Selasa, 04 Juni 2013

PYPD - 15. Kenyataan Yang Tidak Perlu Diperdebatkan *)

_____________________________________________
Penulis : Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki



Perdebatan tetap berlangsung di kalangan para ulama mengenai kenyataan dan kebenaran yang menyangkut persoalan Aqidah Islamiyah yang sebenarnya tidak diwajibkan Allah swt kepada kita untuk diperdebatkan. Kami memandang bahwa pembahasan dan perdebatan tersebut justru menghilangkan kredibilitas, keagungan dan keluhuran hakekat kebenaran agama yang bersifat dogmatik tersebut. Misalnya perdebatan mengenai masalah melihatnya Rasulullah saw kepada Dzat Allah swt. Bagaimana peristiwa  itu bisa terjadi sehingga menimbulkan perselisihan pendapat yang berkepanjangan ?! Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa Rasulullah saw melihat Allah swt adalah dengan Hati Nuraninya, bukan melihat-Nya dengan mata telanjang. Yang lain berpendapat, beliau saw memang benar-benar melihat-Nya dengan mata kepala. Masing-masing kelompok menyertakan argumentasi, dalil dan segala upaya mereka dalam mempertahankan pendapatnya. Apa yang mereka lakukan itu sebenarnya adalah sekedar sandiwara, tanpa guna, sia-sia dan tidak ada manfaat sedikit pun yang mereka peroleh. Bahkan lebih besar bahayanya daripada kemanfaatannya, jika hal itu didengar oleh orang-orang awam. Karena  hati mereka akan semakin ragu-ragu terhadap kebenaran akidah yang terkandung didalamnya.
Kami memandang bahwa persoalan tersebut adalah termasuk persoalan yang bersifat dogmatik, suatu kebenaran agama yang tidap perlu diperdebatkan lagi. Kita yakin bahwa Rasulullah saw benar-benar telah melihat Tuhannya tanpa perlu memperdebatkan tentang bagaimana caranya dan dalam kondisi seperti apa. Hal ini disebabkan oleh keterbatsan akal pikiran manusia untuk menguak hakekat kebenaran yang sesungguhnya hanya Allah swt dan Rasulullah saw saja yang lebih mengetahui.
Di antara beberapa persoalan akidah yang bersifat dogmatik, yang memiliki kebenaran mutlak dan tidak perlu diperdebatkan lagi adalah sebagai berikut :


1. Allah Berdialog dengan Nabi Musa as
 
Allah swt befirman :
 
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا(164)
Dan Allah telah berbicara kepada Nabi Musa secara langsung” (QS An-Nisa’,[4] : 164)

Yang menjadi sumber perselisihan pendapat di kalangan para ulama adalah mengenai hakekat “kalam” (pembicaraan) Allah swt itu sendiri. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “Kalam” adalah Firman Allah swt itu sendiri, atau Dia benar-benar berbicara  sendiri secara langsung. Yang lain berpendapat, bahwa “Kalam”-Nya itu berbentuk huruf dan suara. Kami berkeyakinan bahwa masing-masing pendapat tersebut dikemukakan dalam rangka mencari hakekat “Tanzih” (transendensi, kesucian) bagi Allah swt dan jauh dari syirik dalam berbagai bentuknya.
Persoalan “Kalam” merupakan suatu kenyataan yang pasti, tetap dan bersifat dogmatik. Tidak ada jalan untuk mengingkarinya. Karena dilihat dari satu sisi, mengingkarinya tidak otomatis menghilangkan kesempurnaan Allah swt, dan dari sisi yang lain, bahwa sifat-sifat Allah swt yang disebutkan didalam Al-Qur’an harus diimani keberadaannya, disebabkan tiada seorang pun yang mampu mengenal hakekat Allah swt dengan sebenarnya melainkan Dia sendiri.
Orang-orang yang mencoba memandang dan membahas “Kalam” Allah swt sekedar sebagai usaha menetapkan keberadaan kebenaran “Kalam-Nya” kepada Nabi Musa as. Tidak sampai pada usaha untuk menyelami secara mendalam tentang bagaimana peroses kejadian dan bentuknya. Tujuan akhir dari penjelajahannya itu adalah untuk menetapkan bahwa Allah swt benar-benar memiliki sifat “Kalam”,  sehingga kita dapat mengatakan: “Ini adalah Kalam Allah, dan bahwa Allah swt adalah Dzat yang Berfirman”.
Kalau sudah tercapai demikian, sekarang marilah kita tinggalkan penyelaman dan penelitian secara mendalam tentang bagaimana keberadaan “Kalam” Allah itu, apakah ia bersifat “Kalam Nafsi” (berfirman secara pribadi), ataukah “Kalam Ghairu Nafsi” (Berfirman bukan secara pribadi). Apakah “Kalam”-Nya itu berupa huruf dan suara, ataukah bukan. Karena hal itu belum pernah dibahas oleh Rasulullah saw itu sendiri. Oleh karena itu, kenapa masih ada saja orang yang membahas sesuatu masalah yang belum pernah dibahas Rasulullah saw, atau bahkan membahas sesuatu yang didiamkan oleh beliau saw. Apakah hal ini tidak berarti membuat-buat tambahan terhadap apa yang dibawa oleh Rasulullah saw ? Bukankah ini berarti Bid’ah yang paling jelek ? Subhanaka hadza buhtanun ‘azhim, “Maha Suci Engkau – Ya Allah -, ini benar-benar kebohongan besar”.

