Kamis, 09 Mei 2013

PYPD - 4. Menyadari Posisi Khaliq dan Makhluk, pemisah kekafiran dan keimanan




Sesungguhnya kedudukan Khalik dan makhluk merupakan suatu batas pemisah antara kekafiran dan keimanan. Kami beri’tikad bahwa orang yang mencampuradukkan antara kedua kedudukan tersebut adalah benar-benar kafir. Semoga Allah swt melindunga kita.

Setiap Maqam (kedudukan) atau posisi tersebut memiliki hak-hak secara spesifik. Namun di situ terdapat beberapa persoalan yang dikembalikan kedalam bab ini, khususnya persoalan yang berkaitan dengan Nabi Muhammad saw dan kekhususan-kekhususannya yang menyebabkan beliau menjadi teristimewa, berbeda dan lebih tinggi derajatnya dari sekalian manusia pada umumnya. Persoalan ini kadang menjadi Tasyabbuh (jumbuh, samar) pada sebagian orang, disebabkan keterbatasan akal, kelemahan pemikiran, kesempitan wawasan, dan keburukan pemahaman mereka, lalu mereka serta merta mengkafirkan pelakunya dan mengeluarkannya dari Islam. Mereka mendasarkan diri pada suatu persangkaan bahwa didalamnya terdapat percampuran kedudukan  antara Khalik (Allah swt)  dan Makhluk (Rasulullah saw), dan dianggapnya telah mengangkat posisi Rasulullah saw ke posisi  Uluhiyah (Ketuhanan). Sesungguhnya kami berlepas diri dari pemahaman yang demikian itu.

Berkat anugerah dan karunia Allah swt, kami mengetahui apa yang menjadi Hak bagi Allah swt dan apa yang menjadi Hak bagi Rasulullah saw. Kami mengetahui apa yang secara murni merupakan hak Allah swt dan apa yang secara murni menjadi hak Rasulullah saw. Hal ini lepas dari niat untuk melebih-lebihkan dan mengkultuskan diri pribadi beliau saw sampai pada suatu batas di mana beliau saw secara khusus disifati dengan sifat-sifat rububiyyah dan uluhiyyah, yang sebenarnya keduanya hanya pantas dimiliki Allah swt. Di antara sifat-sifat tersebut adalah seperti adanya kemampuan mutlak untuk menolak bahaya; memberi rizki dan manfaat; memiliki kekuasaan dan kepenguasaan sempurna dan menyeluruh kepada semua makhluk; menguasai kerajaan dan mengatur jagad raya; memonopoli sifat kesempurnaan, keagungan dan kesucian; dan secara ekslusif menerima sesembahan dengan berbagai bentuk, keadaan dan tingkatan peribadatan.

Adapun yang dimaksud dengan sikap “berlebih-lebihan” adalah sikap keterlaluan dalam mencintai dan mentatati Rasulullah saw, melebih kecintaannya kepada Allah swt. Itulah makna yang dimaksud di dalam sebuah hadis Nabi :

لاَ  تـــَـطْــرُوْنــِـيْ كَـمَـا اَطْــرَتْ الــنـَّــصَـارَى  ابــْـنَ  مَـرْيـَـمَ

"Janganlah kalian menyanjung-nyanjungku, sebagaimana kaum nasrani menyanjung-nyanjung  (Isa) Putra Maryam".

 

Maksudnya, menyanjung-nyanjung, menghormat dan memuji-muji beliau saw dengan sanjungan yang dilakukan orang pada umumnya, bukan dalam pengertian pengkultusan (sikap mendewa-dewakan) seperti yang dilakukan kaum Nasrani kepada diri Nabiyullah Isa bin Maryam as, adalah suatu sikap yang terpuji. Sekiranya maknanya tidak demikian, tentulah yang dikehendaki hadis di atas secara prinsip adalah larangan secara mutlak menyanjung dan memuji beliau s aw. Namun yang jelas, hal itu tidak diucapkan oleh salah seorang dari kaum muslimin yang paling bodoh sekalipun. Karena Allah swt sendiri  telah mengagungkan pribadi Rasulullah saw dengan berbagai bentuk pengagungan tertinggi di dalam beberapa ayat Al-Qur’an, maka kita pun wajib mengagungkan “orang” yang telah diperintahkan Allah swt untuk diagungkan, yakni Nabi Muhammad saw .

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi`ar-syi`ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS Al-Hajj,[22] : 32)

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya.”  (QS Al-Hajj,[22] : 30)

 

Di antara syi’ar-syi’ar dan sesuatu yang terhormat di sisi Allah swt  yang dijelaskan di dalam kedua ayat di atas adalah seperti Ka’bah, hajar aswad, dan maqam Ibrahim, yang kesemuanya itu berupa batu. Namun Allah swt memerintahkan kita agar mengagungkannya dengan cara melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah, mengusap rukun yamani di pojok sebelah barat daya Ka’bah, mengecup Hajar aswad, melakukan shalat di belakang “maqam Ibrahim”, lalu berhenti sebentar untuk berdoa di dalam Hijir Isma’il,  di depan pintu Ka’bah, dan di Multazam, yakni suatu tempat di antara pintu Ka’bah dan Hajar Aswad. Pada saat melakukan yang demikian itu, kita tidak berniat untuk melakukan suatu peribadatan atau penyembahan, melainkan ditujukan hanya kepada Allah swt, dan kita tidak memiliki suatu keyakinan atau I’tiqad tentang adanya pengaruh mistis dan kekuatan supranatural lainnya dari batu-batu tersebut, di luar kekuatan Allah swt.

Tidak ada komentar: