Tampilkan postingan dengan label Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki. Tampilkan semua postingan

Selasa, 18 Maret 2014

PYPD - 6. Menyerupai Perbuatan Khas Ketuhanan Tidak Otomatis Menjadi Syirik






Sebagian orang salah paham dalam memandang beberapa persoalan yang “musytarakah”, mengandung pengertian ganda, yakni seolah-olah mempersekutukan dua kedudukan – “Khaliq” dan “Makhluk” – dalam satu perbuatan/sifat, lalu mereka menyangkanya bahwa menghubungkan persoalan tersebut kepada posisi “makhluk” adalah perbuatan syirik. Di antaranya adalah beberapa persoalan mengenai kekhususan sifat kenabian yang mereka salah pahami, oleh karena diukur dengan ukuran akal pikiran manusia, lalu mereka menganggap bahwa kekhususan sifat tersebut merupakan suatu usaha pengkultusan atau pengagungan terhadap pribadi Rasulullah saw. Mensifat Rasulullah saw dengan sifat khas tersebut sama artinya dengan mensifat beliau dengan sifat-sifat Uluhiyyah (Ketuhanan).

 

Anggapan tersebut menunjukkan kebodohannya, karena Allah swt berkehendak memberi sesuatu sifat kekhususan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, lagi pula pemberian-Nya ini bukan suatu keharusan bagi-Nya. Misalnya Dia menganugerahkan kemuliaan, mengangkat derajat, dan memberi kelebihan kepada siapa saja yang dikehendaki di atas orang lain. Pemberian-Nya ini tidak sampai merampas  Hak-hak dan sifat-sifat ketuhanan-Nya, yakni suatu sifat yang hanya pantas untuk posisi Allah swt sebagai Tuhan. Jika ada makhluk yang dilekati dengan sebagian sifat Uluhiyyah tersebut, sesuai dengan kondisi kemanusiaannya yang terbatas itu, maka sifat yang diberikan-Nya tersebut adalah atas dasar izin, anugerah dan kehendak-Nya semata, bukan semata-mata disebabkan oleh atau timbul dari kekuatan, potensi, usaha atau kehendak manusia itu sendiri. Untuk dirinya saja ia tidak mampu menolak sesuatu bahaya, mendatangkan manfaat, menolak kematian, membuat dirinya hidup, dan sifat-sifat uluhiyyah lain yang sebenarnya hanya layak dimiliki Allah swt.

 

Memang banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis nabawi yang menjelaskan bahwa persoalan mengenai sifat-sifat uluhiyyah merupakan Hak Mutlak Allah swt. Namun Allah swt memberikan “hak”-Nya itu  kepada Rasulullah saw dan orang-orang selainnya. Pada saat itu beliau tidak otomatis naik pangkat menempati posisi “Khalik” , atau menjadikan dirinya sebagai “sekutu”  bagi Allah swt.

 

Di antara persoalan-persoalan tersebut misalnya :   

          

1. Syafaat.

Syafaat merupakan Hak Allah swt, sebagaimana yang disinggung dalam QS Az-Zumar,[39] : 44

قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا

     “Katakanlah: "Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya.”

 

Hak memberikan syafaat juga ada pada Rasulullah saw dan selain beliau dengan seizin Allah swt, sebagaimana sabda beliau saw sendiri, “Aku didatangkan untuk memberikan syafaat”, “Aku adalah orang yang pertama memberikan syafaat dan yang memohonkan syafaat”.

 

2. Pengetahuan tentang yang ghaib

Pengetahuan tentang yang ghaib merupakan Hak Allah swt, namun di sisi lain, Dia juga memberitahukan sesuatu yang ghaib  kepada para Nabi-Nya. Allah swt befirman,

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ

“Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah" (QS An-Naml, [27] : 65)

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ
“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya,” (QS al-Jinn,[72] : 26-27).

 

3. Hidayah

Hidayah merupakan Hak Allah swt, tetapi Rasulullah saw juga diberi hak untuk memberi “hidayah”, sebagaimana firman-Nya:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya,” (QS Al-Qashash,[28] : 56)
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS Asy-Syura,[42] : 52).

Hidayah yang disebutkan dalam QS Al-Qashash : 56 di atas tidak sama dengan “hidayah” yang tersebut dalam ayat 52 QS As-Syura. Persoalan ini hanya akan dapat dipahami oleh kaum mukmin yang berakal sehat saja, yang mengetahui perbedaan posisi “Khalik” dan “Makhluk”. Sekiranya tidak demikian, tentu ayat yang kedua tersebut akan berbunyi :
إِنَّكَ لاَ تـَهَدِى هِدَايَةَ اِرْشَادٍ
“Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk berupa bimbingan”. 

 

Atau akan berbunyi :

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي هِدَايَةَ غَيْرِ هِدَايَتِنَا

 Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk selain petunjuk yang Kami berikan”.

 

Akan tetapi, kedua  hal tersebut tidak ditemukan dalam Al-Qur’an. Bahkan Allah swt menetapkan hak memberikan hidayah kepada Nabi saw secara mutlak tanpa disertai batasan dan persyaratan khusus, disebabkan kaum muslimin sudah memahami makna kandungan ayat 52 QS Asy-Syura tersebut dan mengerti tentang perbedaan  maksud lafazh tersebut dalam kaitannya dengan posisi Allah swt sebagai "Khalik" dan Nabi Muhammad saw sebagai "makhluk".

 

4. Sifat “Ro-uufun Rohiim”

Persoalan yang sama juga ditunjukkan oleh Al-Qur'an yang mensifati Rasulullah saw dengan “Ra-uufur Rahiim (رَءُوفٌ رَحــيمٌ =  : yang sangat berbelaskasihan lagi sangat penyayang), sebagaimana yang disebutkan dalam QS At-Taubah,[9] : 128 ,

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
 “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu'min.”

Sementara itu, Allah swt juga memberi sifat kepada diri-Nya sendiri dengan “Ra-uufur Rahiim” ( رَءُوفٌ رَحــيمٌ = Yang Maha Belas kasihan lagi Maha Penyayang) di dalam beberapa ayat Al-Qur’an seperti dalam QS At-Taubah,[9]: 117;  QS An-Nahl,[16] : 7 dan 47;  QS Al-Hajj,[22] : 65;  QS An-Nur,[24] : 20;  QS Al-Hadid,[57] : 9;  dan QS Al-Hasyr,[59] : 10.وَإِنَّ اللَّهَ بِكُمْ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌDan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Penyantun lagi Maha Penyayang terhadapmu.” (QS Al-Hadid,[57] : 9).


Perlu diketahui bahwa sifat “Ra-uufur Rahiim” yang diberikan Allah swt kepada Rasulullah saw (QS At-Taubah,[9]:128), sangat berbeda dengan sifat “Ra-uufur Rahiim” bagi Allah swt (QS Al-Hadid,[57] : 9, dan surat-surat lainnya). Ketika Allah swt mensifati Rasulullah saw secara mutlak dan tanpa adanya pembatasan atau syarat dengan sifat di atas (QS At-Taubah,[9] : 128), karena ketika itu kaum muslimin dipandang telah mengetahui perbedaan antara posisi Allah swt sebagai Khalik  dan posisi Rasulullah saw sebagai makhluk. Seandainya mereka tidak mengetahuinya atau dikhawatirkan tidak mengetahui kedua posisi tersebut, tentu firman Allah swt akan berbunyi:

بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ  بِرَأْفَةِ غَيْرِ رَأْفَتِنَا, وَ رَحِيمٌ بِرَحْمَةِ غَيْرِ رَحْمَتِنَا

“… Bilmukminiina Ra-uufun bi ra’fati ghairi ra’fatinaa, wa Rahiimun bi rahmati ghairi rahmatinaa” ( … terhadap kaum beriman, dia [Muhamad] itu amat berbelaskasihan dengan belas kasihan selain sifat Belas Kasihan yang Kami miliki, dan amat penyayang dengan kasih sayang selain sifat Kasih Sayang  yang Kami miliki).

 

Atau firman Allah swt tersebut akan berbunyi :

 بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ  بِرَأْفَةٍ خَاصَّةٍ وَ رَحِيمٌ بِرَحْمَةٍ خَاصَّةٍ

Bilmukminiina Ra-uufun bi ra’fatin khaash-shatin, wa Rahiimun bi rahmatin khaash-shatin” (… terhadap kaum beriman, dia [Muhamad] itu amat berbelaskasihan dengan sifat belas kasihan yang khas, dan amat penyayang dengan kasih sayang yang khas ).

 

Atau akan berbunyi :

بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ  بِرَأْفَةٍ بَشَرِيَّةٍ وَ رَحِيمٌ بِرَحْمَةٍ بَشَرِيَّةٍ

Bilmukminiina Ra-uufun bi ra’fatin basyariyyatin, wa Rahiimun bi rahmatin basyariyyatin” (… terhadap kaum beriman, dia [Muhamad] itu amat berbelaskasihan dengan sifat belas kasihan yang manusiawi, dan amat penyayang dengan kasih sayang yang manusiawi).

 

Akan tetapi semua hal itu tidak ditemukan dalam salah satu ayat-ayat Al-Qur’an, bahkan Allah swt menetapkan untuk diri Rasulullah saw dengan sifatرَءُوفٌ رَحــيمٌ”, Ra-uufur Rahiim secara mutlak, tanpa pembatasan dan syarat tertentu sebagaimana tersebut dalam QS At-Taubah.[9] : 128 di atas

 






Selasa, 23 Juli 2013

PYPD - 50. KEPEDULIAN PEMERINTAH SAUDI TERHADAP PENINGGALAN SEJARAH ISLAM




 
Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki


SIKAP KERAJAAN ARAB SAUDI TERHADAP BENDA PENINGGALAN SEJARAH

Semoga Allah swt tetap memberikan taufiq dan anugerah-Nya kepada Pemerintahan kami (Kerajaan Arab Saudi) yang sangat peduli dan mencurahkan perhatiannya terhadap benda-benda purbakala atau bekas peninggalan sejarah masa lalu, sebagai wujud usahanya dalam menjaga kelestarian warisan sejarah kebudayaan dunia Islam. Untuk kepentingan ini, Pemerintah mendirikan sebuah Kantor Urusan Peninggalan Sejarah yang secara khusus menangani persoalan bekas peninggalan sejarah dan kepurbakalaan  berdasarkan Undang-undang khusus yang mengacu pada Surat Keputusan Kerajaan Nomor : M/26, tertanggal : 23/2/1398 H.

Kemudian dibentukkan sebuah Majlis atau Dewan dengan nama Al-Majlis al-A’la lil Atsar (Majlis Tinggi Urusan Peninggalan Sejarah) yang secara khusus menangani hal-hal yang berkaitan dengan peninggalan sejarah dan kepurbakalaan berdasarkan Keputusan Dewan Menteri Nomor : 235, tanggal : 21/2/1398 H, yang diketuai oleh Direktorat Kementerian Pendidikan, dengan anggota terdiri dari Direktorat Kementeri Dalam Negeri, Direktorat Kementerian Keuangan, Kementerian Wakaf dan Haji, serta Kementerian Penerangan dan Peninggalan Sejarah.

Di antara maksud dan tujuan dibentuknya Majlis tersebut, sebagaimana yang dirumuskan didalam didalam Perundang-undangan, adalah mengkolekasi dan pengumpulan secara besar-besaran benda purbakala berdasarkan informasi yang tersedia demi terjaminnya kelestarian situs sejarah/kepurbakalaan sampai pada tujuan akhir yang diharapkan.



KELESTARIAN PENINGGALAN SEJARAH

Substansi pasal 6 dari Perundang-undangan tersebut berisi uraian tentang pengambilalihan dan penguasaan situs atau daerah yang terdapat bekas-bekas peninggalan sejarah-kepurbakalaan, bekerjasama dengan instansi-instansi lain di seluruh negeri sesuai dengan kekhasan urusan masing-masing; melestarikan benda-benda peninggalan sejarah dan lokasi-lokasi yang memiliki nilai historis, seperti menguasai benda-benda peninggalan sejarah, bangunan-bangunan yang memiliki nilai historis, lokasi monumental, dan peninggalan sejarah lainnya yang oleh Pemerintah dipandang memiliki nilai historis dan artistik yang tinggi, yang perlu dilindungi, diteliti dan dipublikasikan sesuai dengan ketentuan hukum yang ditetapkan perundang-undangan ini.


MASJID DAN TEMPAT PERIBADATAN : PENINGGALAN SEJARAH YANG PENTING

Substansi pasal 7 berisi ketentuan tentang peninggalan sejarah yang bersifat permanen dan yang dapat dipindahkan :

1.  Benda-benda peninggalan sejarah yang bersifat permanen adalah benda yang menempel di bumi seperti goa alam; goa buatan yang secara khusus dibuat untuk perlindungan arau hunian manusia purba; prasasti atau  bebatuan yang berisi lukisan manusia, hewan, tulisan kitab-kitab kuno dan lukisan-lukisan lainnya. Demikian pula puing-puing bekas reruntuhan bangunan kota kuno, perkakas rumah tangga dan instalasi lainnya yang terkubur didalam bumi; bangunan-bangunan kuno yang memiliki nilai historis yang dibangun untuk tujuan-tujuan yang beragam, seperti bangunan masjid, tempat peribadatan non muslim, istana dan kraton kerajaan jaman dahulu, rumah sakit, benteng pertahanan, gelanggang, pemandian umum, makam-makam kuno, bendungan/dam, dan puing-puing reruntuhan lainnya, serta hal-hal yang berkairtan dengannya seperti pintu, jendela,  tiang penyanggah bangunan, tangga, balkon, atap, pagar, mahkota dan sejenisnya.
2.  Benda-benda peninggalan sejarah yang dapat dipindahkan adalah benda-benda yang sengaja diciptakan manusia yang pada tabiatnya terpisah dengan bumi, atau terpisah dengan bangunan-bangunan bersejarah, atau sesuatu yang mungkin dapat dipindahkan tempatnya, seperti patung, arca, pahatan, serta barang produksi apapun bahannya, tujuan pembuatannya dan fungsinya.


BILIK MAKAM RASULULLAH SAW, MASJID NABAWI DAN AL-QUBBATUL HADHRA’

Sebagian provokator memiliki rencana dan usulan pemikiran untuk memindahkan atau menggeser letak makam Rasulullah saw agar keluar dari bangunan Masjid Nabawi. Sewaktu  almarhum Raja Khalid bin Abdul Aziz mendengar ide tersebut, dia benar-benar marah, bahkan hal ini memancing pro dan kotra di kalangan kaum muslimin, serta mendorong munculnya fanatisme keagamaan mereka demi mempertahankan bilik makam tersebut agar tetap menyatu dengan bangunan Masjid Nabawi serta berusaha keras untuk merintangi maksud dan tujuan tersembunyi dari pengusulnya.

Semoga Allah swt memberkati para Raja penggantinya, yakni Raja Fahd bin Abdul Azizi. Semoga Allah swt menolong agama Islam, melindungi tempat-tempat bersejarah, peninggalan purbakala, tempat-tempat peribadatan dan negara ini. Amin.

Para provokator tersebut mendasarkan usulannya pada fatwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang intinya agar bilik makam Rasulullah saw dikeluarkan dari bangunan Masjid Nabawi. Namun perlu diketahui, bahwa syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri menolak dan mengingkari penyandaran tersebut, sebagaimana yang dia nyatakan didalam sebuah makalah yang dibacakannya di hadapan para peserta kongres:

“Penyandaran persoalan keagamaan yang dialamatkan kepadaku berikut ini merupakan suatu kebohongan yang sangat keji. Bahwa aku dituduh meninggalkan kitab-kitab para imam madzhab; aku tituduh mengatakan bahwa kaum muslimin sejak enam ratus tahun yang lalu tidak berada di atas ajaran agama yang benar; aku dikatakan mereka telah mempropagandakan diri untuk berijtihad secara mandiri; aku dituduh menolak taqlid dan keluar darinya; aku dikatakan pernah mengatakan bahwa perbedaan pendapat di kalangan para ulama adalah laknat dan dibenci Allah swt; aku dituduh  telah mengkafirkan orang yang bertawassul dengan kaum shalihin jaman dahulu, seperti para sahabat, tabiin, auliya’ dan para Nabi; aku dituduh mengkafirkan Al-Busyiry karena ucapannya ‘Ya Akramal Khalqi’ (Wahai makhluk termulia, yakni Nabi Muhammad saw); aku dikatakan pernah mengatakan, ‘Sekiranya aku mampu menghnacurkan bilik makam Rasulullah saw, tentu aku sudah menghancurkannya. Sekiranya aku mampu menghancurkan Ka’bah, tentu akan aku hancurkan talang emas lalu aku ganti dengan talang dari kayu’; aku dituduh melarang orang menziarahi makam Rasulullah saw, makam kedua orang tua dan makam-makam lainnya; aku dituduh mengkafirkan orang yang bersumpah dengan Nama selain Allah swt. Perlu kami tegaskan, bahwa keduabelas  tuduhan keji di atas hanya aku tanggapi dengan satu jawaban : “Subhanaka, hadza buhtanun ‘azhim, Maha Suci Engkau, Ya Allah, ini benar-benar kebohongan yang besar.” (Dikutip dari Surat-surat Pribadi   syaikh Muhammad bin Abdulwahhab, edisi khusus, pada halaman 63. Dan dituturkan juga didalam buku Ad-Durarus-Saniyyah juz 1, halaman 52).

Al-Qubbatul Hadhra’. Sebagian orang mengkaitkan usaha penghancuran Al-Qubbatul Hadhra’, yakni kubah hijau di atas Masjid Nabawi, dengan Fatwa syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Akan tetapi, sekalilagi dia menangkis dan menolak dengan keras pengkaitan tersebut didalam beberapa makalah, risalah dan suratnya.

Surat syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang ditujukan kepada Al-Qashim antara lain berisi penolakannya terhadap berbagai persoalan rawan dan menyimpang yang dialamatkan kepadanya, sebagaimana yang disebutkan di muka dengan beberapa tambahan, yaitu bahwa dia dituduh pernah : 1) mengkafirkan Ibnu al-Faridh dan Ibnu ‘Araby;  2) mengatakan bahwa Al-Qubbatul Hadhra’ perlu dihancurkan;  3) membakar kitab Dalailul Khairat dan kitab Raudhur-Riyahin lalu diganti dengan judul Raudhus-Syayathin. Terhadap tuduhan-tuduhan mereka tersebut, hanya dia jawab dengan satu kalimat : “Subhanaka, hadza buhtanun ‘azhim, Maha Suci Engkau. Ya Allah, ini benar-benar kebohongan yang besar”. (Baca buku Kumpulan Karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, volume 5, surat pertama dari kumpulan surat-surat pribadinya, halaman 12. Keterangan tersebut juga disebutkan didalam kitab Ad-Durarus-Saniyyah juz 1 pada halaman 28).

Suratnya yang lain pernah dia kirimkan kepada masyarakat di Irak, yang dialamatkan kepada syaikh As-Suwaidy, salah seorang ulama di Irak, sebagai tanggapannya terhadap beberapa pertanyaan seputar tuduhan sebagian orang kepadanya. Isi surat tersebut antara lain, bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menepis tuduhan pernah melakukan sesuatu, padahal dia belum pernah melakukannya, kemudian dia tanggapi sebagai kebohongan dan fitnah yang tidak ada buktinya : “Semuanya itu adalah sekedar desas-desus dan rekasa bohong yang semestinya tidak pantas dilontarkan oleh orang yang berakal sehat. Misalnya aku dituduh pernah mengkafirkan kaum muslimin yang tidak mengikuti ajakanku dan bahwa pernikahan mereka batal. Aku heran, bagaimana mungkin persoalan seperti itu masuk kedalam pikiran orang yang berakal sehat?! Apakah desas-desus dan rekayasa bohong tersebut diucapkan orang Islam ataukah Kafir, orang berilmu ataukah bodoh?. Demikian pula tuduhan mereka bahwa aku pernah mengatakan, ‘Sekiranya aku mamp[u menghancurkan Al-Qubbatul Hadhra’ (Kubah Hijau) di masjid Rasulullah saw, tentu aku hancurkan’. Mengenai kasus kitab Dalailul Khairat, memang ada penyebabnya, yaitu bahwa aku memandang jelek setiap orang yang beranggapan bahwa membaca kitab Dalailul Khairat itu lebih mulia dan penting daripada membaca kitab suci Al-Qur’an.  Mengenai tuduhan mereka tentang perintah pembakaran terhadap kitab Dalailul Khairat dan larangan bershalawat kepada Rasulullah saw dengan shighat dan lafazh yang bermacam-macam adalah suatu kebohongan”. (Majmu’ al-Mu-allafat, Kumpulan karangan syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, volume 5, pada bagian surat-surat pribadi, halaman 37).

 

==============================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)