 
2. Kemampuan Rasulullah Melihat dari Arah Belakang
 
Perdebatan panjang terjadi di  kalangan para ulama mengenai hakekat kebenaran Hadis Nabi yang berbunyi :
 
إِنّيْ اَرَاكُمْ مِنْ خَلْفِيْ كَمَا اَرَاكُمْ مِنْ اَمَامِيْ
Sesungguhnya aku mampu melihatmu dari arah belakangku, sebagaimana aku melihatmu dari arah depanku”.

Segolongan ulama berpendapat: “Sesungguhnya Allah swt menjadikan Nabi Muhammad saw sepasang mata dari arah belakangnya”. Ada yang mengatakan bahwa Allah swt menjadikan kedua belah mata Rasulullah saw yang ada di depan memiliki kekuatan “tembus pandang” ke arah belakangnya. Sementara segolongan yang lain berpendapat : “Sesungguhnya Allah swt menjadikan apa saja yang ada di belakang Rasulullah saw seakan-akan berada di depan pandangannya, sehingga hal tersebut dapat dilihat beliau dengan jelas”.  Semua pendapat tersebut justru menurunan “Nilai” keluhuran hakiki yang terkandung didalamnya.
Kemampuan Rasulullah saw melihat sesuatu obyek dari arah depan dan belakangnya merupakan hakekat kebenaran yang tidak dapat diingkari, karena hal itu beliau ceritakan sendiri dalam hadis shahihnya. Namun kita tidak perlu memperdebatannya lebih jauh sampai pada persoalan bagaimana proses dan bentuknya. Kita sebaiknya meyakini kejadian itu sebagai suatu kemukjizatan, sehingga hukum “kausalitas” atau sebab akibat tidak berlaku untuk hal ini. Kita meyakini sepenuh hati bahwa kejadian semacam itu menunjukkan Kemahakuasaan Allah swt melalui perilaku Rasulullah saw.
 

3. Malaikat Jibril Menjelma Menjadi Seorang Lelaki
 
Para ulama berselisih faham mengenai kebenaran malaikat Jibril yang mampu merubah bentuk aslinya menjadi seorang lelaki sewaktu ia menyampaikan wahyu. Ada yang berpendapat bahwa pada saat itu Allah swt menghilangkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki seorang malaikat, yakni kelebihan “tidak mampu dilihat manusia, namun mampu melihat manusia”. Ada yang berpendapat lain, bahwa Allah swt menggabungkan sebagian wujud dan bentuk jasad Jibril dengan wujud dan bentuk jasad manusia, sehingga ia (Jibril) menjadi mengecil.
Kami berpandangan bahwa masing-masing pendapat tersebut bisa dikatakan sia-sia, tidak ada faedahnya, bahkan melecehkan dirinya sendiri.  Kita selaku pengikut Ahlussunnah wal Jamaah beri’tiqad, bahwa Allah swt Berkuasa melakukan apa saja sesuai dengan Kehendak-Nya, termasuk dalam persoalan penjelmaan malaikat Jibril tersebut.
Kejadian di atas memang benar-benar terjadi secara nyata dan dapat disaksikan dengan mata kepala. Sebagian besar para sahabat benar-benar menyaksikan malaikat Jibril menjelmakan dirinya menjadi seorang lelaki yang berwajah bersih dan ganteng. Kita tidak perlu susah-susah membahas dan memperdebatkan tentang tetek bengek proses penjelmaan tersebut. Kita hanya dituntut untuk mempercayai dan meyakini secara apa adanya, bahwa peristiwa tersebut merupakan suatu kenyataan yang benar-benar terjadi. Kita tidak dituntut untuk memperdebatkan, membahasnya secara mendalam dan menentangnya, apalagi mengingkarinya.



_____________________________________
*).  Sumber : diterjemahkan dari kitab "", karya DR. Sayyud Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki

Tidak ada komentar: