Jumat, 10 Mei 2013

PYPD - 8. Tolok Ukur Kekufuran dan Keimanan Seseorang




Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki



Sekelompok kaum yang sesat berpegangan pada makna dan bunyi lahiriyah ayat-ayat mutasyabihat, tidak dibarengi dengan memperhatikan qarinah-qarinah (indikasi, pokok persoalan) dan maksud yang terkandung didalamnya, serta tidak memandang ayat-ayat tersebut secara komprehenshif (menyeluruh) dalam kaitannya dengan ayat-ayat lainnya. Misalnya kaum muktazilah memandang kemakhlukan Al-Qur’an dengan mendasarkan diri pada firman Allah swt

إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْءَانًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Sesungguhnya Kami menjadikan Al Qur'an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami (nya).” (QS Az-Zukhruf,[43] : 3)

Golongan Qadariyah memandang kebebasan manusia dalam berkehendak dan bertindak, dengan mendasarkan diri pada firman Allah swt :

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS Asy-Syura,[42] : 30)

وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan diserukan kepada mereka: "Itulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan." (QS Al-A’raf,[7] : 43)

dan ayat-ayat lainnya. Sementara golongan Jabbariyah memandang keserbaterpaksaan manusia, dengan berpegangan pada firman Allah swt :

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". (QS As-Shaffat,[37] : 96)

وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى

dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” (QS Al-Anfal,[8] 17)

Dari semuanya itu maka terbukalah tabir, bahwa setiap muslim selain golongan Qadariyah berpendapat bahwa gerak-gerik perbuatan manusia adalah diciptakan Allah swt, sebagaimana yang dijelaskan oleh QS Al-A’raf’[7] : 43 dan Al-Anfal,[8] : 17. Meski demikian, manusia masih memiliki sifat menentukan perbuatannya menurut segi ta’alluq-nya yang lain, yakni yang diungkapkan dalam bentuk usaha, ikhtiar atau perbuatan, sebagaimana yang dijelaskan oleh QS Al-Baqarah,[2] : 286

لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ

“Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS Al-Baqarah,[2] : 286)

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

“Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri” (QS Asy-Syura,[42] : 30)

Dan masih banyak ayat lain yang secara tegas mengaitkan adanya otoritas suatu perbuatan atau usaha pada diri manusia. Dari segi keharusan Ta’alluq-nya sifat Qudrat terhadap makhluk, tidaklah dalam bentuk penciptaan (mengadakan yang tiada dan meniadakan yang ada) semata, karena sifat Qudrat Allah pada zaman azali telah berta’alluq dengan alam semesta ini sebelum ia diciptakan dalam wujudnya seperti sekarang ini. Ta’alluq semacam ini disebut Ta’alluq shuluhi qadim. Sifat Qudrat Allah sewaktu menciptakan alam ini adalah berta’alluq dengannya dalam bentuk Ta’alluq yang lain, yakni Ta’alluq tanjizi.

 

Hakekat Penisbatan Perbuatan Pada Manusia

Dari sini jelaslah bahwa ta’alluqnya sifat Qudrat tidaklah terkhusus atau tertentu dengan tercapainya Maqdur (makhluk, sesuatu yang menjadi obyek sifat Qudrat). Perbuatan manusia dinisbatkan kepadanya adalah atas dasar usaha-nya, bukan dalam pengertian bahwa usaha tersebut diciptakan oleh manusia itu sendiri, karena Allah-lah pada hekekatnya yang menciptakan, menentukan dan menghendaki perbuatan manusia tersebut. Penjelasan ini tidak dapat disangkal dengan pernyataan bahwa, bagaimana mungkin Allah swt menghendaki manusia untuk melakukan perbuatan apa saja yang dilarang-Nya, seperti perintah-Nya kepada manusia agar tetap beriman, sementara di sisi lain sebagian mereka tidak menghendaki keimanan tersebut,  sebagaimana firman-Nya :

وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman --walaupun kamu sangat menginginkannya.” (QS Yusuf,[12] : 103).

Untuk itu, penisbatan suatu perbuatan pada diri manusia adalah termasuk menisbatkan musabbab (akibat) kepada sebab atau kepada perantara (wasithah). Dan ini bukan sesuatu yang kontradiktif, oleh karena Penyebab dari semua sebab (Causa Prima, Sumber Sebab), yakni Allah swt, itulah yang menciptakan perantara dan yang menciptakan konsep keperantaraan pada perantara atau wasithah tersebut. Sekiranya Allah swt tidak menitipkan Af’al-Nya kepada perantara tersebut, maka tidaklah pantas perantara tersebut disebut sebagai perantara, baik ia berupa benda tidak berakal seperti benda padat, bintang-bintang di langit, hujan, api, dan lain-lain, maupun berupa benda-benda berakal seperti malaikat,  manusia dan jin.






 

 

 

Tidak ada komentar: