar, sebagaimana yang disebutkan didalam Al-Qur’an, seorang Pemberi Syafaat yang tidak ditolak permintaannya dan jaminan-jaminannya tidak sia-sia bagi orang yang dijanjikan. Pada hari itu, semua manusia datang menemui beliau saw seraya meminta syafaatnya. Beliau segera bersujud menghadap kehadirat Allah swt seraya terus memintakan syafaat untuk mereka, sampai Dia mengabulkan permintaan beliau. Allah swt berfirman kepada beliau, “Hai Muhammad ! Angkatlah kepalamu. Mintalah syafaat, tentu engkau akan diberi. Dan mintalah apa saja, tentu semuanya akan Aku kabulkan”.





Selasa, 14 Mei 2013

PYPD - 1. Resiko Mengkafirkan Kaum Muslimin



Oleh Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki

 
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki

 

KATA PENGANTAR

Kitab berjudul مفاهيم يجب ان تصحح  [ Terj. Pemahaman --salah/menyimpang-- yang Perlu Diluruskan]**), karya Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki Al-Hasaniy, merupakan kitab penting yang perlu dibaca oleh kaum muslimin yang mengaku dirinya sebagai pengikut setia faham Ahlussunnah Waljama’ah ala NU, agar dijadikan sebagai pedoman, pegangan dan benteng aqidah yang lurus untuk menangkis berbagai pemahaman keagamaan (aqidah) yang selama ini dipahami secara keliru oleh segelintir “santri baru” Salafi Wahabi dan gerombolannya, sehingga kaum muslimin “selamat” dari ketersesatan aqidah dan tidak mudah melontarkan tuduhan syirik, bid’ah, kafir, munafiq dan semisalnya kepada sesama saudara muslim yang nantinya justru berujung pada rusaknya aqidah dan ukhuwwah islamiyah.

Mengingat pentingnya persoalan tersebut, kami akan mempublikasikan hasil terjemahan terhadap kitab tersebut secara lengkap di blog ini secara bersambung.

Kami persilahkan para sahabat dan siapa saja yang membutuhkannya untuk mengkopi, memanfaatkan, dan menyebarluaskannya kepada kaum muslimin demi tegaknya aqidah Ahlussunnah Waljama’ah di muka bumi dan terciptanya kehidupan yang aman, tentram, saling menghormati dan penuh toleransi, baik dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Asalkan disertai dengan menyebutkan sumber pengambilannya dan tidak digunakan untuk mencari keuntungan duniawi.

Akhirul kalam. Kami menyadari bahwa al-insanul mahallul khotho` wan nis-yan. Karenanya, sumbang saran, nasehat, pembetulan dan kritik yang konstruktif sangat diharapkan demi kesempurnaan postingan ini di masa mendatang. (Pentjm.)

  ________________________________________

 

 

RESIKO MENGKAFIRKAN SESAMA MUSLIM



Kebanyakan orang melakukan kesalahan dalam memahami hakekat sebab-sebab yang dapat mengeluarkan pelakunya dari ruang lingkup agama Islam, dan ia wajib dihukumi kafir. Anda dapat menyaksikan orang-orang yang mudah menuduh “kafir” seorang muslim hanya disebabkan dia berbeda pendapat dengannya, sehingga dengan pengkafiran tersebut jumlah kaum muslimin secara kuantitatif di seluruh dunia akan tinggal sedikit. Kami husnuzhan ( berbaik sangka ) kepada mereka yang suka mengkafirkan itu adalah lebih didasari oleh niat yang baik, yakni ingin melaksanakan kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar . Akan tetapi mereka lupa bahwa kewajiban beramar ma’ruf dan nahi munkar tersebut seharusnya dilakukan dengan cara yang bijaksana (bil hikmah) dan dengan nasehat yang baik (wal mau’izhatul hasanah). Kalaupun akan dilakukan dengan metode diskusi dan dialog (mujadalah), hendaklah dilakukan dengan cara yang baik lagi sopan, sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nahl, [16] : 125
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat  pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”

Apabila Anda ingin mengajak seseorang agar melaksanakan shalat, menunaikan perintah-perintah Allah swt, menjauhi semua larangan-Nya, menyebarluaskan dakwah islamiyah, membangun masjid dan lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti sekolah pesantren, dan lain-lain, sampai pada persoalan yang menurut pandangan Anda merupakan suatu kebenaran, sedangkan menurut pandangan orang lain bukanlah suatu kebenaran, disebabkan para ulama dalam persoalan ini berbeda pendapat, kemudian orang yang tidak setuju dengan pendapat Anda tersebut, lalu Anda tuduh kafir hanya karena berbeda pendapat dengan anda, maka Anda benar-benar telah melakukan kemungkaran yang besar.

 Al-‘Allamah al-Imam Sayyid Ahmad Masyhur al-Haddad mengatakan:

“Telah disimpulkan adanya kesepakatan di kalangan para ulama Ahlussunnah wal Jamaah tentang larangan mengkafirkan seorang ahli kiblat (muslim), kecuali terhadap seseorang yang benar-benar atheis yang mengingkari adanya Allah swt, atau yang secara jelas melakukan perbuatan syirik tanpa perlu ditakwili lagi, atau mengingkari keberadaan para Nabi dan Rasul, atau mengingkari prinsip-prinsip ajaran Islam yang bernilai qath’iy (dogmatik), atau mengingkari kemutawatiran suatu hadis Nabi saw, atau mengingkari ajaran Islam yang sudah disepakati (ijmak) kepastiannya”

Prinsip-prinsip ajaran Islam yang bernilai dogmatik (qath’iy), antara lain ajaran tentang tauhid (Keesaan Allah), kenabian, keparipurnaan Risalah dengan diutusnya Nabi Muhammad saw, adanya kebangkitan dari kematian (yaumul ba’ts) pada hari kiamat nanti, hisab (penghitungan amal), pembalasan amal, kepastian adanya surga dan neraka. Maka menjadi kafir-lah orang yang mengingkari prinsip-prinsip ajaran Islam tersebut.

Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kebohongan daripada sekelompok orang yang semisal dengan mereka. Tingkat kemutawatiran suatu hadis ada kalanya ditentukan oleh  segi isnad, seperti hadis Nabi saw berikut :

من كـذب  عليّ مـتـعمـدا  فـلـيتـبوّء مقـعد ه مـن الـنـار
Barangsiapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah dia menduduki tempat duduknya di neraka
Dari sudut isnad-nya, hadis  mutawatir tersebut diriwayatkan oleh para rawi (periwayat hadis) yang tidak mungkin bersepakat melakukan kebohongan. Dan ada kalanya ditentukan oleh segi thabaqat-nya (lapisan), yakni sekelompok rawi dalam setiap thabaqat atau lapisan, cukup banyak jumlahnya. Misalnya pada thabaqat atau lapisan pertama yang terdiri dari para rawi kalangan sahabat yang secara langsung meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw . Kemudian disusul sekelompok rawi pada lapisan kedua yang terdiri dari para rawi kalangan tabi’in yang meriwayatkan hadis dari para sahabat Nabi. Dan seterusnya sampai pada lapisan atau   thabaqat terbawah.
Kemutawatiran hadis dari segi thabaqat ini adalah seperti kemutawatiran Al-Qur’an, disebabkan hadis tersebut diriwayatkan secara merata oleh lapisan masyarakat luas, baik di daerah timur maupun barat, baik mengenai isi ajarannya, bacaannya, maupun lafazhnya, serta mempertemukan dari lapisan satu ke lapisan berikutnya, sehingga tidak diperlukan lagi adanya pengkajian, penelitian terhadap isnadnya.
 Dan terkadang pula bahwa kemutawatiran atau keterurutan dan kontinyuitas suatu hadis adalah dalam segi pengamalan dan pewarisan tradisi, seperti keterurutan suatu amal perbuatan dan tradisi mulai dari masa hidup Rasulullah saw sampai sekarang, atau keterurutan dalam ilmu pengetahuan seperti mutawatirnya hadis tentang mukjizat Nabi, meskipun secara detailnya sebagian hadis tersebut adalah pada derajat Hadis Ahad  (yakni suatu hadis shahih yang tidak sampai pada derajat hadis mutawatir), akan tetapi bertemu pada titik persamaan isinya, sehingga bernilai mutawatir secara qath’iy (pasti kebenarannya) di dalam pengetahuan setiap muslim.
Menuduh dan menghukumi seorang muslim dengan tuduhan kafir di luar kategori yang sudah dijelaskan di atas adalah sangat berbahaya dan gawat. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda :
إذا قال الرجل لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما
Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya : “Hai si Kafir”, maka kembalilah hukum kafir tersebut pada salah satu di antara keduanya”. (HR Bukhari, dari Abu Hurairah ra).
Maksudnya, jika yang dipanggail itu benar-benar kafir, maka hal itu tidak jadi masalah. Namun jika yang dipanggil dengan kata “si Kafir”  tersebut – menurut pandangan Allah – bukan orang kafir, maka orang yang memanggilnya atau menuduhnya demikian  itulah yang kafir.
Tuduhan tersebut tidak dibenarkan diucapkan kecuali oleh orang yang dengan pancaran syari’at telah mengetahui tempat masuk-nya kedalam atau keluar-nya dari kekafiran seseorang, serta mengetahui batas-batas  pembeda antara kekufuran dan keimanan seseorang  menurut ukuran syari’at Islam. Oleh karenanya, seseorang tidak boleh melibatkan diri dalam persoalan ini, lalu saling kafir mengkafirkan orang lain lebih atas dasar khayalannya, rekayasa atau persangkaan semata, dan bukan atas dasar keyakinan dan ilmu yang benar. Misalnya mengkafirkan seseorang hanya disebabkan oleh perbuatan maksiatnya, padahal orang tersebut masih memiliki keimanan yang lurus dan masih berpegang teguh pada dua kalimat syahadat.
Sebuah hadis dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
ثلاث من أصل الإيمان : الكفء عمن قال لا إله إلا الله لا نكفره بذنب ولا نخرجه عن الإسلام بالعمل, والجهاد ماض منذ بعثني الله إلى أن يقاتل آخر أمتي الدجال لا يبطله جور جائر و لا عدل عادل و الإيمان بالأقدار
Tiga hal yang menjadi prinsip keimanan : 1) menghindarkan diri dari orang yang mengucapkan La ilaha illallah, dan kami tidak mengkafirkan orang tersebut disebabkan amal perbuatannya;  2) jihad itu berlaku terus sejak Allah swt mengutusku sampai umatku yang terakhir memerangi Dajjal. Jihad ini tidak dapat dibatalkan oleh kelalimannya orang yang zhalim dan keadilannya orang yag berbuat adil;  3) Meyakini takdir Allah “ (HR Abu Dawud).
Oleh karena itu, kami memperingatkan agar jangan sampai kalian mudah mengkafirkan seseorang bukan pada tempatnya, disebabkan resikonya sangat besar.


Kalo antum nuduh tahlilan syirik,dan tuduhan antum salah
bisa2 antum sendiri yang justru menjadi musyrik.


  _________________________

Ket.
**) Pemahaman --"salah/menyimpang"-- Yang Perlu Diluruskan, untuk selanjutnya disingkat "PYPD"