Jumat, 19 Juli 2013

PYPD - 33. BERTABARRUK DENGAN RAMBUT, SISA AIR WUDHU, AIR LUDAH, KERINGAT & KULIT RASULULLAH SAW *)




Oleh : Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki




Pengertian Tabarruk

 Banyak orang yang salah faham dalam memahami hakekat ber-Tabarruk kepada Rasulullah saw, petilasan dan bekas benda peninggalannya, ahli baitnya, serta kepada para Pewaris-nya dari kalangan para ulama dan auliya’. Mereka memandang persoalan tabarruk sebagai perbuatan syirik dan sesat. Pandangan dan anggapan yang demikian menunjukkan kekerdilan dan kesempitan wawasan ilmu mereka.

Sebelum kami ketengahkan bukti dan argumentasi tentang diperbolehkannya atau bahkan disyariatkannya bertabarruk, sebaiknya kita ketahui dulu tentang Hakekat Tabarruk itu sendiri. Bahwa Tabarruk, tiada lain, adalah suatu bentuk Tawassul kepada Allah swt melalui perantaraan sesuatu yang ditabarruki, baik perantara tersebut berupa benda bekas peninggalan, tempat-tempat tertentu, maupun pribadi seseorang.

Mengenai bertabarruk kepada pribadi seseorang, selain kita meyakini adanya keutamaan dan kedekatan orang itu dengan Allah swt, kita juga harus berkeyakinan bahwa orang tersebut pada hakekatnya tidak mampu mendatangkan kebaikan dan kemanfaatan, serta tidak kuasa menolak keburukan dan kemadharatan, kecuali dengan seizin Allah swt.

Sedangkan bertabarruk dengan benda bekas peninggalan sejarah masa lalu adalah semata-mata disebabkan keterkaitannya dengan kewibawaan, kehormatan dan kemuliaan para Tokoh (Anbiya’, auliya’, kaum shalihin dan semisalnya) di sisi Allah swt. Bukan semata-semata disebabkan bahwa “Benda”  tersebut memang memiliki kekuatan supranatural, kehebatan dan kemampuan mutlak.

Sementara bertabarruk dengan Tempat-tempat bersejarah, jika dipandang dari sudut bentuk barangnya sama sekali tidak memiliki kemuliaan dan kehormatan, tidak ada bedanya dengan tempat-tempat lainnya di dunia. Tempat tersebut menjadi penuh berkah lebih disebabkan oleh keadaannya yang pernah ditempati  kaum Shalihin (para hamba Allah swt yang shaleh) untuk melakukan kebaikan dan kebajikan di situ, seperti shalat, puasa dan berbagai ragam bentuk peribadatan lainnya. Karena di tempat itulah Rahmat Allah swt pernah diturunkan, para malaikat pernah hadir, dan juga ketenangan dan ketentraman pernah diturunkan di situ. Itulah keberkahan yang perlu kita cari dari Allah swt yang pernah diturunkan-Nya di tempat tersebut. Di tempat-tempat itu pula, Anda dapat mencari keberkahan dengan cara melakukan Tawajjuh, berdoa dan beristighfar kepada Allah swt, disertai mengingat kembali dan merenungkan peristiwa-peristiwa sejarah yang pernah terjadi di tempat tersebut, serta mengingat kembali kebesaran, kepahlawanan dan perjuangan para pelaku sejarahnya untuk kita jadikan sebagai suri teladan.



Bertabarruk dengan rambut, sisa air wudhu, air ludah dan keringatnya 
Bertabarruk dengan rambut Rasulullah saw.  Diceritakan oleh Ja’far bin Abdullah bin Al-Hakam, bahwa Khalid bin Walid pernah kehilangan topi penutup kepala pada waktu perang Yarmuk. Dia lalu memerintahkan anak buahnya agar mencarinya sampai ketemu. Namun mereka tidak berhasil menemukannya. Dia memerintahkan sekali lagi kepada mereka, akhirnya topi yang kelihatannya sudah kumal, kusut dan tidak menarik tersebut berhasil ditemukan. Khalid bin Walid mengkisahkan tentang sejarah topi-nya: “Setelah selesai beribadah Umrah, Rasulullah saw bercukur rambut. Orang-orang berkerubung di sekitar beliau saw dan saling memperebutkan setiap helai rambutnya yang jatuh. Aku mendahului mereka mengambil rambut bagian ubun-ubun beliau saw, lalu aku simpan didalam topiku ini. Selama topi ini aku pakai di setiap ada pertempuran, aku selalu menang”.

Bertabarruk dengan sumur Bidha’ah. Riwayat dari Malik bin Hamzah bin Abi Usaid al-Sa’idy al-Khazrajy, dari bapaknya, dari kakeknya, yakni Abu Usaid, bahwa ia memiliki sebuah sumur di Madinah yang terkenal dengan nama Sumur Bidha’ah. Rasulullah saw pernah meludah di sumur itu, lalu meminum airnya dan mengharap keberkahan dan kebaikan melalui perantaraan sumur tersebut. (HR At-Thabrany dan para perawinya Tsiqah).

Bertabarruk dengan air ludah, dahak dan sisa air wudhu Rasulullah saw. Kesaksian Urwah bin Mas’ud ra tentang perilaku para sahabat terhadap Rasulullah saw diceritakan kembali oleh Imam  Bukhary : “… ‘Urwah pernah diutus oleh kaumnya, Kafir Quraisy Mekkah untuk menemui Rasulullah saw. Saat itu ia sempat  melirik dan menyaksikan secara langsung perilaku para sahabat terhadap pribadi Rasulullah saw, lalu ia berkomentar: “Demi Allah! Rasulullah saw tidak berdahak melainkan dahaknya itu jatuh di telapak tangan salah seorang sahabat beliau, terus diusapkan ke wajah dan sekujur tubuhnya. Jika beliau mengeluarkan perintah, mereka berebut untuk diperintah. Jika beliau berwudhu, mereka berebutan mengambil sisa air wudhunya, hampir-hampir seperti orang bertarung. Jika  berbicara di hadapan beliau, mereka tidak berani mengeraskan suaranya, dan mereka tidak berani memandang wajah beliau sebagai wujud pengagungan dan penghormatan mereka kepada beliau”.       

Selanjutnya Urwah bin Mas’ud kembali menemui kawan-kawannya (kaum Kafir Quraisy) dan berkata: “Hai kamku! Aku sudah bertemu dengan para Raja, dan belum pernah melihat seorang Raja pun yang sangat dihormati rakyatnya melebihi penghormatan para sahabat kepada Muhammad.  Demi Allah! Muhammad tidak pernah meludah melainkan ada seorang sahabat yang menadai ludahnya di telapak tangannya …” dan seterusnya.

 Cerita Urwah di atas diketengahkan kembali oleh Imam Bukhary didalam kitab Asy-Syurut, pada bab Asyurut fil Jihad. (Lihat : Fathul Bary, juz 5, hal. 330)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany berkomentar : “Didalamnya terkandung ajaran tentang sucinya air dahak, air ludah, potongan rambut, serta ajaran bertabarruk dengan sisa air wudhu kaum shalihin. Barangkali para sahabat melakukan  secara berlebihan yang demikian itu di hadapan Urwah bin Mas’ud yang menjadi utusan kaum Kafir Quraisy tersebut adalah sebagai isyarat untuk menepis anggapan bahwa mereka (para sahabat) dikhawatirkan akan lari dari pertempuran meninggalkan beliau saw. Dengan tindakan itu mereka seakan-akan berbicara dengan bahasa isyarat: “Orang-orang yang  sangat mencintai dan menghormati pemimpinnya, bagaimana mungkin mereka akan lari darinya, lalu menyerah kepada musuh? Bahkan mereka sangat gembira dan senang membela pemimpinnya dan agamanya dari gangguan kabilah-kabilah dan musuh, sekalipun sangat kuat”. Cerita ini sekaligus terkandung suatu ajaran tentang diperbolehkannya bertawassul kepada Allah swt dengan perantaraan apa saja yang disebutkan didalam kisah Urwah di atas, dengan berbagai cara yang dibenarkan oleh agama.”. (Demikianlah yang dijelaskan didalam kitab Fathul Bary, juz 5, hal. 341).

Petunjuk Rasulullah saw menjaga sisa air wuhdunya. Kisah dari Thalq bin Ali, ”Kami berangkat menuju ke Madinah menemui Rasulullah saw, lalu kami berbai’at kepada beliau dan shalat bersamanya. Kami bercerita kepada beliau saw bahwa di negeri kami ada sebuah bangunan gereja yang mangkrak. Kami berencana utuk mengubah statusnya menjadi masjid. Kami memohon sisa air wudhu beliau saw dan beliau mengabulkannya. Kemudian beliau saw menyuruh kami mengambil air untuk wudhu dan kumur beliau, lalu sisa air wudhu dan kumur beliau tersebut dituangkan kedalam sebuah bejana untuk diberikan kepada kami, seraya bersabda : “Pulanglah! Jika sudah sampai di negerimu, robohkan bangunan gerejamu (yang sudah mangkrak) itu dan percikilah dengan air ini, selanjutnya jadikanlah sebagai masjid”. Kami berkata kepada beliau saw : “Negeri kami jauh, suhu udara di tengah perjalanan sangat panas, sementara air didalam bejana ini mudah menguap, sehingga air ini dikhawatirkan habis di tengah perjalanan”. Beliau saw bersabda : “Tambahkanlah air secukupnya, karena tidak menambahinya melainkan tambahan yang baik”.

Bertabarruk dengan rambut Rasulullah saw setelah wafatnya. Kisah dari Usman bin Abdullah bin Mauhib: “Keluargaku mengutusku datang menemui Ummu Salamah ra dengan membawa semangkok air. Ummu Salam keluar sambil membawa wadah seperti genta yang terbuat dari perak. Didalamnya berisi beberapa lembar potongan rambut Rasulullah saw. Orang yang tertimpa penyakit mata atau penyakit lainnya biasanya mengutus seseorang untuk menemuinya dengan membawah wadah Makhdhabah untuk bertabarruk dengan rambut beliau saw tersebut”. Pada kesempatan lainnya, Usman bin Abdullah menuturkan lagi: “Aku mencoba melihat isi genta milik Ummu Salamah ra, ternyata berisi beberapa helai potongan rambut Rasulullah saw yang sudah berwarna kemerah-merahan”. (Diriwayartkan Imam Bukhary didalam kitab Al-Libas, pada bab Maa yadzkuru fisy-syaib).

Imam Al-‘Ainy menjelaskan lebih rinci lagi, bahwa Ummu Salamah ra memiliki beberapa helai potongan rambut Rasulullah saw yang sudah berwarna kemerah-merahan, yang disimpannya didalam sebuah wadah menyerupai genta terbuat dari perak. Orang-orang yang tertimpa suatu penyakit sama Bertabarruk dengan rambut beliau saw tersebut dan mengharap kesembuhan kepada Allah swt dengan perantaraannya. Mereka mengambil rambut beliau saw itu lalu dicelupkan kedalam wadah berisi air yang mereka bawa dari rumah, lalu airnya diminumkan kepada orang yang sakit. Tidak lama kemudian mereka sembuh. Keluarga Usman bin Abdullah pun tak mau ketinggalan ikut bertabarruk, ia ambil sehelai rambut lalu dicelupkan kedalam air, terus airnya diminumkan kepada  keluarganya yang sakit, maka sembuhlah ia. Pada kesempatan yang berbeda, mereka mengutus lagi Usman bin Abdullah menemui Ummu Salamah ra sambil membawa gelas berisi air dengan tujuan untuk bertabarruk. Ia mencoba melihat isi genta milik Ummu Salamah ra, dan tenyata berisi beberapa helai potongan rambut Rasulullah saw yang sudah berwarna kemerah-merahan.

Rasulullah saw membagi-bagikan potongan rambutnya kepada para sahabat. Imam Muslim mengetengahkan hadis dari Anas bin Malik ra, yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw datang ke Mina untuk melempar Jumrah, kemudian kembali ke kemahnya, diteruskan dengan menyembelih hewan dan mencukur rambut. Beliau saw bilang kepada tukang cukur: “Ambillah!”, sambil memberi isyarat pada bagian rambut sebelah kanan dan kirinya, kemudian membagi-bagikannya pada sahabat.

At-Tirmidzy menuturkan riwayat dari Anas bin Malik ra : setelah  melempar Jumrah, Rasulullah saw menyembelih hewan, kemudian tukang cukur mencukur rambut sebelah kanannya dan diberikan kepada Abu Thalhah ra. Lalu mencukur rambut sebelah kirinya dan beliau saw bersabda : “Bagikan kepada orang-orang”.

Riwayat At-Tirmidzy secara jelas menuturkan bahwa rambut yang beliau perintahkan kepada Abu Thalhah agar dibagi-bagikan kepada orang-orang adalah bagian rambut sebelah kiri. Demikian pula hadis riwayat Imam Muslim dari jalur Ibnu ‘Uyainah. Sedangkan riwayat Hafsh bin Ghiyats dan Abdul A’la berbunyi : “Sesungguhnya potongan rambut yang beliau saw berikan kepada orang-orang adalah potongan rambut sebelah kanan”.

Didalam riwayat Hafsh, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim terdapat teks yang berbunyi : “Dimulai dengan mencukur sebelah kanan, lalu dibagi-bagikan satu-satu atau dua-dua helai kepada orang-orang. Kemudian beliau saw memerintahkan tukang cukur agar mencukur rambut bagian kiri dan dibagi-bagikannya seperti itu”

Imam Ahmad bin Hambal meriwayatkan suatu hadis didalam Musnad-nya, bahwa rambut Rasulullah saw yang dikirimkannya melalui Anas bin Malik ra, kepada Ummu Sulaim ra, ibunya Anas bin Malik ra dan isterinya Abu Thalhah, adalah potongan rambut sebelah kanan, sebagaimana yang diceritakan oleh Anas : “Sewaktu Rasulullah saw mencukur rambutnya di Mina, beliau saw ambil potongan rambut sebelah kanan dengan tangannya sendiri, terus diberikan kepadaku sambil bersabda: ‘Hai Anas bin Malik ra! Berikan rambut ini kepada ibumu, Ummu Sulaim’. Setelah orang-orang menyaksikan sesuatu yang diberikannya secara khusus kepadaku, mereka terus saling memperebutkan potongan rambut beliau yang lain”.

Analisis.  Beberapa riwayat hadis di atas nampaknya saling bertentangan. Hadis yang satu menjelaskan bahwa yang diberikan Rasulullah saw kepada Abu Thalhah adalah potongan rambut sebelah kanan. Sedang yang diberikan kepada orang-orang adalah potongan rambut sebelah kiri. Hadis yang lainnya menjelaskan bahwa beliau saw memberikan potongan rambut sebelah kiri kepada Ummu Sulaim ra.

Bebarapa ulama berusaha untuk mengkompromikan riwayat-riwayat yang nampak saling bertentangan tersebut. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa pada waktu Rasulullah saw mencukur rambut sebelah kanannya, beliau saw lalu memberikannya kepada Abu Thalhah. Dan hal ini tidak bertentangan dengan riwayat kedua yang menjelaskan bahwa beliau saw membagi-bagikan potongan rambut sebelah kanannya kepada orang banyak, sementara potongan rambut yang kirinya diberikan kepada Ummu Sulaim, yakni isteri Abu Thalhah yang juga ibunya Anas bin Malik ra. Kesimpulannya: Sewaktu memotong rambut sebelah kanannya, beliau saw lalu memberikannya kepada Abu Thalhah agar dibagi-bagikan kepada kepada orang banyak. Sementara potongan rambut sebelah kirinya untuk dimiliki keluarga Abu Thalhah untuk disimpan isterinya, yakni Ummu Sulaim.

Sementara Al-Muhibb At-Thabary berpendapat: “Yang benar, bahwa yang dibagi-bagikan kepada orang banyak adalah potongan rambut sebelah kanan. Sedangkan potongan sebelah kirinya diberikan kepada  sepasang suami-isteri, Abu Thalhah dan Ummu Sulaim. Dengan demikian tidak ada lagi pertentangan di antara kedua riwayat di atas. Karena Ummu Sulaim adalah isterinya Abu Thalhah, maka Rasulullah saw memberikan potongan rambut sebelah kirinya, sebagian kepada Abu Thalhah dan sebagian kepada isterinya, Ummu Sulaim”.

Dari uraian yang cukup panjang di atas dapat kita petik suatu pelajaran yang sangat penting, yakni tentang diperbolehkannya bertabarruk pada rambut Rasulullah saw dan benda bekas peninggalan sejarah beliau saw yang lain. Kemudian Imam Ahmad bin Hambal mengetengahkan riwayat didalam Musnad-nya, yang disandarkannya kepada Ibnu Sirin, yang diterima dari Ubaidah al-Salmany, bahwa ia memahami dan menafsirkan hadis tadi dengan pernyataannya : “Sekiranya aku memiliki sehelai rambut Rasulullah saw, hal itu lebih aku sukai daripada semua emas dan perak yang ada di permukaan dan perut bumi”.

Tidak sedikit orang menuturkan bahwa Khalid bin Walid mempunyai topi yang didalamnya tersimpan beberapa helai rambut Rasulullah saw. Kemana saja ia berangkat berperang, topi tersebut tidak lepas dari kepalanya, sehingga berkat topi itu Allah swt selalu memberikan kemenangan kepdanya. Kisah ini diperkuat oleh penjelasan Al-Mala didalam buku Sirah-nya, bahwa Khalid bin Walid meminta kepada Abu Thalhah agar diberi rambut bagian ubun-ubun sewaktu sedang dibagi-bagikan rambut  tersebut kepada orang banyak. Permintaan Khalid dikabulkan, lalu  beberapa helai rambut beliau saw tersebut ia simpan didalam topi yang selalu ia bawa setiap kali maju berperang. (Lihat kitab ‘Umdatul Qary : Syarh Al-Bukhary, juz 7; hal. 230 – 231).

Bertabarruk dengan keringat Rasulullah saw. Riwayat dari Usman bin Abdullah, dari Anas bin Malik ra, menjelaskan bahwa pada suatu siang Ummu Sulaim menggelar tikar dari kulit yang secara khusus dipersiapkan untuk alas tidur Rasulullah saw yang kebetulan mampir ke rumahnya. Setelah beliau saw tidur, Ummu Sulaim mengambili keringat dan rambut beliau saw, lalu dimasukkannya kedalam sebuah botol, kemudian dicampurinya dengan minyak wangi. Pada saat akan wafat, Anas bin Malik ra (yang mewarisi botol tersebut) berwasiat agar ramuan rempah-rempah (yang biasa dipakai mengolesi badan mayit agar tidak lekas rusak) dicampuri  minyak wangi yang bercampur dengan keringat beliau saw tersebut. Wasiat itu dilaksanakan oleh keluarganya. (HR Bukhary didalam kitab “Al-Isti’dzan man zaara qauman fa qala ‘indahum”)

.Riwayat yang diketengahkan Imam Muslim menjelaskan, bahwa Anas bin Malik ra mengatakan : “Rasulullah saw mengunjungi rumah kami. Beliau saw tidur siang di rumah kami dan  berkeringat. Maka datanglah ibuku, Ummu Sulaim ra, dengan membawa botol untuk menampung tetesan keringat beliau saw yang terus mengalir. Kemudian beliau saw terbangun dan langsung bersabda, “Hai Ummu Sulaim! Apa yang sedang engkau lakukan?”. Ini, keringatmu. Aku kumpulkan dan akan aku campurkan dengan minyak wangi. Keringat ini semakin menambah keharuman minyak wangi ini”.

Riwayat dari Ishaq bin Abu Thalhah menjelaskan bahwa Rasulullah saw berkeringat di tengah tidurnya. Keringatnya itu terus mengalir di atas tikar dari kulit yang tersedia, lalu dia (Ummu Sulaim) berusaha memeras keringat yang terserap tikar tersebut, lalu dimasukkannya kedalam botol. Rasulullah saw bertanya setelah terbangun, “Apa yang sedang engkau lakukan?”. Dia jawab, “Kami berharap keberkahan dari keringatmu ini untuk anak-anak kami”. Beliau saw bersabda, “Benar perbuatanmu!”.

Kesimpulan : Rasulullah saw sangat memperhatikam apa yang dikerjakan Ummu Sulaim, bahkan beliau membenarkannya dan tidak mengingkarinya. Tujuan Ummu Sulaim mengumpulkan keringat Rasulullah saw adalah untuk dijadikan sebagai campuran minyak wangi dan ingin mendapatkan keberkahan darinya. (Fathul Bary, juz 11, hal. 2)



 Bertabarruk Dengan Mengusap Kulit Rasulullah saw

 
Dari Abdurrahman bin Abi Laily, dari ayahnya, ia berkata : “Usaid bin Hudhair adalah seorang sahabat yang shaleh yang selalu tersenyum, humoris dan ramah. ketika berada di sisi Rasulullah saw, ia bercakap-cakap dengan para sahabat dan membuat mereka tertawa. Menyaksikan hal itu, beliau saw memukulkan ujung tongkatnya tepat mengenai pusar Usaid. Seketika itu jua ia protes : ‘Ya Rasulullah ! Engkau menyakiti aku’. Beliau saw bilang: ‘Kalau begitu, balaslah aku!’ Kata Usaid : ‘Ya Rasulullah! Engkau memakai pakaian (gamis), sementara  aku tidak memakainya sewaktu engkau pukul’.  Beliau saw lalu menyingkapkan bajunya ke atas sampai perutnya kelihatan, dan tiba-tiba Usaid langsung memeluk dan mencium perut beliau sambil berkata : ‘Demi Allah, Ya Rasulullah ! Inilah yang aku kehendaki’.

Al-Hakim mengatakan, bahwa hadis di atas shahih isnadnya, tetapi tidak diketengahkan oleh Bukhary dan Muslim. Adz-Dzahaby menyetujuinya dan menilainya shahih.

Ibnu Ishaq mengetengahkan riwayat dari Hibban bin Wasi’ yang ia dapatkan dari para gurunya, bahwa Rasulullah saw sewaktu sedang menginspeksi pasukannya sambil memerintahkan agar barisan mereka lurus, beliau saw lewat di depan Sawad bin Ghaziyah, salah seorang sekutu Bani ‘Ady bin an-Najjar. Saat itu barisannya tidak lurus, kemudian beliau saw memukulkan tongkatnya ke perut Sawad seraya memerintahkan : “Luruskan barisanmu, hai Sawad!”. Sawad pun prote: “Hai Rasulullah! Engkau mrnyakitiku. Padahal engkau diutus Allah swt dengan membawa kebenaran dan keadilan. Berilah aku kesempatan untuk membalasmu!”  Rasulullah saw menyadari hal itu dan langsung menyingkapkan bajunya seraya bersabda: “Silahkan kamu balas!”. Sawad kemudian memeluk dan menciumi perut Rasulullah saw. Beliau saw bersabda, “Apa yang mendorongmu melakukan ini, hai Sawad!”. “Seperti yang engkau lihat, Ya Rasulullah saw! Peperangan hampir terjadi. Aka mengharapkan agar pada akhir hayatku nanti, kulitku dapat bersentuhan dengan  kulitmu”. Beliau saw selanjutnya mendoakan kebaikan untuk Sawad.  (Tersebut didalam kitab Al-Bidayah, juz 4, hal. 271, karya Ibnu Katsir).

Abdurrazzaq mengetengahkan riwayat dari Al-Hasan, sebagaimana yang disebutkan didalam kitab Al-Kanz, juz 15, hal. 91, bahwa seorang sahabat Anshar yang bernama Sawadah bin ‘Amr suka berjalan sambil menirukan cara berjalannya orang pincang. Rasulullah saw merasa gemas dengan tingkah laku yang demikian itu. Pada suatu hari, dia datang menemui Rasulullah saw dalam keadaan berjalan seperti orang pincang, lalu beliau saw menarik tongkat yang ada di tangannya hingga ia jatuh dan luka. “Qishas, Ya Rasulullah!”, protes Sawad. Beliau saw lalu mengembalikan tongkatnya dan dia diberi kesempatan untuk membalas beliau. Saat itu beliau saw berpakaian rangkap dan keduanya beliau singkap agar ia membalas beliau. Orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut sama menghardik Sawadah, namun beliau saw melarang mereka, sampai beliau menuju ke tempat ia jatuh. Di tempat itu, Sawadah tiba-tiba melempar tongkatnya, terus memeluk dan mencium tubuh beliau saw seraya berkata, “Ya Rasulullah! Aku mengharapkan engkau memberiku syafaat pada hari kiamat nanti!”.




========================================

*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)



Tidak ada komentar: